Mar 29, 2016

Tentang pelajaran hidup bernama baktinusa (3)

semoga Allah beri kabar bahagia buat mbak melalui Asma yaa :)) – mbak titis.

Dibalas begitu oleh mbak titis, malah aku yg jadi takut.. entah kenapa mbak, aku lebih suka mengenang kata-katamu yg ini:
pokoknya Asma, walaupun nantinya Asma ga keterima baktinusa, mimpimu buat bikin klinik itu harus bisa terwujud.

Yakin banget mbak tis, padahal baca esai dan konsepan kliniknya aja belum :’)

‘ala kulli haal, Alhamdulillaah atas segala karunia Allah. Yang sudah mengizinkanku untuk belajar sejauh ini. Pada akhirnya aku memahami, bahwa apapun yang terjadi, kalimat apapun yang terlontar saat seleksi 2 kemarin, sejatinya itu sudah merupakan kehendak terbaikNya.

Termasuk pengumuman nanti.. Allah yang paling tahu yang terbaik bagi kita. Sekarang waktunya menata diri lagi, menata hati, dan menjalankan apa-apa yang pernah tertulis di proposal hidup, tentu saja segalanya on mission menegakkan kalimat Allah di muka bumi. In syaa Allah

Tentang pelajaran hidup bernama baktinusa (2)

Tidak harus bersama baktinusa.
Aku tahu Allah memiliki rencanaNya yang terbaik dan terindah.
Aku tahu, mungkin akan lebih mudah bagiku bila tidak diterima di baktinusa.

Tapi Allah, entah mengapa, masih hangat di bayangku, masih terngiang di telingaku, pertanyaan salah seorang pewawancara: kalau nanti ditantang untuk nulis buku, bisa ya?

Seperti ada petir.
Insya Allah. Jawabku ragu.

Udah tau mau nulis tentang apa? tanya beliau lagi.

Belum.. eh tapi saya ingat di proposal hidup itu, saya pingin bikin tulisan tentang gimana caranya biar mahasiswa juga punya semangat untuk ngafal dan menjaga hafalan.

Nah itu. Jadi siap ya kalau ditantang untuk nulis buku? Tanya beliau dengan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.

In syaa Allah. Dengan bimbingan Allah dan pembinaan dari baktinusa. Jawabku akhirnya mencoba mantap. Jawaban yang entah mengapa menerbitkan senyum optimisku.

Padahal,  ada sekian banyak pertanyaan yang jawabannya menggantung. Ada banyak kejujuran dan alasan yang belum sempat terungkap.

Ada satu pertanyaan yg sampai saat ini juga masih terngiang: di umur 40 tahun nanti, kamu ingin dikenal sebagai apa?

Aku lupa pastinya kujawab seperti apa, yang jelas, jawabanku tidak sefasih tulisan yang tergambar di otakku.

Aku ingin dikenal sebagai ibunya ummat, ibunya anak-anak. Seperti ustadzah yoyoh yusroh yang memperjuangkan tanah palestina. Aku ingin dikenal sebagai seorang dokter jiwa yang bisa mengobati mental keluarga broken home. Aku ingin jadi ibu yang kuat seperti ummi. Aku ingin dekat dengan anak-anak jalanan, dengan ibu-ibu single parent, dan aku ingin mereka dekat dengan Qur’an karena adanya klinik recovery jiwa yang kami buat.


Entah bagaimana tim pewawancara mendengar dan menafsirkan jawabanku, yang pasti aku memang harus belajar banyak untuk menyampaikan sesuatu lewat lisan..

Tentang pelajaran hidup bernama baktinusa (1)

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

Teringat saat pertama kali melihat namaku masuk ke 24 calon penerima manfaat bakti nusa UNS. Waktu itu aku sedang ada di puncak lelah, seharian di NH dari sholat gerhana sampai khataman malamnya. Beberapa orang yang kutemui hari itu menanyakan pengumuman BA yang akhirnya kujawab dengan senyum: aku saja tak tahu kalau hari ini pengumumannya. Maka ketika malamnya Manajer BA UNS, Mas Krisna, pm via WA, aku yang malah bingung. Setengah tak percaya, tapi.. Alhamdulillaah wa syukurillah.. berita itu kemudian hilang ditelan kesibukan.

