tag:blogger.com,1999:blog-6376337665648885092024-02-06T22:07:28.269-08:00Petik Hikmahmasih belajar memahami kehendakNya dan memetik hikmahnyaAsma Azizahhttp://www.blogger.com/profile/12139626989131563932noreply@blogger.comBlogger326125tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-29492500782353899532018-04-21T17:19:00.003-07:002018-04-21T17:19:14.727-07:00ABCDE bukan XYZ<div style="text-align: justify;">
Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesthi Sp.OG (Specialist Registrar in Obstetrics and Gynaecology at The Hillingdon Hospitals NHS Foundation Trust)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung... Di mana udara dihirup, di situ hasil dan sisa metabolisme boleh dikeluarkan... Tapi di mana pun Sang Pencipta tempatkan manusia di bumiNya, maka cara hidup teladan sesuai contoh Sang Utusan tetaplah yang utama...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mungkin demikianlah motto hidup pasien yang kutemui Senin pagi itu. Senin setelah whole week adventurous holiday adalah bukan hari ideal untuk memulai kerja di labour ward yang penuh dan selalu sibuk :P</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Now, that lady in room 6 has a bit sad story..." ujar kolega tim malamku saat hand over kepada timku. Perempuan itu berusia 39 tahun, sudah memiliki 3 orang anak dan kesemuanya dilahirkan dengan persalinan normal. Dia low risk, dan booked dengan home birth team, bahkan dua anak sebelumnya pun juga home birth. Tak ada yang istimewa dengan kehamilan dan persalinan sebelumnya, dan kehamilan yang ini pun juga berjalan lancar, sampai semalam, ketika ketubannya pecah di usia kehamilan 35 minggu lebih 6 hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"She came last night, after dropping her husband to airport. His mother passed away in Jordan, and he flew to Jordan to arrange all the funeral and everything there... Her water actually broke earlier last evening, but she didn't tell her husband and decided to drive him to the airport first before drove herself to hospital..." jelas kolegaku panjang lebar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sayangnya, saat pasien itu tiba di rumah sakit, bidan di Triage tak dapat menemukan denyut jantung si janin dengan mesin CTG. Akhirnya kolegaku ini melakukan pemeriksaan USG dan mengkonfirmasi bahwa jantung si janin sudah tak berdetak lagi, alias si janin telah meninggal. Tak jelas kapan kira-kira si janin meniggal, karena sang pasien tak begitu memperhatikan gerakan janinnya seharian kemarin. Dia terlalu sibuk membantu dan mensupport suaminya untuk terbang ke Jordan mengurus pemakaman ibunya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"She was very keen to have the baby delivered as soon as possible as she needs to go back home to look after her other 3 children while her husband away, the youngest is only 2 year old... So we started to augment her from midninght with Syntocinon drip. She has been contracting regularly for the last 2 hours, and I just examined her, she is 3 cm dilated with thick meconeum stained liquor, no sign of infection though..." jelas kolegaku lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dyah, she is a very strong and sweet lady... She is just in there by herself. She hasn't even told her husband that their baby is dead and she is in hospital delivering it...!! You should tell her that she needs to tell her husband now, or else he'll get mad later when he finds out...!!" midwife yang bertanggung jawab terhadap pasien itu membelalakkan matanya sambil menyerahkan notes pasien itu di depan pintu kamarnya sebelum aku masuk untuk ward round. Aku tersenyum mendengarnya dan kemudian mengalihkan perhatianku mempelajari antenatal care notes pasien itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"May we come in...?" tanyaku setelah mengetuk pintu kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku menyibak tirai yang membatasi kamar dan pintu keluar, diikuti oleh timku yang terdiri dari obstetrics team dan seorang dokter anestesi. Setiap pagi, kami selalu melakukan ward round bersama untuk mereview semua pasien di labour ward.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Salaamu'alaykum sister..." sapa si pasien yang terbaring di delivery bed sambil menggenggam handheld mouthpiece Entonox. "Wa'alaykumsalam..." jawabku sambil tersenyum berempati, thanks to my hijaab, everyone would know that I'm a muslim and would offer their salam to me :)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah memperkenalkan diri, dan memperkenalkan the rest of the team, aku memeriksa semua dokumentasi midwife yang telah merawatnya sejak pagi tadi. Semua parameter tampak normal dan stabil, dan si pasien sudah berkontraksi kuat dan reguler. Setiap kontraksi datang, dia menghirup Entonox kuat-kuat sambil meringis, tak mengeluarkan suara atau keluhan apa pun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"I'm so sorry for what happenned to your baby..." ujarku, offering my condolescence. "It's Allaah's will, Sister..." jawabnya sambil tersenyum sayu. Aku mengangguk menyetujui. "How are you coping with the labour ? Do you want stronger pain relief ? We could get you epidural if you want..." tanyaku sambil melirik kolega anestesiku. Untukku, harus cope dengan nyeri persalinan demi melahirkan bayi yang sudah meninggal is a bit too much...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"I'm fine, labour is meant to be painful anyway..." ujarnya terengah-engah di antara kontraksi dan hirupan Entonox. "Well, it does NOT have to be painful..." sambung kolega anestesiku. "That's okay, I'm fine...." ujarnya lagi meyakinkan kami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Have you told your husband that you're here...?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Setelah menunggu kontraksinya lewat, dia menjawab dengan gelengan lemah. "I don't think it's the right time... It's going to be too much for him to deal with 2 losses right now... He needs to concentrate with his mother's funeral now, I'll let him know later..." jelasnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Dyah, there won't be any 'right time' to tell him...!! She is mad, she needs to call him and let him know !!!" bidan bule berambut pirang bermata biru berusia 25 tahun di hadapanku ini membelalakkan matanya saat kami sudah keluar dari ruangan pasien itu. "Well darling, we can't force her, it's her decision..." jawabku singkat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"But this doesn't make any sense... She goes through all this pain and difficult time by herself...!! Unless there is problem with their relationship, all this just doesn't make any sense...!!" ujarnya sambil memeriksa semua brown notes pasien itu untuk mencari apakah ada catatan mengenai domestic violence atau social services involvement di keluarga mereka. Hasilnya tentu nihil, mereka keluarga baik-baik dan tak ada masalah antara kedua suami istri tersebut. Tentulah, kultur lokal tentu menganggap keputusan pasien itu tak masuk akal, mungkin juga kultur tempat lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun aku langsung teringat kisah seorang shahabiyah yang namanya harum dalam sejarah, yang dipuji oleh Rosulullaah, dan doa beliau untuknya juga dikabulkan oleh Allaah : Ummu Sulaim. Bagaimana beliau menghandle kematian anaknya, melayani suaminya terlebih dahulu untuk menyenangkan beliau, dan baru kemudian mengabarkan kematian anak mereka. Bagaimana ketika sang suami marah dan mengadukan Ummu Sulaim kepada Rasulullaah, beliau justru memuji dan mendoakan kebaikan untuknya. Pada wajahnya yang tenang, aku seperti melihat cerminan Ummu Sulaim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak lebih dari 2 jam kemudian, midwife yang merawatnya memberi tahuku bahwa bayi pasien itu lahir, tampak ukurannya sangat kecil untuk usia 35 minggu. Placentanya juga tampak sangat kecil. "I'm sure it's an IUGR baby, Dyah... She was keen to have PM as well, I've given her the PM leaflet. Could please come and discuss it with her when you're ready..." ujarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
IUGR : intra uterine growth restriction, alias pertumbuhan janin terhambat ditemukan pada setidaknya 50 persen janin yang mati dalam rahim. Penyebabnya bisa beraneka ragam, namun kelainan plasenta biasanya adalah yang paling sering. Kami selalu menawarkan PM (post mortem examination) kepada semua pasien untuk mencoba mencari tahu apa penyebab kematian si janin, on top of routine tens of blood test, swabs, placental histology, karyotyping etc. Meskipun tak semua investigasi IUD (intra uterine death) memberikan hasil positif, namun bila diketahui ada penyebab tertentu maka strategi layanan antenatal care bisa direncanakan di kehamilan berikutnya untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak semua orang tua menerima PM, sebagian menolak karena alasan agama dan kepercayaan, sebagian menolak karena mereka merasa bahwa pemeriksaan ini menyakiti si bayi. Pada PM lengkap, maka otopsi lengkap dikerjakan. Ada pilihan bagi orang tua untuk menolak bagian-bagian tertentu diperiksa karena mereka tak ingin ada insisi dan jahitan pada bagian tertentu. Bila orang tua menolak PM, maka alternatif seperti karyotyping dan genetic testing dari sample kulit, atau MRI, atau X-ray. NHS meng cover semua pemeriksaan ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika aku memasuki kamarnya untuk mendiskusikan tentang PM, pasien itu sedang memeluk jenazah bayi itu di dadanya. "Do you think it's the right time for me to talk about it ? Or shall I come back later when you're ready ?" tanyaku tak ingin mengganggu momen penting untuknya ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"No, that's okay, Doctor. I have to go home this afternoon anyway, my friend can't look after my three children for the whole day...." ujarnya. Aku menghela nafas, dia memang perempuan kuat, baru melahirkan, bayi meninggal, sendirian, dan sekarang sudah berpikir mengenai segera pulang dan mengurus ketiga anaknya yang lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah panjang lebar kujelaskan tentang PM, pasien itu kemudian berkata, "I think it's a very difficult decision for me... Is it okay if I wait for my husband to come back first ?".</div>
<div style="text-align: justify;">
"Absolutely, there is no rush... Have you told him yet ?" tanyaku lagi. "No, I'll wait until he's back. He is flying back tomorrow morning. I don't want him to be worry all the time on the journey back..." ujarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
I was wondering what her husband would say to her when he finds out.... Anyway, as the Prophet has made dua for Ummu Sulaim, I made dua for her that her husband wouldn't be upset to her and that Allaah will replace their baby, just like He did for Ummu Sulaim...</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-32196646133949235222018-04-21T17:17:00.002-07:002018-04-21T17:17:46.501-07:00Miss Re-LAP<div style="text-align: justify;">
Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesthi Sp.OG (Specialist Registrar in Obstetrics and Gynaecology at The Hillingdon Hospitals NHS Foundation Trust)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jangan pernah remehkan keluhan dan kondisi pasien...!!! Itu adalah motoku, apalagi sejak digelari pembawa pasien aneh bin ajaib oleh sejawat teman-teman seperjuangan pendidikan spesialis obstetri dan ginekologiku. Belajar dari pengalaman, aku selalu percaya bahwa ada yang mengatur seorang pasien untuk bisa sampai datang ke rumah sakit ini dan bertemu dengan tim kami, dan pasti ada alasannya. Kalau pasien hamil low risk straight forward, sudah "diselesaikan secara adat" oleh front liner lainnya. Jadilah ketika menghadapi pasien, dengan keluhan remeh sekalipun, aku tak akan puas kalau belum selesai membuat daftar diagnosis banding dari yang paling nggak penting sampai yang life threatening. Prinsipku, anything can go wrong...!! Yeah yeah I know what you think, I'm a real freak..!!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Stase di IGD kamar bersalin sebagai mandor (tahap 2B, tahun kedua program pendidikan kami) adalah peran jaga yang paling menantang menurutku. Sebagai mandor, mesti memastikan semua pasien tertangani, ada rencana manajemennya, tahu kapan pasien harus diases ulang, tahu dan bisa memprediksi pasien mana yang high risk, kapan persalinannya macet, dan memutuskan apa tindakan selanjutnya. Di rumah sakit rujukan tersier dengan jumlah pasien bejibun melebihi kapasitas seperti tempatku training, peran seperti ini menuntut stamina otak dan fisik prima 24 jam dalam sehari. Tentunya kami bekerja dalam tim, terdiri dari konsulen jaga, chief stase, dan beberapa orang juniornya. Sebulan stase di IGD dalam setiap semester adalah kawah candradimuka bagi kami, membuat kami sangat kompak sebagai satu tim. Terlebih lagi, chief ku kali ini adalah orang yang unik, dia memberi kesempatan luas padaku sebagai mandor untuk banyak berimprovisasi dan berlatih meningkatkan skill dan confidence :P</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Pit, pasien di akut tuh, gue kirim ke belakang ya...", ujar satu seniorku yang bertanggung jawab untuk memeriksa pasien baru di ruang akut, sambil menyerahkan lembar status yang sudah diisinya, lengkap dengan diagnosis dan rencana manajemen. Sambil membuka lembaran status itu, mataku membesar, "Ya ampuunnn, IUFD mbak, anak pertama pula...Kasihan amat. Stabil tapi kan pasiennya mbak ? Ga ketemu apa-apa di USG depan ?" berondongku. "Iya, IUFD. Udah konfirmasi ama chief, ga ada denyut jantungnya di USG. Ga ada molase juga, baru berarti tuh IUFD nya. Hamilnya sih aterm, presentasi kepala, taksiran beratnya sekitar 3800 gram, ketubannya cukup juga. Ga tau deh tuh kenapa IUFD. Ibunya stabil kok, masih nangis syok di depan ama suaminya. Buruan bawa ke belakang deh, antrian pasien yang mesti gue periksa masih banyak!" jelasnya panjang lebar. IUFD, intra uterine fetal death, alias kematian janin dalam rahim, adalah the worst nightmare buat para ibu hamil yang sudah bersusah payah berletih-letih selama 9 bulan demi bisa menimang buah hati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika aku masuk ruang akut untuk meminta bidan akut untuk segera mengirim pasien ke belakang, pasien itu masih menangis tersedu-sedu di pundak suaminya. "Bu, saya Dokter Pitha. Saya turut berduka cita...", ujarku dengan sangat berempati. Kemudian dengan didampingi suaminya, kujelaskan rencana kami untuk menginduksi persalinan agar si bayi segera lahir, karena memperpanjang kehamilan pada kasus IUFD membawa risiko untuk si ibu. "Saya boleh terus nemenin istri saya kan Dok, saat diinduksi dan saat melahirkan nanti ?" tanya si suami penuh harap. "Mmmm... sebenarnya sih boleh Pak. Tapi saat ini kamar bersalin sedang penuh, dan di dalamnya kan ada ibu-ibu lain yang sedang melahirkan juga. Jadi para suami nggak bisa masuk. Maaf ya Pak... Nanti kalau ibu perlu sesuatu, kami sampaikan ke Bapak. Atau kalau Bapak mau menyampaikan sesuatu ke Ibu, bisa lewat kami. Bapak boleh tunggu di ruang tunggu depan situ," ujarku mengerti betul akan kekecewaan dan kekhawatiran si suami. Iyalah, suami mana sih yang tidak ingin berada di samping istrinya saat persalinan, apalagi ini adalah masa-masa sulit bagi istrinya, mesti melahirkan bayi yang sudah meninggal. Idealnya sih setiap ibu bersalin disediakan kamar privat, sehingga bisa didampingi suaminya selama persalinan seperti di rumah sakit swasta. Moga-moga rumah sakit pemerintah pun kelak memikirkan hal-hal seperti ini dan menyediakan dana untuk membuat fasilitas pelayanan seperti itu. Untuk sementara ini, ibu-ibu yang bersalin di rumah sakit pemerintah harus puas dengan ditemani ibu-ibu yang senasib denganya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu ini hamilnya udah berapa bulan persisnya ? Pernah di USG nggak waktu awal kehamilan untuk menentukan usia kehamilan, kapan tanggal taksiran persalinannya?" tanyaku menggali informasi lebih dalam, mencoba mencari tahu penyebab si bayi IUFD. "Haid saya sebelum hamil nggak teratur Dok, pokoknya pas udah 3 bulan lebih nggak dapet haid dan rasanya suka mual, saya tes kencing di bu bidan. Terus dibilangin udah positif hamil. USG nya sekali pernah Dok, sekitar hamil 6 ato 7 bulanan gitu, itu juga suami saya ngumpulin uang mati-matian buat USG, biar tahu jenis kelamin bayi dan nyiapin nama jauh-jauh hari..." jawabnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tipikal banget buat ibu hamil dengan pengetahuan dan dana terbatas. Padahal pemeriksaan USG di awal kehamilan sangat penting untuk menentukan usia kehamilan. Risiko IUFD dan still birth meningkat drastis pada kehamilan lebih dari 42 minggu, alias kehamilan post term. Baiklaaahhh, USG untuk melihat jenis kelamin bukannya haram, tapi yang justru penting dari pemeriksaan USG kok ya malah dilewatkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Terus ibu emang enggak ngerasa kalau bayi ibu berubah gitu gerakannya di dalem perut kemaren-kemaren ?" tanyaku mencoba mengidentifikasi kapan kira-kira si bayi meninggal. "Sebenernya saya ngerasa bayi saya berkurang gerakannya sejak seminggu lalu Dok, biasanya tuh kan aktif banget. Nah sejak minggu lalu kok kayaknya jadi agak diem dianya. Saya belain deh kontrol ke bu bidan, didengerin bunyi jantungnya, katanya normal. Kata suami saya, saya tegang dan stress aja kali, soalnya uang buat lahiran belum ngumpul juga Dok... Nah pas kemaren itu saya seharian ga ngerasain si bayi gerak, trus kontrol ke bu bidan, katanya udah ga kedengeran detak jantungnya, dirujuk kemari. Tapi pas abis itu, saya sekali ngerasain dia bergerak. Jadi saya nggak jadi kemari, lagian nunggu suami saya shift malam di pabrik dulu. Baru tadi pagi ke bu bidan lagi dianter suami, kata bu bidan bayinya udah nggak ada, jadi dirujuk kemari..." katanya sambil mulai berurai air mata kembali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau tidak ingat bahwa pasien di hadapanku ini serius betul-betul tidak mengerti apa yang terjadi dengan bayinya, aku pasti sudah menepok jidatku sambil berseru 'di situ selalu saya merasa sedih!!!'. Janin adalah makhluk pintar. Sang Pencipta sudah memperhitungkan, janin yang tumbuh dalam rahim pasti susah untuk memonitornya, beda dengan bayi yang sudah lahir bisa dilihat bernapas dan beraktivitas. Gerakan janin berkurang adalah sinyal yang dikirim karena janin sedang menghemat energinya, suplai oksigen dan nutrisi mungkin berkurang sehingga energi hanya dipakai untuk metabolisme organ-organ penting seperti otak dan jantung. Pada kondisi ini berarti plasenta sudah tak mampu menyokong kehidupan, dan rahim sudah bukan tempat terbaik bagi pertumbuhannya, alias si bayi mesti dilahirkan. Aku selalu menganggap serius persepsi ibu tentang gerakan janinnya. 24 jam dalam sehari bersama janinnya, ibu adalah orang yang paling tahu kebiasaan si janin. Bila berkurang gerakannya, apalagi ada faktor risiko, it is worth to be investigated, mendengarkan denyut jantung janinnya saja tidak cukup. Kalau sudah cukup bulan, it is an indication to deliver the baby, sudah terbukti menurunkan angka stillbirth.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Berapa kali periksa sama bu bidan Bu ? Pernah periksa darah nggak ? Ada masalah nggak selama kehamilan ?" tanyaku lagi mencoba menyaring faktor risiko. "Tiga kali Dok, pertama kan waktu periksa kencing dan hamil, terus kemaren karena bayi enggak gerak, dan tadi pagi sama bu bidan dirujuk kemari..." jelasnya polos. Sambil meringis dalam hati aku melanjutkan "Memang ibu bidan nggak nyuruh ibu kontrol tiap bulan ?". "Nyuruh sih Dok... Tapi kan periksa bu bidan bukannya gratis. Kalau ke Puskesmas sih bisa gratis kalau pake surat-surat. Masalahnya saya dan suami KTP nya KTP Jawa, nikah juga di sana. Belum urus kartu keluarga juga. Jadi nggak bisa ngurus surat-surat di sini. Itu tadi aja buat daftar dan periksa darah di depan, dapet kasbon di pabrik dari gaji bulan depan..." sahutnya sayu. Hmmm, I'm going nowhere here...