Sebakdanya acara khataman 3 hari itu, aku kembali memikirkan bakti nusa. Aku membuka file yang kukirim. Membaca tiap detail form pendaftaran, esai, sampai proposal hidup. Kemudian tertegun. Allahu Robbi, apa yang mereka lihat dariku? Cv hidupku biasa, tidak berlimpah prestasi apalagi jabatan organisasi. Esaiku juga sangat sederhana, lebih mirip curhatan kalau boleh kubilang. Dan proposal hidup yang kuyakin, teman-teman lain lebih baik dan wellprepared dalam membuatnya.

Tapi Allah melalui baktinusa memberiku kesempatan untuk belajar di satu agenda yang bernama Seleksi 2 Bakti Nusa. Bismillah.. mari kita belajar..

Cerita selanjutnya adalah tentang perjuangan mengerjakan penugasan bakti nusa. Dari mulai pusing saat diminta ganti foto profile picture semua akun media sosial. Bukan apa-apa, tapi karena aku mencoba memegang prinsip untuk tidak pajang foto sama sekali. Akhirnya dicari foto paling gelap dan paling samar senyumnya. Susah. Karena fotoku tak banyak.

Belum lagi tentang esai yang menuntut untuk membuka mata dengan realita pasar tradisional. Tentang esai ini, aku memang menunda membuatnya. Kupikir, video butuh waktu lebih lama. Hingga akhirnya sampai pada waktu-waktu kritis. Alhamdulillah H-1 deadline, Allah beri petunjuk melalui buku Api Sejarah yang dibacakan saat lingkaran teras surga berlangsung. Akhirnya bisa memulai esai juga dengan inspirasi dari Api Sejarah.

Lain esai lain video. Dari awal aku berprinsip aku tidak ingin banyak suara dan banyak potret diriku. Walau dikeberjalannya susah sekali mempertahankan prinsip ini. Sempat take video beberapa kali, berusaha minta tolong  kesana kemari. Sampai akhirnya.. Alhamdulillah video itu jadi dengan editing sendiri. Dan sesuai dengan keinginanku. Biar, biar saja tulisan itu yang menceritakan diriku. Aku tak menyesal sudah berbeda dan mungkin, agak nyeleneh dengan penugasan yang diminta. (maafkan aku baktinusa, beginilah aku..)

Akhirnya sampai juga ke detik-detik menjelang FGD dan wawancara. Waktunya bertepatan dengan agenda camping Qur’an di NH dimana aku jadi panitia dan juga musyrifahnya. Rasanya lelah badan dan pikiran. Memikirkan semua hal. Ummi abi, skripsi yang tak kunjung keluar pengumuman validasinya, IQ yang jumatnya raker dilanjut CQ. Benar-benar terasa dikuras. Belum lagi menghadapi perasaan minder yang luar biasa. Hari H itu, aku sempat ragu, di detik-detik terakhir itu aku masih berpikir apa ngga usah berangkat aja ya…. tapi biidznillah, kuputuskan berangkat. Dan aku memilih berjalan kaki. Agar semua rasa bisa menguap. Agar hormone endorphinku keluar dan merilekskan semua keruh yang ada.


Singkat cerita, FGD dan wawancara telah selesai. Walaupun FGDku tak mulus, maksudku, seperti biasa, bila aku tidak wellprepared untuk diskusi, aku takkan bisa menyampaikan sesuatu dengan fasih. Dan walaupun wawancaraku begitu adanya.. tapi rasanya lega, alhamdulillah. sekarang waktunya tawakkal..

Mar 22, 2016

What are you waiting for?