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menerangkan proses induksi dan tetek bengeknya, mulailah dosis pertama misoprostol kuberikan per vaginam. Sebagai mandor, kuputuskan penanggung jawab pasien itu adalah salah satu juniorku tahap 2A. Ternyata si pasien bereaksi sangat responsif terhadap induksi. Berselang 4 jam, pembukaannya lengkap dan langsung mengedan. Aku menemani juniorku tahap F, untuk membantu persalinan si ibu. Proses keluarnya kepala si bayi agak susah, dan ketika keluar terlihat kulitnya sudah bermaserasi, menunjukkan bahwa si bayi sudah meninggal mungkin lebih dari 24 jam. Karena bayi sudah meninggal, tidak ada tonus otot, sudah pula bermaserasi, lahirnya kepala tidak diikuti spontan dengan lahirnya bahu. Kepala si bayi pun tampak lebih besar dari rata-rata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Distosia bahuuuu...!!" seruku sambil menginstruksikan bidan untuk membantu dan menyuruh juniorku memanggil anggota tim lain untuk membantu. Distosia bahu adalah salah satu kegawatan obstetrik, kalau bayi hidup maka it's a nightmare for an obstetrician, true shoulder dystocia causes large morbidity to mother and baby, even perinatal mortality. Karena bayi ini sudah meninggal, jadi kami tak terburu waktu untuk segera melahirkan si bayi. Namun tetap sulit melahirkan si bayi, perlu berbagai manuver penanganan distosia bahu sampai akhirnya bayi seberat 4300 gram itu keluar. Jangan-jangan si ibu ini menderita diabetes gestasional, bayinya makrosomia dan IUFD begini, pikirku dalam hati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ibu mau lihat bayi nya nggak ?" tanyaku hati-hati setelah si bayi lahir dan juniorku melahirkan plasentanya. Dia tak menjawab, hanya menggeleng lemah sambil membuang muka menyembunyikan air matanya. "Gimana perdarahan dan kontraksi nya ? Ruptur perineum grade berapa ?" tanyaku pada juniorku sambil meminta bidan membawa jenazah bayi itu keluar untuk ditunjukkan pada suaminya. "Banyak clot nih mbak..!! Kontraksi jelek. Ruptur perineum grade 3C nih...!!" kata juniorku panik. Aku segera melompat mendekat, tepat ke samping pasien yang sekarang tampak pucat dan menggigil. Aku segera meraih lengannya dan nyaris tak bisa meraba denyut arteri radialisnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ha Pe Peeeeee....!!!" teriakku menggelegar dari kamar bersalin ke seluruh penjuru IGD obgyn. Serentak semua anggota timku datang. Infus dan cairan segera dipasang, sambil darah diambil untuk dikirim ke lab dengan urgent dan permintaan sedia darah. Semua uterotonik segera diberikan, dan seniorku tahap 2C mengambil alih merepair ruptur perineum nya agar hemostasis segera tercapai. Si pasien tampak semakin pucat dan bahkan setelah resusitasi dia tetap hipotensi dan takikardi, nyaris tak teraba nadinya. "Bu..!! Buka matanya Bu...!!", seruku sambil sibuk memeras kolf cairan agar cairan infus mengalir lebih cepat, berbalapan dengan perdarahan dari jalan lahirnya yang tak ubahnya keran air dibuka. Kontraksi rahim tak juga membaik bahkan setelah kompresi manual dan segala uterotonik. Dan si pasien tak merespon instruksiku sama sekali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Mas, gue buka OK ya... Pasien HPP ga stabil, syok hipovolemik dan penurunan kesadaran... Gue lapor konsulen sekarang...!!" seruku pada chief. "Oke, kirim OK buruan, gue siap-siap di sana ya...". Aku segera membagi tugas juniorku untuk memberi tahu staf kamar operasi bahwa kami akan mengirim pasien HPP, juga mengirim juniorku untuk menggeret salah satu residen anestesi sekarang juga kemari. Sisa timku melanjutkan resusitasi pada pasien itu, dan aku menelpon konsulen jaga, meng up date informasi dan memintanya segera datang. "Buruan dorong ke OK...!!" teriakku memobilisasi semua anggota tim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah pasien masuk kamar operasi dan resusitasi diambil alih oleh tim anestesi, chief mengirimku keluar kamar operasi untuk meminta consent dari suaminya. Suami yang malang itu tak tahu sama sekali apa yang terjadi dengan istrinya, dia baru saja melihat jenazah bayinya, dan aku harus menambah berita buruk tentang kondisi istrinya. Karena tak banyak waktu, segera kujelaskan kondisinya, dan dengan berat aku berkata, "Kami mungkin harus mengangkat rahim istri bapak untuk menghentikan perdarahan dan menyelamatkan nyawanya...". Seperti berada di dunia lain dan tak mendengarkan kalimat-kalimatku, tatapan kosongnya menembus mataku. "Pak..!!", cetusku setelah beberapa menit memberinya kesempatan mencerna semuanya, "Kami butuh ijin bapak untuk mengoperasi ibu, mungkin harus mengangkat rahimnya demi menyelamatkan nyawanya..!!".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tangisnya pecah, sambil berurai air mata dan sesenggukan dia menjawab "Apa aja asal istri saya selamat Dok...!!". "Kami usahakan Pak, doakan yang terbaik. Sekarang tolong Bapak urus minta darah di Bank Darah ya, istri Bapak butuh darah banyak.." ujarku sambil memberi isyarat agar juniorku menyerahkan formulir permintaan darah dan sample darah istrinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Bank darah lagi ga ada stock, Mbak. Tadi saya sudah telpon..." jelas juniorku itu. "Kalau begitu Bapak mesti ke PMI pusat, mungkin Bapak mesti cari donor sendiri.." lanjutku mengubah instruksi. "Di mana itu Dok ? Terus saya mesti cari donor darah di mana ? Saya ga punya saudara di Jakarta. Berapa bayarnya kalau minta darah di PMI ?" tanyanya panik. Hadeeeuuuhhhh... Akhirnya supaya memastikan darah kami dapat, aku mengirim salah satu juniorku untuk mengurus darah. "Pokoknya mesti dapet..!! Gue nggak mau tau. Lu sms berantai semua residen, yang golongan darahnya sama, suruh donor sekarang..!!". Mengandalkan sistem penyediaan darah yang ada saat ini sih sama saja dengan membiarkan pasien-pasien kami mati di depan mata...!!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pasien itu masih juga tak stabil di atas meja operasi. Begitu perutnya dibuka, rahimnya keplek, atonia sama sekali. Konsulen jaga yang mengoperasi memintaku menelpon seorang konsulen lain, seorang konsultan ginekologi onkologi, untuk datang membantu. Akhirnya karena kondisi pasien tak stabil, rahimnya atonia, semua sepakat tak ada tempatnya untuk menkonservasi rahimnya. Meskipun dia belum memiliki anak hidup, tapi nyawanya jauh lebih penting. Rahim pasien itu pun diangkat, histerektomi obstetri, demi mengontrol perdarahan. Perdarahan tampak teratasi, walaupun sedikit oozing di sana-sini, pastinya karena jumlah darah yang hilang bersama faktor pembekuan darah menyebabkan koagulopati. Drain dipasang di rongga perutnya untuk memonitor kalau-kalau terjadi perdarahan lagi setelah dinding perutnya ditutup kembali. Setelah kulit terjahit, barulah darah untuk transfusi datang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena tekanan darah dan nadinya yang masih labil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk observasi, di sana peralatan observasi lengkap tersedia. Transfusi darah pun akhirnya dilanjutkan di sana. Meski jam jaga kami berakhir sejak pukul 15 lalu, sampai pukul 21 malam aku masih tinggal di IGD, memastikan pasien itu stabil di ICU dan menyelesaikan laporan jaga untuk konferensi besok pagi. Saat aku mengemas laptopku bersiap untuk pulang, tiba-tiba chief jaga tim malam berlari tergopoh-gopoh ke arah ICU di gedung seberang. "Kenapa Mas ?" tanyaku, merasa bahwa jangan-jangan gara-gara pasien itu. "Pasien lu tuh Pit, produksi drainnya masak 600 cc dalam sejam terakhir. Pasti ada on going bleeding lagi...", serunya sambil bergegas ke ICU.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya aku melempar ranselku dan ikut berlari bersama chief ke ICU, batal pulang. Ternyata hemodinamik si pasien kembali tak stabil, kantong drain sudah terisi cairan merah segar sebanyak 600 cc. "Gue lapor konsulen, lu kasih tau orang OK ya, kita mesti bawa balik pasien ke OK, ada perdarahan..!!" instruksinya. Lupa bahwa aku sangat lelah dan perutku belum diisi sejak siang tadi, aku berlari ke OK di IGD obgin meminta staf OK untuk menyiapkan kamar operasi untuk re-laparotomi pasien itu. Dua konsulen operator histerektomi sore tadi datang seketika dan siap melakukan re-laparotomi. Saat perut si pasien dibuka kembali, penuh darah. Rupanya ada pedikel kecil dari ovarium (indung telur) kanannya tidak terhemostasis dengan baik. Karena pasien awalnya syok hipovolemik, kehabisan darah, maka tidak ada darah yang mengalir. Tapi begitu transfusi darah dilakukan dan volume darahnya meningkat, tekanan darahnya membaik, maka otomatis pembuluh darah kecil yang tidak terhemostasis itu mengalirkan darah kembali. Untunglah drain dipasang tadi, sehingga kondisi ini bisa diketahui segera.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena sulit menghentikan perdarahan di tempat itu, akhirnya diputuskan untuk mengangkat juga ovarium kanannya agar seluruh pembuluh darahnya bisa diikat sekaligus dan meminimalisir risiko perdarahan ulang. Re-laparotomi sudah cukup, kami tidak mau mi-laparotomi (berasa kayak lagi nyanyi : do re mi). Alhamdulillaah di sisa malam itu, pasien stabil sampe keesokan paginya dan ditransfer kembali keesokan harinya ke kamar bersalin untuk observasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti bisa ditebak, konferensi pagi keesokan paginya (buatku yang jadi jaga 36 non stop, I lost the plot of day and date) sangat seru membahas kasus ini. Belum kemudian aku harus maju audit morbiditas maternal. Sebulan staseku di IGD sebagai mandor membukukan rekor 3 re-laparotomi, yang entah mengapa semuanya terjadi di jam jagaku. Kolega mandor-mandor di tahapku sampai menggelariku Miss Re-Lap (arotomi) karena sebagai pelapor di konferensi pagi, aku paling rajin melaporkan kasus re-laparotomi. I don't really care, yang penting pelayanan terbaik sudah kami berikan. Re-laparotomy for any reason is a known risk for surgery, what matter is how you minimise the risk and deal with it if that happens, and at the end how you reflect and learn the lesson from it...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
PS : </div>
<div style="text-align: justify;">
- ini setting layanan kesehatan Indonesia tahun 2009, moga-moga sekarang sudah jauh lebih baik</div>
<div style="text-align: justify;">
- HPP : haemorrhagic post partum, perdarahan pasca persalinan</div>
<div style="text-align: justify;">
- OK : istilah untuk kamar operasi, entah mengapa kami selalu menyebutnya OK hehe...</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-44506958555325535932018-04-21T17:10:00.002-07:002018-04-21T17:10:16.834-07:00Kita dicipta...Kita dicipta dengan lemah, keluh dan mudah retak. Setiap jiwa pasti merasa lelah dan lemah ketika penuh aktivitas. Setiap jiwa pasti merasa sakit ketika didzalimi. Jiwa merasa kecewa saat tak tercapai apa yg dicita. Terus begitu, saat segala tak sesuai yg diharapkan oleh jiwa.<br />
<br />
Sungguh tak mengapa. Tak mungkin hilang dari jiwa manusia. Sebagaimana sahabat Rasulullah dahulu merasa. Merasa kecewa, tertekan, sakit, bahkan putus asa. Seperti Khabbab yg meminta pada Rasul agar segera diturunkan pertolongan, tanpa perjuangan. Seperti pengaduan ketidakberdayaan, kelemahan Rasul pada Sang Pencipta...<br />
<br />
Tingkat kelemahan dan kelelahan, kesakitan, kekecewaan, keresahan, ketakutan itu tiada beda. Hanya iman yang membedakan. Iman yang membentuk pagar dan menara sikap pada kesulitan dan ujian-ujian.<br />
<br />
"Setiap amal pasti ada waktu semangat dan waktu lemahnya.." tutur Baginda..<br />
<br />
Tidak boleh berlangsung lama. Biasanya hal yg muncul dalam jiwa adalah, anggapan bahwa "apakah aku mampu melalui ini semua? Seperti kesulitan2 sebelumnya?"<br />
<br />
Muncul perasaan lemah, tidak mampu memikul beban, seakan di luar kemampuan.<br />
<br />
Ya, inilah Tawadhu' Kadzib. Kita ditipu oleh rasa lemah dan ketakutan. Mereka menguasai hingga kita terlihat jiwa yang tiada harapan. Kita terlihat seperti insan tak berbingkai iman. Kita terlihat seperti hamba tak bertuhan..<br />
<br />
Jiwa kita perlu tantangan dan benturan. Sebab kata Sayyid Quthb, "Hakikat iman tidak akan terbukti kesempurnaannya dalam hati seseorang sampai ia menghadapi benturan. Lepas benturan demi benturan, ada mujahadah yg diperjuangkan, yg menggoda dan melemahkan iman." .<br />
<br />
Jiwa kita tak pernah sendiri. Dalam fithrah kita sebagai insan, selalu ada jeritan pada Rabb, dalam sedih atau senang. Bergeraklah! Sebab tujuan ruh kita berjalan menuju kekekalan. Menuju nikmat keabadian. Ruh kita bersama segala kebaikan dan cinta Rabb. Kau tak sendirian!<br />
<br />
[Oleh Nabilah Hayatina]Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-17874597972497658732018-04-21T17:07:00.000-07:002018-04-21T17:07:29.396-07:00[sudah ada bagiannya masing-masing]ada yang hari ini sedih.<br />
ada pula yang berseri-seri wajahnya tak bisa disembunyikan.<br />
<br />
ada yang jaga berkali kali tapi tak lelah karena pasiennya tak banyak.<br />
<br />
ada juga yang baru jaga kedua sudah sangat lelah karena tiap jaga pasiennya sama sama banyak.<br />
<br />
ada yang harus dimarahi karena kesalahannya.<br />
ada pula yang dimarahi bukan karena kesalahannya.<br />
<br />
ada yang diajari dengan senyum mengembang.<br />
ada juga yang harus diajari dengan hardikan keras.<br />
<br />
ada yang diuji dengan kematian anaknya, sekaligus diuji pula dengan kehidupan baru seorang bayi di bed sebelahnya.<br />
<br />
semua sudah ada bagiannya masing-masing.<br />
takkan pernah Allah berikan suatu ujian di luar kemampuan hambaNya.<br />
<br />
yakin, semua bagian, ujian, ada pelajaran yang Allah ingin kita ambil. ada banyak hikmah terserak.<br />
<br />
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." (Surah Al Mulk ayat 2)<br />
<br />
semoga kt senantiasa dijadikan hamba yang bersyukur, atas segala ujian, atas segala nikmatNya. aamiinAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-48203913366448269752018-03-24T16:58:00.000-07:002018-04-21T16:59:07.162-07:00Dzikrul Maut<br />
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Pagi ini keluarga besar kami dikejutkan dengan kabar meninggalnya salah seorang dokter angkatan 2010.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Seorang, sahabat, teman, kakak kelas, anak, seorang hamba Allah; almarhum mas ekkim al kindi.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Dan kabar itu membuatku tertampar.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Demi karena melihat perjuangannya membersamai karsinoma nasofaring.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Melihat senyum sumringahnya di foto sumpah dokter.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Sungguh tak tampak raut kekecewaan, tak ada bekas wajah orang sakit. Yang ada hanya wajah bahagia. Dan tentunya setelah tau sakit yg selama ini dimiliki, sungguhlah itu adalah wajah keikhlasan.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Kepulanganmu hari ini menjadi pengingat bagi kami. Khusus nya bagiku yg kini jua Allah uji dengan sakit...<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Sakit ini, pasti tak seberapa dengan sakitmu.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Sakit ini, juga tak ada apa apanya dibanding ratusan pasien lain.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Dokterpun bukan hanya satu dua yang sakit.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Rasanya hari ini ada sound yang berulang ulang terputar:<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">" Kamu hanya harus lebih banyak bersabar dan ikhlas. Ikhlas membersamai ini.. Menerima.. dengan lapang dada. Sampai Allah yang mengakhiri sakitnya."<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Telah Allah angkat sakitmu, dan semoga Allah ampuni juga segala dosamu. Allah terima semua kebaikanmu sebagaimana manusia dengan sedia bersaksi atas kebaikan yg ada pada dirimu.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Terima kasih karena telah menjadi teladan, bahkan hingga akhir hayatmu.<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Ya Allah..<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Karuniakan pada kami kehidupan yang barokah. Usia yang berkah. Di jalan kebaikan. Jalan yang Engkau ridhoi. Hingga jalan itu bisa mengantarkan kami pada sebuah Husnul khatimah<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Aamiin<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<br /></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">12.32 am<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">6/3/18<o:p></o:p></span></div>
<div style="background: white; color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px; margin: 0in;">
<span style="color: #222222; font-family: "arial" , "sans-serif"; font-size: 9.5pt;">Post ngereng rspa boyol<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-64344999678018520632018-03-24T16:57:00.000-07:002018-04-21T16:58:11.924-07:00Pin Abu-Abu<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4twqaDcV56EmRVZOBozVT4E88tvZp_ILMdw_IPUueyl6jULjfQFHtZgg4q2nPypq2mHFzE3SIGnVVLpPqqDAr_n1ToTQoVsgHXzNtA93ic3fQecPK6jrtSC0dJT7UMtGCHBDXlMb5nb8/s1600/pin.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1125" data-original-width="899" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi4twqaDcV56EmRVZOBozVT4E88tvZp_ILMdw_IPUueyl6jULjfQFHtZgg4q2nPypq2mHFzE3SIGnVVLpPqqDAr_n1ToTQoVsgHXzNtA93ic3fQecPK6jrtSC0dJT7UMtGCHBDXlMb5nb8/s320/pin.jpg" width="255" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.8px;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.8px;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.8px;">Mungkin butuh berjuta tahun untuk melenyapkan plastik ini.</span></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Tapi aku tahu, rasaku padanya, mimpiku terhadapnya, tak boleh terus kupendam dan kupupuk sampai berjuta tahun juga.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
6 tahun sudah aku belajar melepaskanmu.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
6 tahun sudah aku belajar membelokkan layar perahuku.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Dan aku harus banyak bersyukur tentang itu.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Walau rasanya perahuku telah compang camping bahkan untuk memulainya. Memulai berlayar di lautan yang sepertinya bukan lautanku.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Butuh waktu nyaris 3 tahun untuk menaruhmu, setelah nyaris selalu menggunakanmu di sisi kiri jilbabku.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Alasanku waktu itu: aku tak punya pin yang senada lagi.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Kini setelah semua ini, setelah tahun demi tahun kulewati, setelah layar perahuku yang compang camping ternyata bisa berlayar sejauh ini, aku tahu, aku harus banyak bersyukur. Krn Allah yang Maha Penyayang telah menguatkanku, mengizinkanku, melewati semuanya.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Ya Allah.. walau berat, tp aku selalu memohon agar Kau memberikan banyak rasa ikhlas dan rasa ridho pada jalanku kini.</div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div dir="auto" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: 12.8px;">
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih, karena telah melajukan perahuku, walau layar keikhlasannya compang camping</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-35989850069476334732017-08-29T06:27:00.000-07:002017-08-29T06:27:18.532-07:00Jalan Menuju Sekundipara<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Suatu siang di sebuah rumah sakit
daerah di Boyolali, ada tiga ibu muda berjejer di bed kamar bersalin. Ketiganya
adalah para sekundigravida (hamil kedua). Umur mereka sama. anak pertama mereka
umurnya berdekatan. Dan mereka saling mengenal satu sama lain sebagai tetangga,
sehingga suasana kamar bersalin siang itu penuh dengan obrolan mereka.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ketiga pasien itu adalah pasien
hamil postdate. Artinya, hamilnya sudah melewati HPL (hari perkiraan lahir).
Atas indikasi itu, ketiganya dimintai persetujuan untuk dilakukan induksi
persalinan. Namun sang ibu 2 menolak induksi sementara ibu 1 3 diinduksi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Qodarullah, pasien kedua ini;
malah melahirkan duluan. Diizinkan Allah untuk lega duluan dan bisa makan malam
dengan tenang sementara teman di kanan-kirinya masih ketar ketir menunggu
persalinan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tengah malam, pasien ketiga
pembukaannya lengkap. Dan akhirnya menyusul rekannya untuk dipindah ke bangsal
perawatan.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tersisa ibu pertama,yang walaupun
sudah diinduksi, tapi tak ada kemajuan persalinan yang berarti. Hingga akhirnya, dokter memutuskan
untuk melahirkan bayi si ibu dengan seksio caesarea.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ternyata, untuk segala awal yang (tadinya)
dibuat sama; jalannya tetap bisa berakhir berbeda.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ternyata, untuk segala sesuatu
yang akhirnya kelihatannya sama (sama-sama baru punya bayi kedua), ada proses
berbeda yang tentu tak semua orang perlu diberi tahu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ada banyak perbedaan di dunia
ini, berjuta warna dan cerita, yang diatur sedemikian rupa oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala, Rabb Semesta Alam yang Maha Sempurna, Maha Berdiri Sendiri.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ada banyak hikmah yang Allah
titip; yakni betapa tak semua penantian harus berakhir sebagaimana yang kita
harapkan. Juga bagaimana agar menjadi hamba yang tetap bersyukur, dengan akhir
cerita apapun yang Allah berikan pada kita.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Semoga kita selalu menjadi hamba
yang penuh syukur, yang bisa memetik banyak hikmah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Selesai ditulis di ponek 1 RSDM
pada 6.00 PM / 17 Agustus 2017<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Asma Azizah</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-3402586692734026062017-07-20T05:04:00.002-07:002017-07-20T05:04:39.743-07:00Hikmah dari IUFD<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Takkan pernah Allah memberi
cobaan, di luar kesanggupan hambaNya. Begitu kata Allah di ayat terakhir surat
kedua. Sejatinya, ujian diberikan sudah sepaket dengan kekuatan. Yang tentunya harus
dijemput dengan kesabaran dan keikhlasan dalam ikhtiar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Seperti yang kualami pagi itu di
kamar bersalin. Aku baru saja datang menggantikan shift malam rekan-rekan jaga.
Di satu bilik terlihat ada ibu yang kemarin diketahui janinnya mati dalam
kandungan (IUFD-<i>intra uterine fetal death</i>).
Ketika didekati ternyata si ibu mengeluh dadanya ampeg dan meminta tetesan
infusnya diperlambat. Karena prediksinya, tetes infus itulah yang terlalu cepat
itulah dirinya sesak. Ketika kulaporkan, residen obsgyn mencoba menenangkan dan
kemudian kami memasangkan oksigen agar
sesaknya bisa berkurang.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Belum berapa lama ditinggal, sang
ibu mengerang hebat. Setelah dicek ternyata pembukaannya sudah lengkap. Aku agak
terkejut. Karena kemarin siang, ketika aku meninggalkan kamar bersalin, ibu itu
sudah akan dilakukan tindakan untuk evakuasi janinnya. Kisahnya sangat
mengharukan, karenanya kemarin siang setelah jam jaga usai, aku buru-buru
meninggalkan kamar bersalin. Tak ingin melihat evakuasi janinnya. Tak ingin
melihat kesedihan di wajah ibunya. Qodarullah, kemarin siang tak jadi
dievakuasi. Pengeluaran janin diputuskan dilakukan secara pervaginam dengan induksi.
Sehingga jadilah pagi itu aku menemui ibu yang ternyata masih ada janin di perutnya dan pembukaannya lengkap. Artinya,
akulah yang harus ikut membantu persalinannya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ini adalah pertama kalinya aku
menjadi asisten utama residen. Prosesnya bisa dibilang cukup cepat. Walaupun aku
masih dengan tangan gemetar memegang gunting dan sering tidak tanggap ketika
harusnya membersihkan perdarahan yang keluar. Alhamdulillah janinnya berhasil
keluar. Plasenta keluar lengkap. Perdarahan ibu terkontrol baik dan tensi pasca
persalinan juga baik.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Setelah persalinan itu, aku
kemudian memperhatikan sang ibu dan suaminya. Yang masya Allah, luar biasa
sabarnya. Aku tak melihat tangis bombai ibu atau derai putus asa sang suami. Kupikir,
suaminya akan bermuka masam atau menyalahkan keadaan. Tapi ternyata, suaminya
bersikap sangat lembut saat menghadapi istrinya. Pun ketika bertanya denganku
yang sebenarnya bukan siapa-siapa ini, ia masih bertanya dengan senyum, <i>dok kapan ya jenazah bayinya bisa kami bawa
pulang?. </i>Kujelaskan dengan pelan prosedurnya. Dan kemudian dibalas anggukan
dan senyum oleh mereka.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Maha Benar Allah dengan segala
firmanNya. Aku yang sesungguhnya kemarin ingin menghindar dari persalinan IUFD
ini, ternyata malah diberikan kesempatan menolong langsung. Walau selama
persalinan, aku ingin menangis karena membayangkan betapa sakitnya si ibu akan
bertambah mengingat janinnya sudah IUFD. Tapi ternyata Allah beri ketegaran menghadapi
dan bertahan disana. Allah beri bonus, seorang residen baik hati yang memaklumi
pemulanya aku, tidak memarahi bahkan beliau hanya bilang: <i>gapapa, namanya juga belajar.</i> Dan dari semua kejadian pagi itu, ketegaran
suami istri yang diuji IUFD itulah yang membuatku ingat dengan ayat terakhir di
surah kedua Qur’an; bahwa Allah tidak akan menguji di luar kesanggupan
hambaNya. Allah yang Maha Mengetahui. Pasti ada hikmah dibalik ujian IUFD itu. Pasti
ada yang Allah ingin ajarkan, untuk mereka yang ditinggal janinnya. Atau untuk
kami yang sedang mengemban amanah menuntut ilmu di rumah sakit ini.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Solo, 20 Juli 2017<o:p></o:p></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-49405300445620722842017-07-14T05:44:00.001-07:002017-07-14T05:44:10.401-07:00Another Inspiring Story<div style="text-align: justify;">
(dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku baru saja menyelesaikan satu buku tentang pendidikan anak yang direkomendasikan suamiku. Judulnya, battle hymne of the tiger mother, yang ditulis oleh seorang profesor bidang hukum di Yale university berdarah Cina. Berkisah tentang perjuangannya membesarkan 2 orang putrinya di Amerika, dan pertentangan prinsip 'Chinese' dan 'Western' parenting. Ditulis secara naratif dan deskriptif, membuatku mengenang kembali masa kecilku dan membayangkan masa depan anak-anakku, yang dalam hal ini kurang lebih sama posisinya dengan anak-anak si penulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sampai berjam-jam kemudian, isi kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai ide dan gambaran metode mendidik anak-anakku yang diinspirasi dari buku itu. Namun entah kenapa, sesaat sebelum tidur malam itu, tiba-tiba aku merasa bukan menjadi 'the tiger mother'. Bahkan, aku merasa seperti menjadi bagian dari peran kedua anak gadis yang dikisahkan di buku itu, diasuh oleh 'tiger mother'. Ibuku memang menerapkan prinsip pendidikan yang hampir sama dengan 'Chinese' parenting itu padaku, tapi itu tentu sudah berakhir lebih dari satu dekade lalu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sambil mengelus-elus gadis kecil di sampingku agar segera tidur, pikiranku masih terus melayang mengapa bukan peran 'tiger mother' yang kurefleksikan, tapi justru kedua putrinya. Kalau aku merasa seperti kedua gadis dalam buku itu, tentu ada seseorang yang berperan sebagai 'the tiger mother' untukku saat ini. Tepat saat itu suamiku masuk kamar melongok apakah si kecil sudah tidur dan mengingatkanku untuk memberinya anti piretik agar dia tidur nyenyak (si kecil memang sedang terserang ISPA dan sering rewel di malam hari karena hidungnya mampet). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seperti balita yang baru berhasil memecahkan puzzle 4 bagian, otakku berseru 'that's it...!!'. Aku tidak hidup bersama seorang 'tiger mother' lagi saat ini, tapi aku memiliki seorang 'ram husband' yang mengarahkan jalan hidupku. Entah mengapa aku memilih sebutan 'ram' yang artinya domba jantan. Mungkin diinspirasi dari zodiaknya yang Aries, dan 'ram' adalah simbolnya. Tapi aku tak percaya zodiak, apalagi sebagian ulama menyatakan hal itu dekat dengan kemusyrikan. Aku juga tak tahu apakah sifat 'ram' itu sama seperti suamiku, toh aku dididik sebagai dokter manusia, bukan dokter hewan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun aku kenal persis sifat suamiku (walau mungkin dia akan menyangkal pernyataan ini). Hampir sepuluh tahun melewati hidup bersamanya, dia selalu bisa membaca pikiranku sama seperti aku bisa membaca hatinya (mungkin yang ini juga debatable). Walau kami sama sekali tak saling mengenal waktu pertama kali berjumpa, kurasa sifat percaya diri dan visionernyalah yang membawa kami sampai ke kursi pelaminan, dibanding sifatku yang lebih banyak 'let's just go with the flow...'. Kami sama-sama anak pertama, sama-sama keras kepala dan suka berdebat, dan yang lebih penting sama-sama tidak mau mengalah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku masih harus menyelesaikan pendidikan dokter umumku saat aku menikah. Rotasi di berbagai bagian seperti bedah, obgin, dan seterusnya akan tetap menghabiskan waktuku sama ketika aku masih gadis dulu. Aku tidak mau studiku terganggu karena menikah, dan aku sudah memberikan janjiku pada ibuku akan tetap lulus tepat waktu dengan nilai baik walau menikah saat kuliah. Karena janji itu, ide suamiku untuk segera memiliki anak setelah menikah tentu kutolak mentah-mentah. Terbayang bagaimana susahnya berlari-lari sepanjang lorong IGD saat jaga dengan perut buncit karena hamil. Belum lagi aku akan harus cuti melahirkan, tentu membuat targetku lulus tepat waktu meleset.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Singkat cerita (lebih karena aku tak ingat lagi apa yang terjadi atau apa yang suamiku lakukan untuk membujukku), aku melahirkan anak pertamaku saat aku masih ko-ass. Aku cuti melahirkan. Aku terlambat lulus 5 minggu dari teman-teman seangkatanku. Aku wisuda satu semester setelah teman-teman sparingbelajarku diwisuda, walaupun tetap bisa dilantik sebagai dokter bersama-sama di gelombang pertama. Tapi bedanya, teman-temanku waktu itu kebanyakan hanya didampingi kedua orang tuanya saat wisuda dan pelantikan. Diriku ? Didampingi kedua orang tuaku, mertua, suami, dan tentu saja bayi kecil yang telah banyak mengubah hidupku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mendapat ijasah lebih lambat dari seharusnya juga merentang tantangan di depanku. Impianku untuk segera mendaftar program pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi terpaksa ditunda. Selain itu, aku juga tak bisa membayangkan dari mana uang puluhan, bahkan ratusan juta yang harus kusediakan untuk membiayai pendidikan spesialis. Orang tuaku pensiunan pegawai swasta (tanpa tunjangan pensiun tentunya) dan masih harus membiayai sekolah 2 adikku. Penghasilan suamiku saat itu hanya cukup membiayai kebutuhan keluarga kecil kami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya aku memendam (setidaknya menunda) mimpiku untuk segera melanjutkan pendidikan spesialis. Sebagai gantinya, aku rajin membaca koran dan internet, mencari kesempatan beasiswa belajar di luar negeri. Ini adalah impianku yang lain sejak sekolah menengah dulu, kuliah di luar negeri. Aku sadar suamiku tak sepenuhnya menyetujui ide ini. Dia memiliki pekerjaan yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja untuk menemaniku sekolah di luar negeri. Anak kami pun umurnya belum genap setahun, tak terbayang bagaimana mengakali itu semua.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Lagipula aku sadar diri, sebagai dokter fresh graduate, nilai lebih apa yang kupunya untuk bersaing dengan ribuan pemburu beasiswa lain dengan segudang pengalaman dan referensi. Akhirnya aku menjadikan'hunting' beasiswa itu sebagai hiburan sampingan, daripada tidak ada target yang kukejar sambil menunggu ijasahku keluar. Tapi toh suamiku mendukungku habis-habisan. Dia yang rajin mencarikanku berbagai info lewat internet (koneksi internet jaman dulu tentu tak sebagus sekarang). Saat aku (tak disangka-sangka) berhasil melewati seleksi berkas Australian Development Scholarship (ADS) untuk program master, suamikulah yang memaksaku mempersiapkan diri dengan les IELTS agar saat tes di tahap selanjutnya nanti nilaiku baik. Suamiku juga yang menjadi sparing latihan wawancara, memberi masukan ini itu untuk jawabanku yang 'belepotan'.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebulan sebelum pengumuman penerimaan beasiswa ADS, suamiku mendapat pekerjaan baru dengan gaji yang jauh lebih baik. Walau perusahaan tempat bekerjanya waktu itu adalah 'the dream company' untuknya sejak masih kuliah dulu, dia rela melepaskan tempat tersebut dan pindah ke perusahaan baru itu. Ketika mendiskusikan keputusannya untuk pindah perusahaan, dengan nada ceria dan antusias dia berkicau "Alhamdulillaah...Mudah-mudahan kalau bisa dapet gaji segini, kita bisa bayar SPP buat obgin. Tinggal cari cara buat bayar admission fee aja kalo memang diterima nanti. Begitu ijasah resmi keluar, langsung urus semua surat buat daftar obgin yaa...", begitu 'instruksi'nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ternyata rencana Sang Pencipta sudah tertulis sedikit berbeda untukku. Beberapa minggu setelah suamiku mulai bekerja di tempat baru, aku mendapat telpon darinya. "Pitha, dapet tuh beasiswa ADS nya...Katanya langsung masuk untuk 'june intake'...". Suamiku yang rajin membukakan email untukku di kantornya karena waktu itu kami belum punya akses internet di rumah. Bulan Juni itu tinggal 4 bulan lagi, sedangkan anakku belum genap 1 tahun umurnya, suamiku baru mulai bekerja di tempat barunya, tidak mungkin minta cuti menemani istri sekolah. Walau sangat senang karena impianku untuk mencicipi kuliah di luar negeri bisa terwujud, tapi aku bimbang karena realitas keluargaku rasanya tak memungkinkan itu terjadi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku tahu suamiku pun merasa bimbang. Setelah diskusi panjang, akhirnya dia memutuskan memberiku ijin pergi ke Sydney, Australia, untuk mewujudkan satu impianku. Tapi dengan catatan, aku harus mengurus dulu semua persyaratan administrasi untuk pendaftaran obgin dan pulang saat ujian penerimaan obgin. Harga lain yang harus dibayar adalah aku tidak bisa membawa anakku pergi bersamaku dan suamiku hanya bisa berkunjung sesekali waktu karena tidak mungkin meminta cuti bekerja setahun penuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi memang itulah skenario Sang Pencipta. Dari uang beasiswa ADS itu aku bisa menyisihkan sebagian uang dan menabungnya untuk membayar admission fee pendidikan spesialisku nantinya. Suamiku rela membayar tiket pesawat Jakarta-Sydney supaya aku bisa pulang beberapa kali, suami dan anakku bisa berkunjung ke Sydney, supaya kami semua tetap sering berkumpul dan bertemu. Selama aku kuliah, setiap hari saat menelpon pertanyaan yang sama selalu dilontarkannya padaku "udah sampe mana belajar untuk ujian obgin..?". Aku kuliah tentang health services management dengan setumpuk assignment, mana sempat melahap buku-buku obgin yang tidak ada hubungannya dengan assignment ku...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kurasa, memang jalan hidupku untuk kemudian lulus seleksi residen obgin dan memulai pendidikan di sana. Suamiku memberikan semua yang dimilikinya untuk mendukungku sekolah, terutama di masa-masa awal pendidikanku. Materi, waktu, dan ekstra kesabaran untukku. Tak jarang aku menghabiskan waktu berhari-hari di rumah sakit tanpa pulang ke rumah. Sekalinya pulang ke rumah, membawa badan lelah, muka kuyu, dan segudang 'curhat' dari mulutku. Aku tahu sebenarnya batas sabarnya sudah sering terlewati karena selalu pasien-pasienku di rumah sakit terpaksa kuprioritaskan daripada keluarga kami. Aku sadar bahwa 'toleransi' untukku sebagai istri dan ibu sering melanggar kemampuan toleransi manusia secara umum. Toh ketika aku memiliki ide untuk berhenti saja dari pendidikan obgin, suamiku adalah orang pertama yang paling menentang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan ketika aku cuti pendidikan untuk menemaninya bekerja di Inggris, dia tetap membuatku kembali bersekolah. Setelah cuti setahun dari pendidikan, aku merasa mungkin sebaiknya aku belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik dulu. Belajar mengurus suami dan kedua anakku dengan baik. Setelah adu argumen panjang, suamiku berhasil memenangkan pendapatnya bahwa aku harus kembali ke Jakarta, menyelesaikan pendidikan spesialis obginku dulu. Itu artinya selama minimal 3 tahun ke depan, aku dan kedua anakku harus tinggal di Jakarta, sedangkan suamiku sendiri di Inggris. Aku tak tahu bagaimana waktu selama 3 tahun itu bisa berlalu, dengan suamiku harus menempuh perjalanan udara selama 2x24 jam setiap 2-3 bulan sekali untuk mengunjungi kami di Jakarta, sampai akhirnya masa itu lewat sudah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku selalu heran mengapa dia begitu 'ngotot' memaksaku menyelesaikan sekolah obginku. Salah satu alasannya yang dia ceritakan di kemudian hari adalah dia merasa memiliki hutang kewajiban, menjadikanku SpOG. Rupanya, sebelum kami menikah dulu, aku memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa kedokteran yang hampir seluruh waktunya habis untuk kuliah dan aktivitas kemahasiswaan. Maksudku adalah memberi gambaran bahwa setelah menikah, waktuku tetap akan banyak tersita untuk kuliah, sehingga kuharap dia mengerti dan tidak terkejut kemudian dengan keadaanku. Aku juga menceritakan cita-citaku untuk langsung melanjutkan pendidikan spesialis obgin begitu aku selesai dokter umum, dengan harapan dia tidak menentang hal tersebut nantinya. Namun ternyata suamiku memiliki interpretasi berbeda. Dia menganggap ketika dia menyetujui menikah denganku dengan kondisiku saat itu, artinya dia berjanji akan mendukungku habis-habisan untuk menjadi SpOG. Padahal, aku tidak pernah menganggap hal itu sebagai janji pra-nikah.Anyway, ke'ngotot'an suamiku itulah mungkin salah satu 'bahan bakar'ku untuk menyelesaikan pendidikan spesialis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sifat suamiku yang 'ngotot' dan selalu 'mengulang' apa yang menjadi keinginanannya itu juga telah membuatku melakukan hal-hal yang tadinya tak pernah terbayang untukku. Selama di Inggris, dia memiliki ide agar aku mencoba mengikuti ujian registrasi dokter lulusan internasional agar dapat berpraktek di Inggris. Awalnya aku menolak karena artinya aku harus meng 'unlearned' pendidikan spesialisku dan belajar menjadi dokter umum kembali. Belum lagi aturan registrasi di Inggris sangat rumit, ujian PLAB (professional and linguistic assessment board) yang harus dilewati bila ingin melakukan registrasi, dan persaingan dengan berbagai lulusan dokter internasional lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi bukan suamiku namanya kalau menyerah begitu saja. Dia meluangkan waktunya mempelajari website General Medical Council UK, mencari cara bagaimana melakukan registrasi. Bahkan aku yang dokter saja berpendapat website itu tidak 'user-friendly' untuk mudah dimengerti. Setelah dia mengerti aturannya, dia membuatkan account untukku supaya bisa melakukan registrasi dan mengikuti ujian PLAB.