[1/28, 5:12 PM] Psi11 Mb Titis: Dek, bakti nusanya dibuat ya
[1/28, 5:12 PM] Psi11 Mb Titis: Gak boleh kalah sebelum berperang
[1/28, 5:21 PM] Psi11 Mb Titis: Hehe bukan kepedean, tp kita mengikhtiarkan pada kesempatan baik yg Allah berikan. Kalau lolos berarti Allah buka satu pintu. Kalau enggak, itu bakal jd pengalaman berharga. Hihi.
[1/28, 5:25 PM] Psi11 Mb Titis: Asma bisa. In syaa Allah 😘

[3/10, 11:26 AM] 12 Mb Elvia Rahmi Marga Putri, dr.: Ayoo
Kamu udah berhasil mengalahkan rasa itu ketika mendaftar.
Dikit lagi.
[3/10, 11:26 AM] 12 Mb Elvia Rahmi Marga Putri, dr.: Kamu tuu punya banyak hal yg temenmu ga punya. Kamu harus tau itu.





What are you waiting for, Asma?
Fabiayyi aalaa i robbikumaa tukadz dzibaan
Lainsyakartum la aziidannakum, walainkafartum inna adzaabii lasyadiid :"

Mar 18, 2016

Sang Pengandung Kalam Mulia

“Asyrofu ummati Hamalatul Qur’ani wa ashhaabul lail”. Sebaik-baik golongan dari umatku adalah mereka, para penghafal Al Qur’an dan ahli qiyamul lail.
Bagi sebagian ikhwah yang berkonsentrasi dalam menghafal Al Qur’an, mungkin ada yang menjadikan hadist ini sebagai motivasi. Ada yang menempelnya di dinding kamar, di pintu lemari, atau mungkin di mushaf yang dengannya sering berinteraksi. Hadist ini sering mengingatkan di kala futur menghampiri. Memberi pencerahan dan menggugah jiwa untuk bangkit kembali.
Sebenarnya, kalau kita mau memperhatikan, ada redaksi unik dalam penyebutan ‘penghafal Al Qur’an’ dalam hadist Rasulullah tersebut. Rasulullah menyebut mereka yang mulia dengan hamalatulQur’an, para pengandung Al Qur’an, bukanhuffazhulQur’an. Ada suatu indikasi, yang layak bagi kita untuk meninjaunya kembali.
Kalau kita tengok sejarah, zaman dahulu gelar alhafizh sebenarnya disematkan kepada mereka yang mampu menghafal ratusan ribu hadis, Ibnu Hajar contohnya. Dan kita pun telah akrab dengan julukan nan agung itu, AlHafizh Ibnu Hajar Al-Atsqoilani. Sungguh, ternyata ada begitu banyak makna yang terbiaskan di sekitar kita.
Rasulullah menyebut para penghafal Al Qur’an sebagai para pengandung Al Qur’an, bukan sekedar penjaga, karena –wallahu a’lam- seorang pengandung akan lebih berhati-hati dengan kandungannya. Ia akan terus memperhatikannya siang dan malam. Hatinya pun juga selalu memikirkan apa yang ia bawa, karena sungguh ia tiada ingin semuanya berakhir sia-sia, atau bahkan berujung nestapa.
Hammalatul Qur’an, seolah mengisyaratkan bahwa Al Qur’an adalah sesuatu yang harus ia jaga sepanjang hayatnya. Selayaknya bagi mereka untuk mencukupi asupan gizinya dengan terus mengulangsecaraberkesinambungan dan mengamalkannya dalam keseharian. Selalu ia jaga kandungan itu dengan vaksin keikhlasan, agar tiada berakhir dengan sesalan. Dan di akhir, ia berupaya untuk terus melahirkan generasi pembaharuan, yang rabbani lagi berakhlaq menawan.
Maka sungguh, adalah sebuah keanehan saat seorang yang mengandung Al Qur’an dalam jiwanya, tetapi dia masih terpukau dengan rumah yang megah. Sungguh, adalah suatu kemirisan tatkala seorang yang diberi amanah kalam Sang Kholik Yang MahaMulia, tetapi dia tersilaukan dengan dengan kendaraan yang mewah. Sungguh, adalah sebuah kesedihan ketika seseorang yang dijuluki asyrofu ummah, bahkan ahlullahiwakhosshotuhu, tetapi kebeningan hatinya mudah terhijabkan oleh gemerlap dunia dan perhiasan yang indah.