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku kembali beralasan bahwa sulit untukku belajar kembali jadi dokter umum, banyak sekali materi yang harus kukuasai. Selama ini aku sudah telanjur belajar sangat spesifik sebagai residen obgin. Aku tidak kenal seorang pun dokter lulusan Indonesia yang pernah mencoba ujian atau lulus PLAB. Bagaimana aku tahu seperti apa ujiannya dan bahan apa saja yang harus kupelajari. (Padahal alasanku sebenarnya adalah aku sama sekali tidak 'pe de' untuk mencoba ujian itu dan tidak berani bermimpi untuk bisa bekerja sebagai dokter di Inggris).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Alasan itu tidak diterimanya. Dia kemudian mendata kolega di kantornya yang memiliki pasangan atau teman dokter untuk dimintai informasi. Tidak cukup itu saja, suamiku bergabung dengan forum-forum online dokter lulusan internasional yang mencoba ujian PLAB. Membaca berbagai review tentang buku-buku yang disarankan sebagai materi belajar ujian PLAB. Sebagai hasilnya, berbagai buku, salah satunya setebal lebih dari 12 cm datang diantar oleh tukang pos setelah suamiku memesannya secara online.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ujian PLAB terdiri dari 2 tahap, yaitu ujian tulis dan ujian praktek (OSCE = objective structured clinical examination). Untuk bisa melakukan registrasi dan ijin berpraktek di Inggris, semua dokter lulusan internasional harus melewati kedua ujian tersebut. Karena berbagai alasan yang kusampaikan tentang betapa sulitnya untukku untuk mempelajari semua materi pengetahuan dokter umum untuk ujian PLAB 1, akhirnya suamiku mencari info tentang kursus persiapan PLAB 1. Dia meyakinkanku untuk mengikuti sebuah kursus singkat di Manchester, 4-5 jam perjalanan darat dari rumah kami. Meski sangat membenci perjalanan jauh dengan mobil, dia rela mengantarku pergi ke Manchester demi kursus itu. Belum puas dengan itu, dia masih memintaku mengikuti kursus online dari sebuah website yang direkomendasikan temannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku yang waktu itu sedang hamil anak kedua kami, belajar dengan setengah hati. Bayangan ingin bersantai saat hamil dan cuti sekolah rasanya dirusak oleh semangat suamiku agar aku lulus PLAB. Setiap pulang kantor, saat menelpon dari kantor, selalu pertanyaan yang sama dilontarkannya, "udah belajar PLAB sampe mana..?". Sebelum berangkat kantor atau sebelum dia tidur di malam hari, pesannya adalah "jangan lupa belajar PLAB yaa...". Sering aku kesal mendengarnya dan menjawab dengan ketus, "Mas, Pitha bukan anak kecil...ga usah disuruh-suruh belajar...!! Ibu aja nyuruh belajar cuma pas Pitha SD. Abis itu ga pernah ada orang yang nyuruh Pitha belajar..!!". Biasanya dia cuma tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksiku dan berkata, "baiklaaahhhh...boleh libur belajar sekarang...besok lanjut lagii...". Kadang aku sangat kesal sampai menangis merasa diperlakukan seperti anak kecil, disuruh-suruh belajar. Tapi sekarang kurenungi, kalau bukan karena 'kebawelan' suamiku menyuruhku belajar, mungkin aku tak akan pernah belajar dan lulus PLAB 1.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Butuh waktu 3 tahun untukku setelah lulus PLAB 1 untuk berkesempatan lagi mengikuti PLAB 2. Karena aku harus melanjutkan pendidikan spesialisku di Jakarta, aku terpaksa menunda ujian PLAB 2 ku sampai saat terakhir. Ada batasan waktu maksimal 3 tahun setelah lulus PLAB 1, untuk lulus PLAB 2. Bila dalam 3 tahun aku tidak berhasil lulus PLAB 2, aku harus memulai segala sesuatunya dari awal lagi. Itu artinya, aku harus lulus ujian PLAB 2 saat itu. Tidak ada kesempatan waktu lagi untukku bila gagal di ujian ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kurasa suamiku lebih tegang daripada aku dalam menghadapi ujian ini. Berbagai buku dan DVD panduan belajar ujian PLAB 2 sudah disediakannya saat aku tiba kembali di Inggris. Tidak cukup itu saja, suamiku kembali aktif mengikuti berbagai forum online para dokter yang berniat ikut ujian PLAB 2. Dari forum itu, suamiku mendapat informasi suatu tempat kursus persiapan PLAB 2 di daerah East London. Kursus itu berlangsung selama 14 hari non-stop, dari pukul 9 pagi sampai 7 malam. Harganya cukup mahal untuk kantong kami, tapi suamiku berhasil membujukku untuk mengikuti kursus itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tempat kursus itu jaraknya cukup jauh dari tempat kami. Bila menggunakan transportasi publik, memakan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam sekali jalan. Berarti pulang pergi aku harus menghabiskan waktu 4-5 jam sehari. Akhirnya suamiku memutuskan untuk mengantar jemput diriku ke tempat kursus itu dengan mobil, karena perjalanan bisa disingkat sekitar 40-50 menit sekali jalan. Pertimbangannya adalah agar aku bisa memanfaatkan sisa waktu lainnya untuk belajar. Karena suamiku jg harus masuk kantor pk 8.30 pagi setiap hari, kami harus berangkat sebelum matahari terbit agar suamiku tidak terlambat masuk setiap harinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jadilah selama 2 minggu itu agenda suamiku adalah menyupir sejauh 120 mil (sekitar 200 km) setiap harinya untuk mengantar dan menjemputku kursus, bekerja, memasak, menjadi sparing belajarku sampai tengah malam, termasuk menjadi 'pasien' latihanku melakukan berbagai pemeriksaan klinis yang harus kukuasai, sekaligus 'editor' bahasa inggrisku yang 'betawish'. Dia terpaksa harus ikut belajar apa yang kupelajari agar bisa jadi sparing belajarku. Kurasa, berlatih beberapa lama lagi dia juga akan 'eligible' untuk ikut ujian PLAB 2. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perjalanan ribuan mil itu diakhiri dengan menyupir pulang pergi hampir 300 mil (sekitar 450 km) ke Manchester untuk mengikuti ujian PLAB 2 itu. Suamiku tidak mau aku pergi sendiri dengan kereta, dia memilih mengambil cuti dan mengantarku sendiri ke tempat ujian itu. Kalau kemudian aku lulus PLAB 2, kurasa suamikulah yang paling berhak mendapatkan 'reward' nya karena dia bekerja 2x lebih keras dibanding usahaku untuk belajar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk urusan 'self confidence', suamiku juga adalah orang yang selalu membesarkan hatiku. Saat mengetahui bahwa di tahun terakhir pendidikan obstetri dan ginekologi terdapat rotasi 'elective posting', suamiku mengusulkan agar aku melakukan elective posting itu di salah satu rumah sakit di London. Awalnya aku tidak 'pe de', tidak untuk mengirimkan lamaran, menulis CV, atau mengontak para konsultan di Inggris. Terbayang olehku pertanyaan mereka saat membaca aplikasi atau CV ku, "a resident from Indonesia? Where about in the world Indonesia is?.." seperti pertanyaan kebanyakan orang Inggris yang pernah kutemui. Belum lagi bila harus bekerja bersama mereka. Tapi suamiku meyakinkanku dengan candaannya, "jangan khawatir, orang Indonesia ga kalah pinter kok sama mereka-mereka itu...mereka menang ngomong doang...!!!". Jadilah akhirnya berbekal nekat dan tips sedikit rasis dari suamiku aku bisa mendapatkan tempat elective posting di beberapa rumah sakit di London.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kadang-kadang aku berpikir, kenapa suamiku lebih memilih bersikap "ngotot, menuntut, bawel" kepadaku daripada bersikap romantis dan memanjakanku. Rasanya ingin juga sekali-sekali diberi buket bunga, atau diajak candle light dinner dengan sedikit puisi romantis, seperti tontonan sinetron atau telenovela. Tapi kemudian pikiran itu segera kubuang jauh-jauh bila membayangkan puisi lebay berisi rayuan gombal keluar dari mulutnya. Aku bisa pingsan tertawa mendengarnya, apalagi bila suamiku yang membacakannya. It's just not him, and I hate 'lebay' man...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nevertheless, kurasa, memang sifat suami seperti dialah yang kubutuhkan untuk memimpin keluarga. Aku butuh seseorang yang menetapkan target-target dalam setiap tahap kehidupannya, juga kehidupanku dan keluarga kami. Aku butuh orang "bawel" yang selalu mengingatkan segala sesuatunya untukku. Dan yang paling penting, aku selalu butuh sparing belajar di dunia ini untuk menjadi orang yang lebih baik.</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-65422276910320677782017-07-14T05:35:00.003-07:002017-07-14T05:35:30.514-07:00MENITI BATAS (bag 2)<span style="text-align: justify;">(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)</span><br />
<span style="text-align: justify;"><br /></span>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memutuskan untuk mengakhiri kehamilan ketika nyawa seorang perempuan terancam akibat kehamilannya bukanlah urusan mudah. Meskipun sepanjang pendidikanku sebagai dokter kami selalu dilatih untuk berempati kepada pasien, bukan bersimpati, namun bagiku bersikap profesional tanpa melibatkan perasaanku sediri adalah hal yang sangat sulit. Aku juga perempuan, pernah hamil dan melahirkan, mengerti betul perasaan para perempuan yang berada di posisi mereka (mungkin aku termasuk golongan dokter mellow dan cengeng, yet I can’t help it).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sore itu kami memulai jaga malam di IGD (instalasi gawat darurat) dengan loading pasien “full capacity” dan hampir semuanya adalah pasien-pasien berisiko tinggi. Waktu itu aku baru tahap 2A, di semester kedua pendidikan spesialis obstetri dan ginekologiku. Sebelum ronde, kami harus “operan pasien” dengan sejawat yang bekerja pagi sampai siang sebelumnya. Biasanya tahap 2A bertanggung jawab terhadap pasien-pasien penghuni kamar eklamsi, suatu ruangan khusus di IGD Obgin yang didedikasikan untuk merawat pasien-pasien yang menderita pre/eklamsia (dulu dikenal juga sebagai toxaemia gravidarum, keracunan kehamilan, suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah ibu hamil, bocornya protein dari ginjal ibu hamil, dan bengkak organ atau bagian tubuh ibu hamil).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Eklamsia adalah suatu kondisi yang sampai saat ini masih merupakan misteri mengapa bisa terjadi pada kehamilan, berbagai teori diajukan untuk menjelaskan kondisi ini. Sebagian ahli berpendapat kondisi ini adalah bukti cinta ibu kepada janinnya, saat pasokan darah yang membawa nutrisi dan oksigen tidak sampai secara optimal kepada janin yang sedang tumbuh dalam kandungan ibunya, maka secara otomatis tubuh ibu mengatur agar tekanan darah ditingkatkan supaya aliran darah ibu dipastikan sampai ke janin. Ternyata komplikasi akibat kondisi ini sangat fatal, bahkan pre-eklamsia dan eklamsia menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan di Indonesia. Terapi definitif kondisi ini ternyata sangat sederhana, yaitu melahirkan bayinya. Tapi pada praktiknya, tentu jauh dari sesederhana itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Titip pasien-pasienku yaa... Ga bagus semua kondisinya..” ujar kolegaku yang bertugas sejak subuh tadi di kamar eklamsi. “Huhu...kerja rodi dong ya malam ini...” jawabku setengah bercanda. “Apa aja pasiennya?” tanyaku sambil sibuk membuka-buka rekam medis mereka di meja depan kamar eklamsi. “Yang bed ujung hamil 28 minggu, riwayat seksio 2x dengan diabetes mellitus gula darahnya belum terkontrol, dan pre eklamsia berat (PEB) tekanan darahnya masih fluktuatif. Dua anak yang lahir lewat seksio sebelumnya IUFD (intra uterine fetal death) semua, jadi anak yang ini bener-bener dinanti lho, awas jangan sampe tiba-tiba DJJ (denyut jantung janin) ilang yaa... Yang sebelahnya PEB mau terminasi kehamilan, udah 35 minggu, tensi udah terkontrol tapi nunggu hasil-hasil lab nya, jangan lupa dikejar yaa... Yang pojok pasien kiriman dari ICU, post seksio atas indikasi eklamsi gravidarum, kesadaran masih somnolen dan fungsi ginjalnya jelek... Yang bed sisi kanan PEB tapi masih mau dikonservatif, soalnya masih 33 minggu. Pastikan tensi stabil ya supaya besok pagi bisa dikirim rawat di ruangan... Yang di tengah juga mau konservatif, tapi tadi CTG bayinya ga gitu bagus, kalo emang ga bagus mungkin harus seksio malam ini...Nah yang ini, baru datang dari ruangan. PEB hamil 24 minggu, tensinya fluktuatif terus dan mulai ada perburukan laboratorium. Sedang cek lab lagi, belum ada hasil, ntar kalo udah ada dan ternyata emang perburukan tambah berat, direncanakan mau terminasi...” jelas kolegaku itu panjang lebar yang semakin membuat nasibku jelas malam ini, kerja rodiii....</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Enam bed di kamar eklamsi yang penuh sudah jelas menjadi tanggung jawabku. Observasi pasien-pasien di kamar-kamar lain juga menjadi tanggung jawabku, namun kudelegasikan kepada 2 juniorku dengan supervisi dan tanggung jawab di tanganku. Begitulah pembagian kerja dalam shift jaga kami. Semua orang memiliki tanggung jawab, dan sang chief serta jaga utama (2 residen senior yang memimpin jaga) yang bertanggung jawab semua dan melaporkannya kepada seorang konsulen jaga yang stand-by juga di kamarnya di sudut belakang IGD.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah mempelajari semua rekam medis yang mesti kukuasai, maka mulailah aku menyapa pasien-pasienku di kamar eklamsi (tentu hanya mereka yang compos mentis alias baik kesadarannya yang bisa kusapa) sambil berkoordinasi dengan seorang perawat penanggung jawab ruangan eklamsi. Pasien-pasien di sini akan harus dilakukan pengukuran tensi setidaknya 1 jam sekali, malah pasien yang tensinya tidak terkontrol dan harus dilakukan titrasi dosis obat antihipertensinya harus ditensi setiap 15 menit untuk mengevaluasi dosis obatnya. Yang lebih parah lagi, jaman itu rumah sakit kami tidak punya monitor observasi tanda-tanda vital yang secara otomatis melaporkan tensi, nadi, nafas, saturasi, dan hal-hal penting lainnya pada pasien berisiko tinggi seperti pasien-pasienku ini. Jadilah kami harus secara manual memeriksa semua itu setiap 15 menit jika perlu, dan aku punya 6 pasien. Artinya aku tak akan punya kesempatan duduk malam ini. Belum lagi harus juga memeriksa denyut jantung janin pasien yang masih hamil dengan manual menggunakan Doppler (alat cardiotocography, CTG, yang merekam denyut jantung janin dan kontraksi ibu, di rumah sakit kami hanya ada 2 untuk sekian puluh pasien). Idealnya, monitoring janin pasien-pasien risiko tinggi seperti itu harus dilakukan secara terus-menerus (continuous monitoring) karena kondisi janin bisa sewaktu-waktu memburuk. Karena jumlah alat terbatas, kamilah yang harus menggantikan alat-alat tersebut dengan melakukan pemeriksaan manual. Aku juga harus memperhatikan produksi urin/kencing setiap pasien, memastikan bahwa ginjal mereka baik-baik saja, tidak mendapat komplikasi kondisi pre-eklamsia atau eklamsianya. What a labour-intensive job, wasn’t it? In fact, it was only me who should do all those works.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semua residen sudah tahu bahwa pekerjaan seperti kami memang berat, dan bila memang tetap ingin memilih profesi ini, you just have to live with it... Bahkan pekerjaan yang terkesan remeh sekalipun seperti mengukur produksi kencing dan menghitung berapa cairan yang masuk diminum pasien dan keluar melalui urinnya, bisa menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Bila tidak dikerjakan dengan serius, maka nyawa ibu dan janin adalah taruhannya. Para seniorku selalu mencontohkan kasus (entah terjadi betulan atau tidak) bahwa suatu ketika ada seorang pasien yang mengalami edema paru akut (paru-parunya terendam cairan karena pada kondisi eklamsi cairan mudah sekali keluar dari pembuluh darah yang bocor) gara-gara residen yang bertanggung jawab lalai melakukan perhitungan cairan. Edema paru adalah kondisi fatal yang bisa mengakibatkan kematian ibu, tentu juga janinnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Udah kayak setrikaan ya Dok, mondar-mandir melulu dari tadi”, canda seorang pasien yang sedang kuukur tekanan darahnya. “Abis ga licin-licin sih...”, jawabku sekenanya sambil tersenyum dan memelototi alat tensiku. Ini adalah pasien terakhir yang diceritakan kolegaku tadi, seorang nyonya berusia 37 tahun, sedang hamil yang ketiga. Dua kehamilan sebelumnya juga berkomplikasi pre-eklamsia berat, semua harus dilahirkan prematur dan kedua bayinya meninggal karena komplikasi prematuritas. Hamil ketiganya ini, juga berkomplikasi pre-eklamsia berat pada usia kehamilannya yang baru 24 minggu, sehingga digolongkan sebagai suatu early-onset pre-eclampsia, dan biasanya prognsosisnya tidak begitu baik. Tensinya tidak juga terkontrol walaupun obat-obat antihipertensi telah diberikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Masih belum sesuai target nih Bu, tensinya... Ibu mesti makan obat ini lagi ya, nanti 15 menit lagi saya ukur ulang tekanan darahnya,” kataku sambil menyodorkan sebutir pil. Mengatur penurunan tekanan darah pada penderita pre-eklamsia seperti pasien ini tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Bila langsung diberikan obat dengan dosis besar supaya target tekanan darah segera tercapai, maka fatal akibatnya bagi janin, karena tekanan darah yang tiba-tiba turun akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang tiba-tiba, yang berarti pasokan nutrisi dan oksigen juga berkurang tiba-tiba. Namun bila target penurunan tekanan darah tidak segera tercapai, maka organ-organ penting si ibu yang menjadi taruhannya. Komplikasi seperti perdarahan otak, gagal ginjal, gagal hati, dan organ lain bisa terjadi akibat tekanan darah yang terlalu tinggi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Hasil lab saya belum datang ya, Dok?”, tanyanya setelah menelan pil yang kusodorkan. “Sebentar lagi saya ambilkan ke lab ya Bu, saya selesaikan menulis rekam medis dulu sebentar...”, jawabku sambil sibuk menulis. “Mudah-mudahan bagus ya Dok hasilnya, saya ga mau kehamilan saya diakhiri lagi sekarang gara-gara hasil lab saya nanti jelek”, gumamnya sambil memandang ke jendela. Aku mengangkat muka memandangnya, “Iya Bu, mudah-mudahan hasilnya bagus”, kataku sambil tersenyum memberi harapan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Dokter sudah punya anak?”, tanyanya lagi. “Waahh...Ibu ini mau memuji atau nyindir saya sih? Masak potongan kayak saya masih cocok jadi gadis dan belum pernah melahirkan? Saya sudah punya 2 anak Bu,” jawabku sambil bercanda berusaha menghangatkan suasana. “Senang ya Dok, bisa punya anak, apalagi kalo sehat-sehat. Hamil dan melahirkannya lancar, bayi tumbuh dan berkembang dengan baik...”jawabnya masih dengan nada sedih. Aku hanya bisa mengangguk dan kemudian menyahut, “Saya ambil dulu hasil lab Ibu di bawah ya...”, sebelum ikut larut dalam suasana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan hati ikut sedih aku melaporkan hasil lab pasien itu ke seniorku; mandor, jagut, serta chief jaga. Semua hasil pemeriksaan laboratorium pasien itu menunjukkan perburukan. Kadar hemoglobin dan trombositnya menurun dibanding pemeriksaan sehari sebelumnya, sedangkan enzim-enzim yang menunjukkan fungsi hati (SGOT dan SGPT) meningkat sampai 3x lipat menunjukkan fungsi organ sudah terganggu. Demikian juga pemeriksaan fungsi ginjal berupa kadar ureum dan kreatinin darah mulai meningkat, menandakan ginjal juga terancam bahaya. Kondisi ini merupakan komplikasi pre-eklamsia dalam kehamilan yang dikenal sebagai HELLP syndrome (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), kondisi perburukan yang mengharuskan pengakhiran kehamilan segera sebelum kondisi ibu menjadi lebih buruk karena kegagalan berbagai organ pentingnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah melaporkan pada Konsulen Jaga saat itu, berdiskusi panjang lebar mengenai alternatif pilihan yang kami punya, maka akhirnya kami sepakat untuk menyarankan pengakhiran kehamilan pasien tersebut. Saat ini usia kehamilannya baru 24 minggu, setidaknya butuh 4 minggu lagi sampai fasilitas perinatologi kami sanggup merawat bayinya dengan survival rate yang baik. Jangankan menunggu 4 minggu, perburukan dan komplikasi lain sudah membayang untuk terjadi sewaktu-waktu dengan nyawa ibu sebagai taruhannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah kupanggil suami pasien itu untuk masuk ke ruang rawat dan duduk di sebelah bed istrinya, Konsulen Jaga kami didampingi chief dan jaga utama kemudian menyampaikan kabar yang paling tak ingin didengar oleh pasangan malang itu. Breaking bad news seperti ini, lagi-lagi adalah bagian dari pekerjaan yang paling kubenci. Namun reaksi si pasien itu sungguh di luar dugaanku. Kupikir tadinya tentu dia akan menangis tersedu-sedu karena kesempatannya untuk menimang bayi harus hilang justru karena keselamatan jiwanya terancam bila kehamilannya dilanjutkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mungkin Yang Kuasa belum ngasih kepercayaan ya Dokter..? Saya ikhlas, bila memang itu yang terbaik... Tapi saya mau, biarpun harapannya kecil, bayi saya kalo dilahirkan nanti tetap ditolong maksimal ya Dokter. Sekarang juga saya mau tunggu obat pematangan parunya selesai sebelum dia dilahirkan. Biar nanti kalo saya dimintai pertanggungjawaban, saya bisa jawab bahwa saya udah usaha maksimal Dokter... Boleh kan begitu..??” jawabnya sambil menatapku lekat-lekat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hmmm...yang terbaikkah yang memang kami sarankan untuknya? Berat sekali mempertanggungjawabkan keputusan ini, apalagi pasien itu mempercayakan sepenuhnya keputusan dan nasib bayinya pada kami, pasrah bongkok'an orang Jawa bilang. Dia saja berjuang maksimal untuk keselamatan bayinya, meski nyawanya sendiri sudah di tepi jurang, sewaktu-waktu bisa tergelincir. Apakah kami juga sudah berjuang maksimal agar bisa mempertanggungjawabkan keputusan ini?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dulu, ketika aku memutuskan untuk memilih obstetri dan ginekologi sebagai bidang yang ingin kudalami, aku selalu beranggapan bahwa profesi ini paling keren dibandingkan bidang lainnya. Betapa tidak, sekali kerja, 2 nyawa dapat tertolong sekaligus, nyawa ibu dan bayi. Tak pernah terpikir bahwa kadang harus membuat pilihan sulit ketika harus memilih mengorbankan salah satu demi menyelamatkan yang lain, atau justru malah 2 nyawa yang melayang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di bagian kami, dalam sebulan, setiap residen obgyn wajib melakukan 2 kali jaga di akhir pekan (belum termasuk 4 kali jaga di hari kerja). Jaga di akhir pekan adalah jaga panjang, dimulai dari pukul 8 pagi (pada praktiknya residen harus datang setidaknya pukul 6) dan diakhiri pukul 8 pagi keesokan harinya (umumnya molor sampai siang bila banyak pekerjaan yang belum terselesaikan). Sabtu itu adalah jadwalku untuk jaga di IGD sebagai chief. Aku datang lebih pagi hari itu karena Jumat sorenya ketika aku mampir ke IGD sebelum pulang, semua bed IGD terisi penuh dengan pasien-pasien risiko tinggi. Ditambah lagi, entah kenapa di hari jaga itu, mulai Konsulen Jaga, chief, sampai jaga utama ditempati oleh orang-orang yang dicap dan dikenal sebagai “pembawa pasien” dengan kasus-kasus aneh (memang klenik sih, tapi kebetulan di Sabtu itu kasus-kasus menantang menanti kami).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu tiba, aku langsung mendata pasien-pasien risiko tinggi (kata-kata ini tentu bisa sangat relatif bagi tiap orang, definisi untukku adalah kondisi ibu yang bisa menyebabkan kematian). Setidaknya 3 pasien yang membuat produksi adrenalinku bertambah pagi itu, seorang perempuan yang hamil 16 minggu dalam kondisi keto-asidosis diabetikum, dirawat bersama sejawat Penyakit Dalam di ruang resusitasi IGD lantai 1. Kemudian satu pasien pre-eklamsi berat dengan edema paru akut, kondisinya belum begitu stabil setelah dilakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayinya. Dan satu lagi seorang pasien baru yang tiba semalam, hamil 28 minggu dengan kondisi sesak dan sianotik (kebiruan), dicurigai akibat penyakit jantung yang belum diketahui detilnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika operan dengan kolegaku, chief jaga semalam, dia menjelaskan sedikit riwayat pasien yang terakhir kusebutkan di atas. Pasien itu dirujuk oleh sebuah RSUD kota satelit ibu kota, yang juga mendapat rujukan dari seorang bidan desa. Pasien itu, berusia 21 tahun, hamil 28 minggu berdasarkan pemeriksaan sejawatku, dengan taksiran berat bayi kurang lebih 1000 gram saat ini. Dia tidak pernah kontrol kehamilan sebelumnya. Dia hanya pergi ke bidan 2 hari yang lalu karena merasa sangat sesak sampai tidak bisa bernapas. Pasien tersebut mengaku tidak pernah menderita penyakit jantung (mungkin lebih tepatnya tidak tahu karena memang tidak pernah periksa ke dokter). Namun dia mengaku bahwa bila beraktivitas sedikit berat seperti berjalan jauh, maka selalu merasa sesak dan biasanya orang-orang di sekitarnya mengatakan bibir dan mukanya tampak kebiruan. Kondisi tersebut sudah dideritanya sejak kecil, namun karena alasan biaya, kedua orang tuanya tidak pernah membawanya ke dokter atau rumah sakit. Clubbing finger di kedua tangannya cukup menjelaskan bahwa memang suatu kondisi penyakit jantung bawaan tipe sianotik mungkin menjadi latar belakang kondisinya sekarang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penyakit jantung yang sifatnya kelainan anatomis, kadang dapat dikompensasi oleh seseorang. Bila tidak melakukan aktivitas yang memaksa fungsi jantung maksimal, penderita kelainan jantung mungkin bisa hidup tanpa keluhan berarti (walaupun pada pasien ini ternyata keluhan sebenarnya sudah ada sejak kecil). Kondisinya akan sangat berbeda bila orang tersebut hamil. Dalam kehamilan, maka proses fisiologis seperti peningkatan jumlah cairan dalam tubuh, metabolisme dengan kebutuhan oksigen tinggi, dan lain sebagainya akan menuntut jantung bekerja ekstra. Beban jantung umumnya menjadi tidak bisa dikompensasi lagi dan muncullah berbagai keluhan seperti sesak. Tidak jarang, kondisi kelainan jantung baru diketahui saat hamil karena sebelum itu jantung dapat berkompensasi dan ketika hamil barulah jantung menyerah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika ronde pagi, kami bahkan tidak bisa mendekati bed pasien itu beramai-ramai. Pasien itu tampak gelisah dan ketakutan ketika kami kerumuni, dan karena monitor menunjukkan frekuensi jantungnya langsung meningkat drastis bila kami mendekat, maka kami menghindari hal tersebut agar jantungnya tidak semakin terbebani. Sungguh miris memandang pasien itu, tubuhnya kurus kering, tampak pucat kebiruan, sesak tersengal-sengal berusaha menghirup oksigen dari sungkup, namun saturasi oksigen yang terekam di monitor tak pernah lewat dari 78%. Yang menarik, saat itu kondisi bayi yang dikandungnya cukup baik. Pertumbuhannya sesuai dengan usia kehamilannya, dan rekaman jantung bayi baik menunjukkan oksigenasi baik meskipun jantung si ibu kesulitan mencukupi pasokan untuk dirinya sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jangan lupa kejar trainee dari PJT untuk segera datang dan melakukan echocardiography yaa..!!” instruksiku pada seorang junior yang sebelumnya kutugasi untuk menghubungi PJT (Pelayanan Jantung Terpadu, suatu unit tersendiri di rumah sakit kami yang menangani pasien-pasien dengan penyakit jantung). “Sudah saya telpon mbak, tapi kata orang administrasinya, pasien mesti bayar 600 ribu di muka, soalnya kan echo-nya mau dikerjakan di sini. Suami pasien belum datang, yang nunggu di depan itu cuma ibunya, ga punya uang sepeser pun...” jelas juniorku panjang lebar. Sambil tersenyum manis dan bernada merayu, kualihkan pandanganku pada seorang perawat senior IGD kami, “Kak, bantu urusin dong surat-surat pasien itu biar cepet beres. Mesti echo sekarang juga nih. Kalo enggak, kita ga bisa tau kondisi jantungnya dan mau diapain pasiennya nanti.” Umumnya, pasien tidak mampu bisa mendapat keringanan biaya pelayanan medis di rumah sakit kami asal surat-suratnya lengkap.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Yaelah Dok, suaminya aja belum dateng... Boro-boro surat, KTP aja kagak punya tu pasien. Gimana mau bikin surat jaminan biar dapet keringanan?” jelas perawat itu sambil mengangkat bahu. Nah, biarpun ada mekanisme keringanan, tapi berbagai dokumen yang diminta umumnya sulit dipenuhi oleh pasien, termasuk KTP dan kartu keluarga. “Dia ga punya KTP Jakarta Dok, apalagi KK Jakarta. Dia aslinya dari kampung di Jawa. Pindah ke Bekasi karena ikut suaminya yang kerja jadi buruh pabrik di situ” sambungnya. “Jadi gimana dong, masak ga kita apa-apain pasiennya kalo ga punya surat-surat?”, tanyaku. Sambil mengangkat bahu, sejawat perawatku itu menjawab, “Ya mesti ngurus dululah KTP Jakartanya”. Halaaaahhhh, sampai lebaran kodok juga urusan birokrasi dan administrasi ini tidak akan beres. “Hubungi MOD aja kalo enggak Dok, tapi kayaknya dia belom datang sih jam segini kalo hari libur”, sambungnya untuk menelpon manager on duty rumah sakit kami yang biasanya tetap menyarankan jalur biasa untuk pengurusan surat-surat keringanan yang bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, or as long as needed.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Na, udah kita urunan aja deh buat echo pasien itu ya. Tarikin semua anggota tim jaga iuran buat bayar ke PJT sekarang. Kalo udah terkumpul uangnya, jemput sekalian ke PJT alat echo dan trainee cardio-nya. Kita nggak punya banyak waktu ngurusin administrasi kayak gini. Waktu kita mending buat ngurusin pasien...” instruksiku pada juniorku yang tadi. Di antara residen di rumah sakit ini, residen obgin terkenal paling tak sabaran dan tak toleran dalam hal menunggu. Dan setiap 15 menit kemudian, aku selalu berkicau mengingatkan juniorku itu untuk tetap menelpon PJT karena dokter dan alat yang kami nantikan belum juga tiba. Bila kami tidak bisa menetapkan masalah apa yang diderita jantungnya, tidak banyak yang bisa kami lakukan bukan?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mbak, trainee cardio-nya udah datang tadi. Dia periksa, tapi dia bilang harus konsul dulu sebelum dia bisa jawab surat konsul kita...” lapor juniorku saat aku keluar dari kamar operasi setelah melakukan satu seksio. “Telpon lagi deh ke sana, bilang kita minta keputusan pasiennya harus diapakan? Harus diterminasi sekarang nggak kehamilannya? Terus mau diapain pasiennya?” seruku gemas. Untunglah sebelum kesabaranku habis, datang trainee senior cardio yang kemudian memeriksa ulang pasien itu dengan seksama.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Prognosisnya buruk nih, Mbak...”, begitu kalimat pembukanya ketika aku dengan muka bertanya menanti trainee senior itu mengisi surat konsul yang kami kirimkan sejak pagi tadi. “Saya rasa ini ASD, tapi sudah sampe terjadi hipertensi pulmonal dan Eissenmenger syndrome. Susah ditentukan hanya dengan echo biasa, mesti TEE...”, jelasnya. ASD (atrial septal defect, ada celah pada sekat yang memisahkan kedua serambi jantung kiri dan kanan) adalah suatu kelainan bawaan, menyebabkan bercampurnya darah “bersih” dan darah “kotor” jantung, dan berkomplikasi tingginya tekanan darah di paru-paru yang menyebabkan jantung semakin sulit memompa darah ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang masuk. Itulah sebabnya pasien itu tampak kebiruan, darah yang beredar di tubuhnya kurang mengandung oksigen, justru lebih kaya karbon dioksida. Rasanya tak mungkin juga melakukan TEE (trans esophageal echocardiography) pada pasien ini, kondisinya buruk dan tidak mungkin dimobilisasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jadi, mesti diapain nih kehamilannya Dok?”, tanyaku. “Hmmm, kalau sudah begini sih, kemungkinan survive nya saya rasa tak lebih dari 10%. Tidak hamil saja saya rasa segitu, kalau hamil ya Mbak tau sendirilah...”, jawabnya menggantung. “Ini baru 28 minggu Dok, beban cairan masih akan terus bertambah dan mencapai maksimal di 32 minggu kehamilan. Kalau misalnya dilahirkan, nanti back flow nya gimana?” jelasku, juga mengingatkan bahwa bila seorang ibu hamil melahirkan, maka sejumlah besar cairan yang mengalir dari rahimnya yang mengecil karena isinya sudah keluar semua akan mengalir balik ke jantung dan menjadi beban luar biasa secara tiba-tiba bagi jantung, dikenal sebagai back flow.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya justru itulah mengapa saya bilang prognosisnya buruk. Mau ditunda atau dilahirkan sekarang, tidak ada pengaruhnya Mbak...” ujarnya kembali menggaris bawahi kalimat pembukanya tadi. “Saya rasa pasien ini harus dirawat di ICU Mbak, ga bisa di sini... Mesti diobservasi ketat”, jelasnya sambil menyerahkan jawaban surat konsul kami. “Bila perburukan sewaktu-waktu, saya rasa ada tempatnya bayinya segera dilahirkan untuk mempermudah resusitasi nantinya, walaupun mungkin komplikasi back flow akan sangat berat...” jelasnya yang membuatku semakin garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya menjelang sore, suami pasien itu datang juga ke IGD. Rupanya, hari itu giliran shift nya sebagai sorang buruh pabrik kertas di suatu daerah industri, lumayan jauh dari rumah sakit kami. Aku memanggil suami dan ibu pasien itu untuk menerangkan kondisi istrinya itu. Aku yakin sangat sulit bagi mereka mencerna apa yang kujelaskan, namun ketika kujelaskan bahwa harapan hidupnya mungkin kecil mengingat kondisinya saat ini, dan kehamilan serta persalinan bisa membuat jantungnya berhenti bekerja sewaktu-waktu, suami dan ibu pasien itu tampak terkejut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya berani sumpah Dok, saya nggak tau istri saya punya sakit jantung... Kalo saya tau, dan tau bahwa istri saya itu sebenernya ga boleh hamil, pasti ga akan gini kejadiannya...”, jelas si suami dengan nada penuh penyesalan. “Saya percaya kok, Pak...Bukan salah Bapak, bukan salah siapa-siapa...”, jawabku berusaha menenangkan. Aku juga menenangkan si suami yang bingung ketika kumintai ijin mengirim istrinya itu untuk dirawat di ICU. “Aduh Dokter, ini aja saya cuma nitip KTP di kasir... Gimana kalo mau dirawat di ICU? Duit buat bayarnya dari mana entar?” tanyanya kebingungan dan panik. “Kami yang urus semuanya Pak..!!” jawabku meyakinkan. Aku sudah menelpon Koordinator Pelayanan Medik departemen kami dan bagian keuangan rumah sakit, meminta jaminan pelayanan untuk pasien itu. Jadi kami bisa fokus manangani masalah medis pasien dan menyerahkan urusan administrasi pada yang berwenang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu pasien itu dipindahkan ke ICU yang letaknya satu lantai di bawah IGD kami, aku langsung ikut turun ke bawah memastikan bahwa semua instruksi dari sejawat kardiologi sore tadi dijalankan semua di ICU. Ruang ICU memiliki fasilitas dan peralatan jauh lebih lengkap dibandingkan ruang rawat kami dan laboratorium juga berlokasi di lantai yang sama. Mereka memiliki mesin X-ray sendiri, sehingga pasien tidak perlu dimobilisasi ke departemen radiologi bila perlu dilakukan foto ronsen, seperti pasien tersebut. Mesin X-ray portable itu tinggal didorong ke atas bed pasien, dan pasien tinggal diposisikan untuk difoto.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat aku beranjak akan kembali ke lantai 3 tempat IGD obgin berada, tiba-tiba seorang perawat ICU memanggilku. Aku kembali ke bed pasien itu dan si pasien dengan nafas tersengal-sengal berkata dengan takut dan panik, “Saya ga mau dironsen, ronsen bisa bahaya buat bayi saya...!! Dokter, tolong bawa pergi alat ini, pokoknya saya ga mau dironsen...”