Bukan kesalahan untuk memilikinya, akan tetapi terlalu naif apabila semua hal itu dijadikan tujuan semata. Sungguh menjadi seorang hamilulQur’an adalah karunia tiada terhingga, nikmat yang tiada tara, yang memuliakannya di akhirat dan di dunia.Dan juga harus selalu kita ingat bahwasetiap amal yang bernilai tinggi bisa menjadi bumerang saat hati diniatkan bukan untuknya lagi. Sungguh, niat begitu penting, dan menentukan seberapa tinggi derajatnya di hadapan Sang Pemberi rizqi.

Hadits itu begitu masyhur. Ketika di hari kiamat kelak seorang Qari’ akan dihadapkan di depan Rabb-Nya. Ditunjukilah nikmat padanya yang terkarunia di dunia. Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyalah ia oleh Sang Pemberi Karunia, “Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat itu, wahai hamba-Ku?”
“Ya Rabb, sesungguhnya daku membaca Al Qur’an, mempelajari, dan mengajarkannya semata-mata hanya untuk-Mu.”
“Dusta, engkau belajar Al Qur’an hanya agar dikata engkau alim di antara manusia. Dan engkau membaca Al Qur’an semata-mata hanya agar engkau dikata sebagai seorang Qari’ oleh mereka. Engkau telah mendapatkannya, dan memang begitulah yang dikata manusia tentang dirimu.” Kemudian diperintahkanlah Malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke neraka.

Astaghfirullah. Maka kita harus lebih berhati-hati lagi, menjaga hati ini. Menjaga segumpal daging ini agar terus lurus menetapi jalan Ilahi. Selayaknya kita takut, karena sesungguhnya dalam hadist lain Rasul nan Mulia pernah bersabda, “kebanyakan munafik dari ummatku adalah para Qari’ mereka”

Ya Allah, kami berlindung pada-Mu dari perbuatan syirik yang nista. Maka, selayaknya bagi kita untuk terus mengulang hadist yang termaktub di akhir doa pertama dari kumpulan doa khotmilQur’an. “Waj’alhu lanaa hujjatan Yaa Rabbal ‘Alamin”. Duhai Rabbi, jadikanlah dia hujjah bagi kami.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
(terinspirasi dari tausiyah ustadzana Salim A Fillah)

NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"

Mar 16, 2016

Pakai hati


Biar saja hati rasanya teriris iris.
Biar saja amarah itu menghilang dengan sendirinya.
Aku memilih untuk berbaik-baik terus.
Meminta maaf sebagaimana orang yang paling bersalah..
Memohon kemaafan mereka satu persatu.
Menarik nafas dalam-dalam.
Dan..
Bismillaah..
Semua ini memang harus dihadapi pakai hati, pakai perasaan.
Ya, mendekati satu per satu, berkomunikasi, benar2 harus berlembut ria.

Ya Allah.. aku ingin belajar
Izinkan aku untuk terus memetik hikmah dari semua ini, dan jadi pembelajar hingga akhir hayatku

Pasca riweh khataman quran dan sesuatu lainnya
12 maret 2016

9:37 AM

Mimpi-mimpi

Kemarin pas kuliah farmakologi, prof. Muchsin kasih 1 analogi yang keren banget. Kata beliau:
Tubuh kita ini dahsyat banget. Kalau misalkan kita pengen lari kesana, jaras saraf yang dilewati impuls untuk memacu otot kita itu udah sampe kesana. Ke tujuan kita. tapi badan kita aja yang harus kerja keras. Musculus harus bekerja keras buat memindahkan badan kesana.

Dan kemudian aku tersentak. Analogi itu kaya analogi mimpi. Kalau kita udah berani mimpi, sebenernya kita udah sampai kesana. Hanya saja waktu dan raga butuh waktu untuk benar-benar menggapainya. Exercise yang dilakukan demi menggapai tujuan itu, dan semangat baja pantang nyerah. Coba aja, kalau kita berenti di tengah jalan, apa bisa badan kita sampai disana? Engga.

Jadi, jangan pernah berhenti mengejar bermimpi. Dan parahnya, jangan pernah takut bermimpi. Kalau takut netapin tujuan, maka kita sudah membunuh impuls kita yang seharusnya sudah sampai pada mimpi itu.

Sekian.


- Kereta Krakatau menuju jatinegara. 23 september 2015. H-1 idul adha