. Susah payah aku menjelaskan padanya, “Ibu tenang aja, ronsen yang ini aman kok buat bayi ibu, kan dia udah cukup besar sekarang. Lagian dosis ronsen untuk foto dada aja aman kok. Ini demi keselamatan Ibu. Kami harus foto ronsen dada ibu supaya bisa lihat kondisi jantung dan paru-paru Ibu, dan kemudian mengobati Ibu”, bujukku. “Dokter bohong...!! Ronsen ini bahaya buat bayi saya. Pokoknya saya nggak mau dironsen. Biarin saya ga usah diobatin, biarin saya mati, asal bayi saya selamat...” lanjutnya lagi terbata-bata dan tersengal-sengal. Monitor di sebelah pasien itu mulai mengeluarkan bunyi alarm berisik karena frekuensi nadi yang terekam mulai meningkat dan saturasi oksigen pasien itu semakin menurun. Melihat gelagat buruk di monitor, akhirnya aku memberi isyarat petugas radiologi ICU memindahkan lagi alat X-ray dari bed pasien itu dan mengikuti permintaannya. “Baiklah, tidak usah ronsen sekarang Bu. Ibu istirahat saja dulu di sini ya...”kataku mengakhiri perdebatan agar jantung pasien itu tidak gagal sekarang gara-gara bekerja ekstra memompakan oksigen hanya demi berdebat menolak pemeriksaan ronsen dada (walaupun kami sangat membutuhkan pemeriksaan tersebut untuk mengevaluasi kondisi jantung dan paru-parunya).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pasien dengan ASD berkomplikasi hipertensi pulmonal dan sindrom Eissenmenger yang bisa hamil sampai usia kehamilan cukup besar seperti pasien ini sangat jarang. Di tempat kami yang rujukan nasional saja, hanya pernah ada 3 atau 4 kasus dalam 5 tahun terakhir, dan semua berakhir dengan kematian ibu. Satu kasus ketemui sendiri 1 tahun sebelumnya. Waktu itu pasiennya datang dengan hamil cukup bulan dan sudah masuk dalam fase aktif persalinan. Seketika itu semua tim lengkap dari obgin, kardiologi, anestesi bersiap siaga mendampingi proses persalinannya secara painless labour. Kondisi masih terkontrol sampai saat bayi dilahirkan dengan ekstraksi forseps, kemudian plasenta dilahirkan secara manual. Begitu plasenta lahir dan rahim berkontraksi baik menyetop aliran darah, maka proses back flow dimulai. Dalam hitungan detik saturasi oksigen pasien itu terus menurun dan walaupun kolega anestesi dan kardiologi melakukan semua yang mereka bisa, saturasi terus menurun. Tak kurang dari 5 konsultan dan 10 residen obgin, anestesi, dan kardiologi, tak bisa berbuat banyak menaikkan saturasi oksigen dan membuat jantung pasien itu berdenyut. The nature took it course, dan pasien itu meninggal di hadapan kami semua sepuluh menit setelah melahirkan bayinya yang sehat dan menangis kuat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat berdiskusi dengan kolegaku sejawat perinatologi mengenai kemungkinan survival bayi pasien itu yang saat ini berusia 28 minggu dan taksiran beratnya sekitar 1000 gram, sejawatku menyatakan chance bayi itu cukup baik untuk bisa hidup bila memang dia tak berada dalam kondisi hipoksia saat ini dalam rahim. Well, sulit untuk mengatakan demikian, sang ibu saja sudah jelas hipoksia. Tentu janin yang dikandungnya juga demikian adanya karena toh dia mengandalkan pasokan oksigen dari ibunya. Sempat terlintas untuk melahirkan saja janinnya sekarang sebelum kondisi hipoksia berkepanjangan terjadi pada janinnya, mungkin si bayi bisa ditolong, sedangkan si ibu seperti sudah dibahas sebelumnya hanya memiliki chance kecil untuk bisa survive, regardless of when and what would be done. Tapi tentu ini menyalahi diktum obstetri, di mana keselamatan ibu selalu didahulukan daripada janin yang dikandungnya. Melahirkan bayinya sekarang ibarat membuka pintu bendungan dan menginisiasi banjir bandang yang meluluh-lantakkan jantung pasien itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya malam itu dilewatkan dengan status quo untuk pasien tersebut. Kondisinya tetap sama sampai keesokan harinya. Kami merencanakan suatu urgent clinical meeting bersama kardiologi, anestesi, dan perinatologi untuk membahas bersama apa yang terbaik untuk dilakukan terhadap pasien tersebut. Namun sayang, kemudian aku mendapat berita dari tim jaga selanjutnya bahwa kondisi pasien itu tiba-tiba memburuk di ICU. Dilakukan operasi seksio sesarea emergency untuk mempermudah resusitasi ibu. Ternyata bayinya juga telah mengalami hipoksia berkepanjangan dan tidak dapat ditolong lagi. Sedangkan jantung sang ibu menyerah pada back flow pasca persalinan tidak lama setelah operasi, seperti sudah kami duga sebelumnya. Kembali terlintas di benakku, kalau saja kami langsung lahirkan bayinya malam itu, mungkin si bayi masih dapat ditolong dan keinginan si ibu untuk menukar nyawanya demi si bayi dapat terpenuhi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku yakin pasien itu tak pernah melafalkan sumpah “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” seperti kami para dokter. Tapi mungkin sumpah itu otomatis mengalir dalam pembuluh nadi setiap calon ibu, selalu terhirup dalam setiap tarikan nafas perempuan yang bercita-cita menimang bayinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Watford, 24 Desember 2012</div>
<span style="text-align: justify;"></span><br />
<div style="text-align: justify;">
*untuk Ibuku, perempuan sederhana berhati baja, pembakar tungku semangat, pengalir kasih tak mengharap pamrih...yang hari ini genap berusia 58 tahun</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-38726239214295561342017-07-14T05:29:00.004-07:002017-07-14T05:29:53.516-07:00MENITI BATAS (bag 1)<div style="text-align: justify;">
(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sepenggal kalimat di atas adalah salah satu butir dari naskah Sumpah Dokter yang wajib diucapkan oleh setiap lulusan pendidikan dokter di Indonesia. Diinspirasi dari Hippocrates Oath, yang kemudian juga diratifikasi dari Deklarasi Jenewa pada tahun 1948, kalimat asli yang dipopulerkan lebih dari 2.500 tahun yang lalu itu berbunyi, “I will not give a woman a destructive pessary”. Kalimat ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara berbeda-beda di seluruh belahan dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bagi kelompok yang menamakan dirinya “pro-life”, kalimat tersebut merupakan argumen bahwa tindakan aborsi, atau terminasi/pengakhiran kehamilan sebelum waktunya adalah suatu tindakan yang melanggar sumpah profesi. Di sisi lain, mereka yang menyebut dirinya “pro-choice” menginterpretasikan kalimat ini dengan konteks yang berbeda. Jaman Hippocrates hidup, tindakan aborsi dibolehkan secara hukum. Namun tindakan melakukan aborsi menggunakan “pessary” (alat atau bahan yang dimasukkan ke dalam vagina dan leher rahim untuk membuka jalan lahir secara paksa) ternyata menimbulkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa perempuan waktu itu. Jadilah mereka melakukan tindakan aborsi dengan menggunakan ramuan obat Yunani kuno yang dimakan atau diminum secara oral, dan melarang penggunaan “pessary”.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukan hanya sekedar menjadi isu politik saat kampanye di hampir setiap negara, masalah aborsi atau terminasi kehamilan ini juga merupakan isu etikolegal yang tak kunjung habis dibahas. Sepanjang pendidikan dokterku di Indonesia, kami menerima bahwa tindakan aborsi adalah tindakan melanggar hukum (juga agama, norma sosial, serta budaya), kecuali pada beberapa kondisi tertentu di mana kehamilan dapat mengancam nyawa perempuan. Namun di Inggris, negara tempat tinggalku sekarang, aborsi atau terminasi kehamilan sebelum usia kehamilan 24 minggu legal secara hukum bila memenuhi syarat-syarat berikut ini : terdapat alasan/kondisi personal, kehamilan tersebut mengancam kesehatan/nyawa perempuan, atau janin yang dikandung menderita cacat bawaan. Pada praktiknya, setiap perempuan berhak atas layanan “termination of pregnancy” (TOP) bila memutuskan ingin mengakhiri kehamilannya sebelum usia 24 minggu, dengan alasan apa pun. Di sisi lain, bila seorang perempuan memutuskan untuk melanjutkan kehamilannya, bahkan bila mengancam kesehatannya atau janin yang dikandungnya menderita defek atau cacat bawaan berat, maka NHS (National Health Services, sistem pelayanan kesehatan di Inggris) berkewajiban untuk menjamin layanan kesehatan yang memadai selama kehamilan, persalinan, dan tumbuh kembang si bayi kelak (tentu dengan beberapa perkecualian).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di negara ini, diagnosis pre-natal untuk menapis kelainan atau cacat bawaan janin dikerjakan begitu agresif dan menjadi bagian dari layanan rutin kehamilan (tentu semuanya gratis). Bila ditemukan kondisi janin yang diperkirakan akan menyebabkan kecacatan atau kelak dia tidak akan bisa hidup mandiri, dan si perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya, maka layanan TOP siap melakukan tugasnya. Salah satu alasan pemerintah menyediakan anggaran begitu besar untuk layanan diagnosis pre-natal ini ternyata adalah karena anggaran yang harus mereka sediakan untuk memberikan layanan bagi anak-anak yang terlahir dengan kondisi “istimewa” ini ternyata jauh lebih besar lagi. Lain halnya di Indonesia yang umumnya semua harus “out of pocket” sendiri, maka orang tualah yang harus memikirkan semua hal tersebut sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selama 6 minggu aku berkesempatan melakukan “clinical attachment” di suatu sentra pre-natal diagnostic and fetal medicine yang berlokasi di ibu kota negara ini tahun lalu, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka begitu agresif melakukan diagnosis pre-natal. Tempat ini merupakan sentra layanan kesehatan yang sangat terkemuka, menerima rujukan pasien bukan hanya dari seantero Inggris, namun juga dari negara-negara Eropa daratan, untuk diagnosis pre-natal maupun prosedur invasif intra uteri (pembedahan terhadap janin di dalam kandungan ibunya). Dokter yang mendalami bidang ini juga datang dari berbagai belahan dunia untuk belajar di tempat itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi itu aku memilih belajar di ruangan “twin scan” dari 12 ruangan USG dan prosedur yang ada. Umumnya satu ruangan diisi oleh seorang senior clinical fellow, seorang junior clinical fellow, dan satu observer seperti diriku. Setiap ruangan sudah memiliki daftar pasien yang akan datang di hari itu, dan di ruangan “twin scan” setiap pasien dialokasikan waktu sekitar 45 menit untuk pemeriksaan USG yang sangat mendetail. Konsultan harian yang bertanggung jawab akan stand-by di ruangannya, siap memberi bantuan bila terdapat kesulitan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah pasien kelima selesai diperiksa, aku berniat keluar ruangan untuk mencari udara segar (dan mengistirahatkan mata karena di dalam ruang pemeriksaan lampu harus dimatikan dan pemanas ruangan beroperasi maksimal). Di tempat ini, tidak dikenal istilah “lunch-break”, apalagi “morning coffee or tea-break”. Bila kaki pegal karena seharian harus berdiri dan perut lapar karena sampai jam 7 malam tidak sempat makan, maka itu dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk bisa belajar. Namun posisi observer sepertiku tentu lebih fleksibel karena tidak dibebani tanggung jawab pelayanan, sehingga biasanya bila merasa hipoksia di dalam ruang pemeriksaan, aku dan para observer lainnya atau clinical fellow akan keluar dan mencari udara segar di gang yang memisahkan ruang pemeriksaan satu dan lainnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu aku keluar, seorang sejawat junior clinical fellow baru dari Brazil berpenampilan seperti aktor telenovela juga sedang keluar dan menutup pintu dengan tulisan “invasive room” tepat di depan ruanganku. “Hi...” sapanya, dan sambil mengambil posisi berdiri yang nyaman di gang, dia melanjutkan, “Will we have some interesting procedures today?” tanyanya. “Hi..” jawabku sambil tersenyum, “I guess so. We’ll have one laser procedure for twin to twin transfusion syndrome case and one balloon removal on diaphragmatic hernia case” jawabku. “Good...” jawabnya sambil tersenyum senang. “Guess what is happening in there now”, katanya sambil menunjuk ke arah ruangan dengan papan bertuliskan “invasive room” tempat dia sebelumnya berada tadi. “How should I know...” jawabku sambil mengangkat bahu. “Well, you should know why they sent me out of the room..” jawabnya sambil nyengir penuh kemenangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sini, sebisa mungkin setiap fellow mendapat paparan terhadap berbagai kasus dan tindakan sebanyak mungkin. Artinya, bila ada tindakan yang dilakukan dengan seminimal mungkin orang yang terlibat, berarti prosedur itu pasti terminasi kehamilan. Pada prosedur ini, biasanya hanya boleh dihadiri oleh si pasien dan pendampingnya, fellow yang melakukan prosedur itu, serta konsultan yang bertanggung jawab. Sisanya akan diminta keluar dari ruangan dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut biasanya sangat emosional bagi pasien (padahal bila aku ada di situ, tentu juga akan menjadi sangat emosional dan personal bagiku).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejawat fellow tadi kemudian menceritakan pasien yang sedang menjalani prosedur di dalam ruangannya. Seorang perempuan yang hamil anak pertama, dan dari pemeriksaan “screening” atau penapis, didapatkan bahwa risiko janin yang dikandungnya itu menderita Down Syndrome cukup besar, 1 : 20. Belum lagi ditambah bahwa dari pemeriksaan USG, nasal bone (tulang hidung) nya tidak ditemukan padahal usia kehamilannya sudah hampir 23 minggu, walaupun tidak ditemukan kelainan struktur anatomi yang lain. Sentra ini memiliki program komputer sendiri (dan juga digunakan di seantero Inggris) untuk menghitung risiko tersebut yang mengkombinasikan hasil pemeriksaan beberapa kadar hormon dalam darah ibu dan beberapa parameter pemeriksaan USG. Down Syndrome sebenarnya bukan kelainan yang letal (mematikan) bagi janin, tergantung dari varian mana yang diderita janin, biasanya bayi yang lahir nantinya akan menderita keterbelakangan mental, gangguan pada beberapa organ, gangguan tumbuh kembang, dan lain sebagainya. Singkatnya, walaupun sebenarnya semua hasil pemeriksaan itu sudah ada sejak beberapa minggu lalu, si pasien menolak untuk dilakukan tindakan diagnosis invasif untuk mengambil sel janin dan melakukan studi kromosom untuk membuktikan apakah memang si janin menderita Down Syndrome. Pasien itu kemudian menghilang, dan baru kembali kontrol dengan keputusan ingin mengakhiri kehamilannya sekarang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sentra ini, protokol untuk mengakhiri kehamilan agak berbeda dengan tempat lain. Umumnya, pengakhiran kehamilan dilakukan dengan membuka jalan lahir, sehingga otomatis janin akan keluar. Cara ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi obat-obatan yang memang akan melunakkan jalan lahir dan menciptakan kontraksi rahim sehingga janin lahir, atau pada usia kehamilan yang kecil maka cukup dilakukan pemasangan alat semacam “pessary” dan dilanjutkan dengan kuret untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Tapi di tempat ini, mereka melakukan penyuntikan larutan KCl konsentrasi tinggi ke jantung janin dengan panduan USG, sehingga jantung janin akan berhenti berdenyut dan janin mati. Setelah janin mati, umumnya dalam beberapa hari atau minggu dia akan keluar/lahir dengan sendirinya. Terdengar sangat sadis, tapi ternyata mereka memiliki alasan tersendiri mengapa cara ini yang dipakai.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hukum di Inggris mengatur bahwa setiap bayi yang lahir di atas usia kehamilan 23 minggu wajib mendapat resusitasi maksimal untuk tetap bertahan hidup, melibatkan fasilitas perinatologi canggih dan obat-obatan bernilai ribuan pounsterling. Jadi bila pengakhiran kehamilan dilakukan pada usia kehamilan borderline seperti itu, bayi yang lahir hidup harus mendapatkan resusitasi maksimal (padahal terminasi kehamilan diputuskan karena si bayi dinilai “tidak layak hidup” oleh orang tuanya). Maka untuk menghindari kontroversi semacam ini, sentra ini memilih untuk “mematikan” dulu si janin, sehingga saat kemudian lahir tidak perlu melanggar hukum dengan tidak melakukan resusitasi. Mungkin aku yang terlalu bodoh, sensitif, atau take it personally, tapi logika-logika semacam ini tidak bisa dicerna oleh otakku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“What procedure will you have next?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang membuat dadaku ngilu itu. “Owh, we will put a chest shunt right after this one...” jawab kolegaku itu dengan semangat. Dia menjelaskan kasus tersebut, seorang perempuan berusia 20 tahun yang dikirim dari kota lain karena janinnya menderita cacat multipel. Didapatkan kelainan struktur pada jantung janinnya, dan belakangan didapatkan bahwa rongga dadanya terisi cairan (efusi) yang menyebabkan kedua paru-paru janin itu tidak dapat tumbuh dan berkembang sempurna. Hal ini masih ditambah dengan sebagian usus janin yang berada di luar tubuhnya (gastroschisis). Sebenarnya dicurigai bahwa kondisi ini dilatarbelakangi oleh kelainan kromosom, namun si ibu menolak melakukan pemeriksaan yang lebih invasif karena berkeras bahwa apa pun hasilnya, dia akan tetap melanjutkan kehamilannya dan menuntut perawatan maksimal untuk bayinya kelak. “Can I join you guys for that procedure”, tanyaku yang belum pernah melihat prosedur ini dikerjakan. “Why not?” jawabnya sambil melambaikan tangannya padaku mengajak masuk segera ke ruangan itu sebelum dipenuhi oleh fellow lain yang juga ingin menonton prosedur itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Chest shunt yang dipasang itu digunakan untuk mengalirkan cairan yang terakumulasi di rongga dada si janin ke ruang amnion, memberi kesempatan agar paru-parunya dapat berkembang. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa paru-paru yang tumbuh mnegembang dan berfungsi baik kan? Prosedur itu dilakukan sendiri oleh seorang professor yang saat itu menjabat sebagai direktur unit fetal medicine tersebut. Begitu selesai melakukan prosedur tersebut dengan panduan USG, dia menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan oleh si pasien. Bahwa nantinya dia harus bersalin di rumah sakit ini, karena memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik. Dia juga menginstruksikan seorang senior fellow untuk mengatur waktu persalinannya kelak, berkoordinasi dengan neonatologist, pediatric surgeon, pediatric cardio-thoracic surgeon, menyediakan inkubator bayi dengan ventilator khusus, dan lain sebagainya untuk menunjang kehidupan dan mengkoreksi berbagai kelainan yang diderita si bayi. Sayang aku tak tahu bagaimana nasib si bayi setelah dilahirkan kemudian, tapi setidaknya aku merasa bekerja dengan para dokter (yang memang niatnya menolong dan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkan nyawa). Meski kemungkinan bayi itu bisa bertahan hidup dengan berbagai cacat organ vital yang dideritanya relatif kecil, toh usaha “ngeyel” mereka patut diacungi jempol.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika dulu aku melafalkan sumpah dokter ini, tak pernah terbayang ternyata memang sangat berat mengemban dan merealisasikan isinya. Apalagi ketika menemui kasus-kasus yang berada pada “grey-area” yang ternyata sangat banyak di dunia kedokteran, termasuk bidang obstetri dan ginekologi yang kudalami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siang itu suasana Poliklinik Obstetri hampir mirip Bursa Efek Jakarta saat IHSG naik dan para pialang riuh rendah berusaha menjual saham, panas dan berisik... Bedanya mungkin di BEJ, udara ruangan tetap dingin karena air conditioner berfungsi sebagaimana mestinya. Poli hari ini begitu panas karena jumlah pasien dan kapasitas ruangan sungguh tidak sesuai, ditambah lagi air conditioner di semua ruangan mogok bekerja akibat usia tua tanpa maintenance semestinya. Kumpulan ibu-ibu hamil dengan metabolisme berlipat yang menghasilkan ekstra panas juga berkontribusi menambah parahnya suasana, belum lagi mungkin banyak di antaranya yang tidak sempat mandi di pagi hari karena harus menembus kemacetan dan antri pagi-pagi sebelum loket pendaftaran dibuka.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mbak, konsul dong...”, tegur seorang juniorku memecah konsentrasiku yang sedang tekun menulis resume-resume pasien ginekologi untuk dikirim operasi. “Kenapa?”, tanyaku sambil melipat rekam medis di hadapanku dan bangkit dari duduk mengikuti juniorku itu ke ruang periksanya. “Pasienku hamil 16 minggu, anensefali, tapi dia menolak diterminasi Mbak,” jelasnya singkat sambil membuka pintu ruang periksa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di dalam ruang periksa, sudah menanti sepasang suami istri yang tampak galau dan bingung. Mereka sudah menikah selama 5 tahun, sang istri sudah pernah 2x hamil sebelumnya. Kehamilan pertamanya berakhir dengan keguguran pada usia kehamilan 14 minggu. Kemudian kehamilan keduanya diakhiri dengan operasi sesar karena bayinya menderita spina bifida, suatu kelainan di mana terdapat gangguan pembentukan saraf-saraf dan tulang belakang. Rencananya si bayi akan dirujuk setelah dilahirkan secara sesar ke rumah sakit yang bisa melakukan operasi koreksi spina bifida itu, namun sayang, belum sempat dirujuk, si bayi meninggal karena sepsis (infeksi menyeluruh yang menyebabkan kegagalan berbagai organ). Dan di kehamilan yang ketiga ini, pasien itu dirujuk ke tempat kami karena didapatkan janinya menderita anensefali (suatu kondisi di mana sebagian besar otak dan tempurung tengkorak tidak terbentuk, merupakan kelainan yang bersifat letal atau mematikan karena manusia tidak mungkin hidup tanpa otak). USG konfirmasi di tempat kami juga setuju dengan pemeriksaan USG perujuk sebelumnya, bahwa janin yang dikandung pasien itu memang menderita anensefali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Bagaimana kabarnya Pak, Bu,... “ sapaku sambil tersenyum ramah kepada mereka, berusaha mencairkan suasana. Bukan menjawab sapaanku, sang istri malah mulai menangis terisak-isak dan si suami mulai salah tingkah sibuk menenangkan istrinya. “Dokter, memangnya ga ada cara ya nolong anak saya? Emang ga bisa dioperasi gitu otaknya nanti kalo udah lahir? Kenapa mesti dilahirin sekarang aja? Tolong diusahakan Dokter, kami udah nunggu bertahun-tahun untuk bisa punya anak yang sehat...” berondong si suami sambil merangkul istrinya yang masih terisak-isak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan sangat berempati aku berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa kelainan seperti ini tidak bisa dikoreksi, pengetahuan dunia kedokteran belum sampai bisa menumbuhkan otak yang tidak terbentuk seperti pada janin mereka. Kalaupun si janin tetap hidup di dalam kandungan sampai cukup bulan, saat setelah dilahirkan nanti, ketika dia harus mandiri mengatur sistem penunjang kehidupannya seperti pernafasan dan jantung (yang semua tentu harus diatur oleh otak), maka tidak lama biasanya bayi akan meninggal juga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada kasus mereka, si istri sudah memiliki riwayat sekali operasi sesar. Artinya, bila melahirkan kelak, ada risiko lebih bila dibandingkan dengan perempuan yang rahimnya tidak pernah dilukai. Persalinan janin cukup bulan dengan anensefali umumnya sulit, karena struktur kepala tidak sempurna, maka persalinan bisa menjadi lama dan kadang harus melalui berbagai manuver untuk melahirkan bayi. Bagian otak bayi yang juga berperan dalam mengatur persalinan tidak ada, sehingga biasanya persalinan semakin sulit. Kondisi ini semakin kompleks karena bekas luka di rahim ibu berisiko robek bila persalinan lama, sulit, atau menggunakan manuver-manuver tertentu. Di sisi lain, bila sampai harus melakukan operasi seksio sesar lagi, maka tentu si ibu akan menanggung risiko persalinan lebih besar, padahal bayi yang dilahirkan mungkin umurnya akan hanya beberapa jam atau hari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Prinsip “do no harm” lah yang kami utarakan kepada mereka ketika mengajukan alternatif untuk melahirkan bayinya sekarang, saat masih kecil, mudah keluar dan risiko robekan rahim kecil sehingga aman untuk ibu. Pikir kami sebagai dokter waktu itu adalah “the risks are not worth taking for a poor prognosis baby”. Aku juga jelaskan bahwa kelainan seperti spina bifida dan anensefali biasanya disebabkan oleh kurangnya kadar dan konsumsi asam folat ibu, sehingga kehamilan berikutnya harus benar-benar direncanakan dengan baik agar tidak terulang lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba sambil sesenggukan, si istri memotong penjelasanku, “Saya tidak mau kehamilan saya diakhiri sekarang Dokter..!! Dokter bisa aja salah diagnosis kan..?! Saya mau merasakan bayi saya nendang-nendang di dalam perut... Saya mau gendong dan peluk bayi saya nanti kalo dia sudah lahir. Biarpun ternyata umurnya cuma sebentar, biarpun cacat dan jelek, tapi dia anak saya, Dokter...!! Biarpun saya harus sesar lagi, biarpun saya harus menanggung risiko dan mempertaruhkan nyawa saya, saya mau bayi saya tetap dipelihara dan dirawat seperti bayi normal lainnya...!!” serunya penuh emosi. Aku tertegun mendengar kalimat-kalimat pasien itu yang begitu emosional, namun sisi keibuanku secara tidak sadar setuju juga dengan sebagian kalimatnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dan pasien itu masih melanjutkan, “Lagian Dokter ini manusia juga kan? Bukan Tuhan? Apa hak Dokter mengakhiri hidup bayi saya sekarang? Emangnya Dokter bisa menjamin kalo saya gugurkan kandungan sekarang, saya pasti akan bisa hamil lagi nantinya? Apa Dokter bisa pastikan, kalo saya ngikutin saran Dokter minum folat, maka pasti bayi saya nanti nggak cacat? Apa Dokter bisa...??!!” cecarnya menuntut.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yaaaa...kami yang dokter ini jelas-jelas manusia juga. Kami tak punya kuasa apa-apa selain setitik ilmu yang kami miliki. Tak pantas kami dibandingkan dengan Tuhan, dan tak mungkin kami mendahului kuasa Nya. Sungguh ada batas yang jelas antara makhluk dan penciptaNya. Tapi terkadang, batas itu tersamar, entah karena keangkuhan manusia, atau justru karena kebodohannya...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
*to be continued..</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Watford, 19 Desember 2012</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-30023013917048793212017-07-14T05:17:00.000-07:002017-07-14T05:26:39.802-07:00Mahkota PerempuanOleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bila ditanya organ apa yang paling unik dan ajaib di tubuh seorang perempuan, aku yakin jawabannya adalah rahim. Untukku yang hidup di dunia obstetri dan ginekologi selama 5 tahun terakhir, rahim bukan hanya sekedar unik dan ajaib. Bayangkan, rahim yang dalam keadaan normal ukurannya tak lebih dari kepalan tangan orang dewasa, bisa membesar hampir seribu kali lipat untuk memberi ruang seorang bayi seberat rata-rata 3 kg, plasenta (ari-ari) seberat 500 gram, dan air ketuban sebanyak 1 liter. Itu kalau hamilnya tunggal, kalau multipel atau bayinya besar atau cairan ketuban berlebih, tentu rahim mesti melar lebih besar lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perkembangan teknologi reproduksi sekarang sudah bisa mengambil alih fungsi beberapa organ yang terganggu dan menyebabkan seseorang susah atau tidak bisa hamil dan memiliki keturunan. Bayi tabung misalnya, yang beken juga dengan istilah fertilisasi in vitro, merupakan serangkaian proses rumit teknologi reproduksi berbantu yang mempertemukan sel telur dan sel sperma pasangan di luar tubuh, dan kemudian mengembalikan hasil pembuahannya ke rahim perempuan untuk tumbuh. Namun hingga saat ini, belum ada teknologi yang bisa menggantikan rahim sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya seorang calon manusia. Jangankan membuat alat dengan fungsi yang sama, proses fisiologis bagaimana terjadinya fertilisasi (pembuahan sel telur oleh sperma), implantasi (menempelnya calon janin ke rahim), dan tumbuh kembang janin dalam rahim saja masih merupakan teka-teki bagi umat manusia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tak heran bila kemudian perempuan menjadikan rahim sebagai salah satu mahkota kewanitaannya (selain rambut tentunya).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun demikian, tidak semua perempuan dianugerahi rahim fungsional sepanjang hidupnya. Ada yang memang dari "sono" nya ditakdirkan Sang Pencipta untuk tak pernah memiliki rahim, ada juga yang terpaksa kehilangan rahim di tengah perjalanan hidupnya. Selama 5 tahun terakhir ini, entah sudah berapa perempuan yang ku"pancung" rahimnya. Ternyata, operasi pengangkatan rahim, yang lazim dikenal sebagai histerektomi, adalah jenis tindakan operasi yang paling banyak dilakukan di Amerika Serikat, mungkin juga di tempat lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hari itu aku bertugas di Poliklinik Endokrinologi Ginekologi. Seorang perempuan muda dan cantik mengenakan jilbab trendi ditemani dengan seorang pria (yang kemudian aku ketahui sebagai suaminya) masuk membawa amplop coklat besar berisi beberapa lembar hasil pemeriksaan penunjang. Pasangan itu datang berobat karena sudah 2 tahun menikah, tapi sang istri tak juga kunjung hamil. Semua hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sang istri menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Secara sederhana, terdapat gangguan pada proses pembentukan organ reproduksinya sehingga rahim, saluran telur, dan vagina bagian atasnya tidak terbentuk, namun indung telur terbentuk dengan sempurna.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan menunjukkan empati yang dalam, aku mendampingi konsultan yang bertugas saat itu menjelaskan pada mereka berdua kondisi yang diderita sang istri dengan bahasa yang mudah dipahami. Menerangkan pada mereka bahwa sang istri tidak mungkin hamil, karena tidak ada rahim yang bisa menampung bayi mereka. Teknologi bayi tabung pun tidak dapat membantu, karena tetap harus ada rahim. Surrogacy, atau meminjam rahim perempuan lain untuk mengandung bayi mereka, tidak dilegalkan di Indonesia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sang istri menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kami. Sang suami, dengan tampang terbelalak menyelutuk "Kok bisa gitu sih Dok...Dokter liat kan bodinya 'bohay' gitu, masak mandul siiihh...??". Gedubrak, apa hubungannya sih ya, sungutku dalam hati. Dan sang suami masih tak putus harapan untuk memiliki keturunan dari istrinya itu. "Dokter, kalau misalnya saya punya istri lagi, dan rahim istri saya yang lain itu yang dipinjam untuk mengandung anak saya dari istri yang ini, dibolehkan tidak secara hukum?" tanyanya dengan antusias. Ya ampun, ribet banget sih ya, pikirku sambil melirik ke arah sang istri yang mukanya makin pucat mendengar si suami berniat mencari istri lagi...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi tidak semua perempuan berpendapat bahwa memiliki rahim adalah anugrah. Pagi itu aku mendapat kiriman seorang nyonya berusia 35 tahun dengan riwayat perdarahan haid yang sangat banyak dan nyeri haid hebat. Sudah 10 tahun menikah, tapi belum pernah berhasil hamil. Pasien itu sudah berulang kali mendapat transfusi karena perdarahan haidnya yang luar biasa banyak. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, kami menyimpulkan nyonya itu menderita adenomiosis, suatu kondisi di mana jaringan rahim yang meluruh saat haid berada pada tempat yang tidak seharusnya, dalam kasus ini pada dinding otot rahim. Dokter di rumah sakit sebelumnya telah mencoba melakukan operasi untuk mengangkat adenomiosis itu. Namun ternyata terdapat perlengketan luar biasa antara rahim dengan organ-organ di dalam panggul lainnya, sehingga beliau tidak berani melanjutkan operasi karena khawatir mencederai organ lain. Dokter tersebut kemudian merujuknya ke rumah sakit kami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat mendiskusikan alternatif terapi untuk kondisi adenomiosisnya, sang nyonya tidak mengindahkan penjelasanku mengenai alternatif terapi medikamentosa atau pembedahan konservatif yang hanya mengambil adenomiosisnya saja. Dia bersikeras supaya rahimnya segera diangkat, semuanya!! Sambil mengernyit aku bertanya, apakah dia tidak berpikir untuk ingin hamil di kemudian hari. Dengan berapi-api dia menukas "Dokter, saya sudah tidak tahan menanggung nyeri hebat saat haid selama bertahun-tahun. Belum lagi darah haid yang banyak sekali, membuat saya harus berkali-kali ditransfusi. Jangankan berpikir untuk punya anak, untuk hidup normal dan senang saja saya susah..!! Pokoknya saya mau rahim saya diambil semua, jadi saya tidak harus menderita terus seumur hidup..!!" Sementara sang suami membisu di sampingnya tak berani berkomentar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah penjelasan panjang lebar mengenai segala risiko dan konsekuensi operasi pengangkatan rahim, akhirnya sepasang suami istri itu menandatangani surat persetujuan tindakan pengangkatan rahim total. Operasi berjalan lancar, dan dalam tiga hari sang nyonya sudah dapat pulang ke rumah. Minggu depannya saat dia kontrol ke Poliklinik, dia mengucapkan terima kasih berulang-ulang padaku karena telah mengambil rahim yang menurutnya telah menjadi sumber bencana...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Keberadaan rahim memang memberikan janji akan kehidupan bagi seorang calon manusia. Namun di sisi lain, keberadaan rahim bisa menjadi ancaman kematian bagi seorang perempuan. Seperti petang itu saat aku dan tim jaga IGD sedang melakukan ronde pasien, terdengar teriakan menggelegar dari ruang akut "Ha Pe Peeeeeee...!!!!".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
HPP, hemorragic post partum, atau perdarahan pasca persalinan adalah pembunuh nomor satu perempuan Indonesia yang meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Penyebab tersering perdarahan pasca persalinan adalah kontraksi rahim yang tidak adekuat (atonia) setelah bayi lahir, menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan dan dalam hitungan menit seorang perempuan bisa kehabisan darah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Teriakan "HPP" adalah alarm utama bagi kami residen obgin. Tanpa dikomando, tim jaga langsung berlari ke ruang akut membawa semua peralatan resusitasi dan obat-obatan yang diperlukan. Pasien yang baru datang itu adalah seorang nyonya berusia 23 tahun, yang sejam lalu baru melahirkan seorang bayi laki-laki pertamanya melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan berjalan cukup lama, namun akhirnya lahir juga bayi dengan berat 3800 gram itu. Setelah plasentanya lahir, bidan yang membantu persalinannya panik karena darah tidak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Residen jaga akut segera berkicau melaporkan kondisi pasien itu, "kesadaran somnolen, airway bebas, nafas 16x per menit, nadi 130x per menit lemah, tekanan darah 70/40, kontraksi uterus (rahim) jelek, perdarahan aktif merembes...". Serentak perawat dan bidan jaga memasang sungkup oksigen dan 2 akses vena untuk resusitasi cairan, simultan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan permintaan komponen darah ke PMI. "Syok hipovolemik karena HPP" seruku, "eksplorasi kemungkinan penyebab perdarahan lain selain atonia dan siapkan kamar operasi..!!". Sementara kolegaku yang lain sibuk melakukan kompresi bimanual untuk menekan rahim agar berkontraksi dan memasukkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahim.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa menit kemudian kami menyimpulkan bahwa memang penyebab HPP perempuan tersebut adalah atonia, dan tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah dilakukan kompresi maupun pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan aktif terus mengalir, kami harus melangkah ke kamar operasi. Risiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Namun bila tidak dilakukan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Didampingi kolegaku dari Anestesi, kami berbicara dengan suami dan beberapa anggota keluarga dekat pasien itu. Kami jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah menghentikan perdarahan yang terjadi. Cara optimal menghentikan perdarahan saat ini adalah melakukan operasi untuk mengangkat rahimnya yang menjadi sumber perdarahan dan mengikat seluruh pembuluh darah yang menuju rahim agar darah tidak bocor keluar terus-menerus.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ruangan tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami menatapku dengan tatapan kosong. Anggota keluarga yang lain mulai terisak-isak. Sementara juniorku di luar ruangan sudah tak sabar menanti keputusan, apakah sang suami mengijinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa ijin sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang percuma.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jarum jam seakan bergerak sangat lambat sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu, "lakukan yang terbaik Dokter...Saya mohon, selamatkan istri saya...Jangan biarkan bayi kami kehilangan ibunya..." ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak, "insha Allah pak, doakan...Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya."</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah itu waktu seakan berlari. Kami berhasil mengontrol perdarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa pembuluh darah. Komponen darah dari PMI datang tepat pada waktunya untuk mengganti darah yang sudah keluar sebelumnya. Perempuan itu akhirnya stabil dalam perawatan di ICU pasca operasi. Aku teringat kata-kata bijak salah seorang guruku "lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa uterus...".</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun kisah kehilangan rahim perempuan yang satu ini menurutku adalah yang paling tragis. Sore itu kami baru saja "operan" jaga, perpindahan dari tim jaga satu ke tim jaga lainnya. Pasien saat itu membanjir bagai air bah, sehingga suasana IGD tak ubahnya pasar malam. Sepasang suami istri setengah baya tampak keluar dari pintu lift yang terbuka diikuti dengan seorang petugas yang mendorong brankar dengan seorang gadis belia tergolek lemah di atasnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena tampak begitu lemah, kami segera memprioritaskan gadis itu untuk ditangani terlebih dahulu. Setelah melakukan pemeriksaan awal dan melakukan stabilisasi, kami menyimpulkan bahwa gadis itu menderita infeksi berat yang menyebabkan respon sistemik buruk dan terdapat ancaman kegagalan kardiovaskular karenanya, syok sepsis istilah kami. Untuk memastikan dari mana sumber infeksinya, kami menggali informasi lebih dalam lagi kondisi pasien itu. Gadis itu baru berusia 15 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Sekitar 2 minggu yang lalu, kedua orang tuanya memergoki bahwa anak keduanya itu ternyata hamil akibat hubungan "kebablasan" dengan pacarnya. Setelah ketahuan hamil, si pacar menghilang tak ketahuan rimbanya. Kedua orang tuanya panik, terlebih si anak kemudian mogok sekolah karena malu dan khawatir kondisinya diketahui teman-temannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah dengan pertimbangan apa dan informasi dari siapa, si ayah akhirnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah klinik di daerah utara Jakarta untuk mengakhiri kehamilan anaknya. Tidak jelas prosedur macam apa yang dilakukan di sana untuk mengeluarkan calon manusia tersebut. Si ayah juga mengaku tidak bertemu langsung dengan "dokter" yang menggugurkan kandungan anaknya tersebut. Singkat cerita, kami mencurigai sumber infeksi gadis ini berasal dari rahimnya, besar kemungkinan telah dilakukan aborsi tidak aman dengan prosedur tidak steril. Karena kondisi hemodinamiknya yang tidak stabil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk perawatan dengan observasi ketat dan antibiotika generasi terbaru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam evaluasi 12 jam kemudian sampai pagi harinya, kami mendapatkan bahwa respon tubuh gadis itu terhadap terapi yang diberikan tidak begitu baik. Berbagai parameter infeksi semakin memburuk, pertanda bahwa sumber infeksi tidak juga terkendali. Kami berdiskusi dengan teman sejawat Bedah Digestif, dan sama-sama sepakat bahwa mungkin terjadi cedera organ lain seperti usus akibat tindakan aborsi tak aman tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan operasi, membuka perut gadis itu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Konsekuensinya, semua organ yang menyebabkan infeksi harus diangkat dan dibuang karena ternyata antibiotik tidak berdaya mengontrol infeksi yang terjadi. Bila tidak dilakukan kontrol sumber infeksi yang adekuat, maka kegagalan semua organ yang vital dalam menunjang kehidupan menjadi taruhannya. Di sisi lain, melakukan operasi besar dalam kondisi yang buruk seperti ini adalah tindakan yang sangat berisiko.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat menjelaskan kondisi gadis tersebut kepada kedua orang tuanya, si Ibu menangis terisak-isak dan si Ayah menunduk dengan raut yang menunjukkan penyesalan yang sangat dalam. Tindakan melakukan pengguguran kehamilan saja merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia, apalagi dalam kasus ini terjadi komplikasi mengancam nyawa. Bila memang terjadi cedera usus, kami akan harus memotong dan membuang bagian usus tersebut. Bila ternyata sumber infeksi adalah si rahim, maka kami harus membuang rahimnya. Pilihan yang sulit, terlebih melakukannya pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya setelah diskusi yang panjang, kedua orang tuanya menyetujui rencana kami. Dengan persiapan ekstra, kami melakukan operasi segera sebelum kondisi gadis itu semakin memburuk. Benar saja, saat perutnya dibuka, kondisi rahimnya sangat mengenaskan. Rahimnya membesar seperti hamil 16 minggu dengan warna kehitaman dan mengeluarkan bau yang membuat perut mual. Untungnya seluruh organ lainnya utuh, tak terdapat cedera organ. Setelah berkonsultasi sana-sini, kami memutuskan untuk mengangkat rahim gadis itu dengan pertimbangan menyelamatkan nyawanya. Itu adalah rekor untukku dalam hal usia termuda yang kuangkat rahimnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gadis itu kemudian membaik dalam perawatan selanjutnya dan tampaknya belum juga paham konsekuensinya ketika dijelaskan bahwa dirinya sudah tak memiliki rahim lagi. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah perilaku tak bertanggung jawab tanpa pikir panjang seperti itu. Namun demikian, dia masih beruntung tidak menjadi bagian dari 50.000 orang yang mati setiap tahunnya akibat "unsafe abortion" di seluruh dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kurasa, itulah mengapa aku begitu mencintai bidang ini. Aku berkesempatan untuk melihat "kisah" lain di balik cerita kehidupan tiap pasienku. Aku banyak mendapat pelajaran kehidupan dari pasien-pasienkuku, belajar bersyukur dengan yang kupunya, dan belajar menghargai segala sesuatu yang kudapat sekecil apa pun itu...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
(Watford, April 2012)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
[Seperti dimuat dalam Buku Bunga Rampai Kedokteran Islam]</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-12324029264481946732017-06-10T18:21:00.000-07:002017-06-10T18:21:53.364-07:00Selalu ada hikmah.<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tadi sore, lepas pulang dari buka
bersama di daerah Manahan, aku dan temanku bergegas pulang untuk mengejar solat
tarawih. Tapi entah mengapa, kami malah mengambil jalan yang tak biasanya kami
lalui. Rasanya seperti muter-muter dan hampir-hampir ada keluh di hati: <i>kok ya ngga sampai-sampai</i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ketika
akhirnya tiba di masjid kampus, Alhamdulillah suara penceramah masih terdengar. Kami mempercepat
langkah karena harus wudhu dan sholat isya dulu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Di
tempat wudhu, tak sengaja bertemu dengan teman dekat yang sudah sangat jarang
sekali ngobrol karena beda stase. Dan dengan disambi pakai kaos kaki, hadirlah
pembicaraan tentang rencana pulang lebaran. Masya Allah, ternyata temanku ini
pulang dengan pesawat yang sama, di jam
yang sama, persis dengan yang kupesan. Dengan terburu-buru, terbitlah rencana
pergi ke bandara bersama.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ada
haru mewarnai isyaku kemudian, teringat hari-hari sebelumnya aku mencari-cari
teman yang bisa diajak pulang bareng, sulit! Karena jarang ada yang pulang
semepet itu dengan hari raya. Betapa aku hampir menyerah untuk naik gojek saja
ke bandara, yang pastinya kalau ngga bapak-bapak, ya mas-mas yang bawa. Dan aku
yang tiba-tiba galau mau pulang atau tetap disini, mengingat mungkin hanya bisa
3 malam saja di rumah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Alhamdulillah..
malam ini, dari jalanan yang berkelok dan hampir kesasar, qodarullah malah
membuatku bisa bertemu dengan temanku di tempat wudhu dan mem<i>plan</i> kepulangan kami. Benar-benar pas
sekali <i>timing</i>nya. Wallahu a’lam
bagaimana jadinya, semisal saat pulang dari buka bersama, kami lewat jalan
biasa yang sudah kami hafal, entah bagaimana juga jadinya bila kami dibelokkan
lagi ke jalan yang lebih berkelok. Tapi.. begitulah, Allah adalah pembuat rencana
terbaik. Allah selalu Yang Maha Mengetahui yang terbaik bagi hambanya..<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Surakarta, 8 Juni 2017<o:p></o:p></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-9036608220622369312017-06-10T18:19:00.001-07:002017-06-10T18:19:32.665-07:00First Jurding<div style="text-align: justify;">
Selasa itu aku berniat maju jurnal reading dengan dokter spesialis anak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelumnya sudah beberapa kali ingin maju, tapi entah kenapa selalu sulit. Entah beliaunya keburu pulang, entah kami yang kurang gercep, entah karena ada acara dan sebagainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka pagi itu, ketika akan maju, kuputuskan memperpanjang dhuha. Melafalkan doa yaa muqollibal quluub dan sholawat sambil membayangkan wajahnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebakdanya, hati lebih tenang alhamdulillah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika akhirnya bertemu beliau jam 8 kurang, kami (aku dan 1 temanku), tidak berani untuk langsung bertanya: "dok kami bisa maju kapan?" Karena masih ada residen dan koas lain yg menghadap beliau.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kami hanya memojok dan berusaha mengikuti beliau. Sambil tak hentinya dzikir minta dilapangkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Benarlah. Akhirnya kami ikuti laporan residen, ikut beliau visit, ikut melihat beliau ttd di status pasien. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah selesai, setengah berlari, aku memberanikan diri menghentikan langkah beliau dan bertanya. Dan Masya Allah dengan senyumnya beliau singkat menjawab: sekarang aja yuk, di atas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Maka kemudian langkah-langkah sebakda itu serasa lebih ringan. Alhamdulillah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Alhamdulillah akhirnya kami bisa maju juga. Padahal, kemarin kami berdua post jaga, yang artinya, energi kami post jaga tak seprima biasanya. Alhamdulillah Allah telah menguatkan, melapangkan, dan memudahkan semuanya..</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ditulis oleh Asma Azizah</div>
<div style="text-align: justify;">
RSDM, 7 Juni 2017</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-48629078930199379292017-04-08T18:53:00.002-07:002017-04-08T18:53:48.813-07:00Mimpi kita hari ini, kata Hasan Al-Banna, adalah kenyataan hari esok. Sebagaimana mimpi hari lalu adalah kenyataan hari ini. Tentu jika dan hanya jika, hari-hari antara kedua masa itu (kemarin dan hari ini) terisi dengan ikhtiar, doa, dan tawakkal untuk mengejar lesatan sang cita.<br />
<br />
- Ust Salim A Fillah dalam Menggali ke Puncak HatiAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-46636806300371951142017-04-08T18:51:00.000-07:002017-04-08T18:51:01.807-07:00Cinta yang HakikiBetapa bahagianya, dicintai oleh yang kita juga cinta.<br />
<br />
Maka.. harusnya.. kebahagiaan hakiki itu adalah ketika kita bisa mencintai Allah dan Rasulnya.<br />
<br />
Sebagaimana Allah sangat mencintai hamba-nya.<br />
<br />
Sebagaimana rasul sangat mencintai ummatnya. Yang disebut2 di akhir hayat, yang begitu dipedulikan kelak di akhirat.<br />
<br />
Cinta Allah dan Rasul. Cinta pada kitabnya. Rasanya masih seujung kuku.<br />
<br />
Betapa cinta, kagum, suka sama lawan jenis, karena pesona keilmuan dan akhlaknya; harusnya tak pernah melebihi cinta pada rasul. Dan harusnya tetap berlandas pada cinta Allah.<br />
<br />
Mungkin itu yang disebut puncak keimanan.<br />
<br />
Ketika Allah dan Rasul-Nya lebih kita cintai, daripada apapun<br />
<br />
<br />
<br />
4.15, 06042016<br />
Omwt solo w Jaka TingkirAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-38916422030418634582017-04-01T19:03:00.001-07:002017-04-01T19:03:35.427-07:00Bahagia karena BerbagiAda satu kebahagiaan yang kurasakan Jumat lalu. Yang alhamdulillah, sampai hari ini bila mengingat momen itu, berhasil menghadirkan rasa syukur dan gembira tiada terkira :)<br />
<br />
Ceritanya, Jumat itu alhamdulillah dapat kesempatan untuk berbagi ilmu molecular docking (moldock) dengan mahasiswa S3 di FK UNS.<br />
<br />
Workshop moldock memang biasa diadakan setiap tahunnya. Tahun lalu alhamdulillah aku ikut sebagai peserta.<br />
<br />
Workshop ini sasaran utamanya adalah mahasiswa S3, alias murid-murid dr. Dono Indarto.<br />
<br />
Tahun lalu, workshop digabung dgn S2 dan S1 (aku dan teman2 yg ngambil skripsi moldock).<br />
<br />
Tapi tahun ini, workshop dikhususkan untuk S3. Mas yoga, febri, dan khariz, diberi tugas khusus untuk memperbarui buku panduan sekaligus jadi pemandu pas workshop itu.<br />
<br />
Aku? Aku warga biasa hehehe.<br />
<br />
Mulanya aku tidak tahu menahu. Sampai h-2 workshop, Febri minta tlg agar aku bisa ikut bantu teknis hari H juga.<br />
<br />
Hari H workshop aku deg2an. Agenda padat merayap jadi belum sempet buka2 lagi moldock. H- 2 jam febri kirim buku petunjuk moldock yg sudah diedit. Pas ngeliat namanya<br />
<br />
Penyusun:<br />
dr. Dono<br />
YMP, dr.<br />
KF, S.Ked<br />
FDN, S.Ked<br />
<br />
Trus ada nyes nyes gitu. Dari cuma nyes minder sama dokter dono sampai nyes alay karena namanya ga dipajang (krn emang ga bantuin). Astaghfirullahal'adziim..<br />
<br />
Ternyata masih sekecil itu keinginan belajarku. Duniawi banget :""""<br />
<br />
Sampai akhirnya. Hatiku memarahi.<br />
<br />
Hei kamu. Tetaplah berkarya dimanapun posisinya. Tetaplah bermanfaat tak peduli apa statusmu.<br />
<br />
Akhirnya, bismillah berangkat juga.<br />
<br />
Sampai di gedung S3, melihat penguji skripsiku masuk, aku tambah deg2an. Duh gimanaaaa.<br />
<br />
Beneran, pas masuk ke ruangan. Ternyata muka peserta workshopnya sangat familiar. Ada dosen penguji skripsiku, ada dosen lab, ada dosen editor naspubku. Dan dosen penguji skripsi yg sangat kusayangi, dokter Ratna langsung memanggilku untuk duduk di samping beliau.<br />
<br />
Syukur Alhamdulillah, kenyataannya tak semengerikan yang kubayangkan.<br />
<br />
Dosen-dosen peserta bersikap sangat ramah sekali. Sesekali aku dipanggil. Sesekali mereka bertanya. Sampai akhirnya terlibat diskusi yang seru tentang moldock.<br />
<br />
Dan walaupun selama workshop, ada yang kuajari dan masih gagal, eror dsb, walaupun selama workshop aku mondar mandir juga nanya ke febri dan masyoga krn khilaf suatu hal, walaupun penuh kekurangan disana sini, tapi Masya Allah para peserta alias dosen-dosen sangat mengapresiasi sekali dan ketika mereka mengucapkan terima kasih, rasanya aku pingin meluk mereka. Terima kasih krn sudah mendengarkanku yang penuh kekurangan ini. Yang pasti tidak ada apa-apanya dibanding ilmu yang pernah mereka sampaikan.<br />
<br />
Alhamdulillah.<br />
Alhamdulillah.<br />
Alhamdulillah.<br />
<br />
Terima kasih Allah, sudah mengizinkanku untuk belajar di forum akademisi lagi. Yang penuh dengan atmosfer ingin belajar dan saling menghargai satu sama lain.<br />
<br />
<br />
اَللهُمَّ اِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ اَنَّ هذَااْلاَمْرَخَيْرٌلِّىْ فِىْ دِيْنِىْ وَمَعَاشِىْ فَاقْدُرْهُ لِىْ وَيَسِّرْهُ لِىْ ثُمَّ بَارِكْ لِىْ فِيْهِ<br />
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-34906783810620104792017-03-30T00:21:00.000-07:002017-03-30T00:36:40.159-07:00Cerita Kompre FK UNS Batch 1 2017<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bismillah.. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sedikit ingin berbagi kisah
tentang perjuangan kompre. Semoga bermanfaat dan berharap ada syukur yang
selalu hadir tiap membacanya.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ujian Komprehensif atau yang
biasa disapa kompre adalah ujian yang harus dilalui semua mahasiswa kedokteran
UNS sebagai syarat masuk pendidikan profesi (koas). Isi ujiannya kurang lebih
mencakup semua materi yang sudah dipelajari selama preklinik 7 semester. Ada
ujian teori dengan sistem CBT (<i>computer
based test</i>) dan ujian praktek alias OSCE.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bukan hanya ujiannya saja yang
penuh <i>pressure</i>, tapi persiapan
menghadapi ujian itu, jujur saja, menghadirkan banyak air mata.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Tidak percaya diri, merasa tidak
sanggup menghadapi tekanan, merasa minder melihat teman-teman yang terlihat
lebih oke persiapannya. Dan banyak hal lain. Pada kasus pribadi, setiap saya
mempersiapkan ujian ini, setiap itu pula terngiang tentang ketulusan dan
keikhlasan niat untuk menjadi dokter.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Persiapan ujian sudah dilakukan
dari januari. Kami mulai membentuk kelompok dan membuat jadwal belajar. Hari ini
blok ini, besok blok itu, di sela-sela diisi dengan tentiran osce kompre oleh
mas mbak koas. Pas buat jadwal rasanya ringan banget, prakteknya? Eng I eng..
karena mayoritas dari kelompok kami belum selesai skripsi dan naskah publikasi
sebagai syarat SKLS (surat keterangan lulus skripsi, digunakan sebagai syarat
SKL yg nantinya dipakai untuk daftar kompre), maka jadilah jadwal itu tidak
bisa dipenuhi dengan baik. Ada saja yang izin setiap harinya. Bahkan seringkali
kami tidak jadi belajar bareng karena kendala urus skripsi dan naspub dan
sebagainya. Akhirnya mendekati kompre CBT (tahun ini komprenya CBT dulu),
akhirnya malah pada belajar sendiri karena harus super ngebut ngejar semua
blok.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>Hari H CBT (9 Maret 2017)<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Alhamdulillah sy dapat jatah CBT
kloter terakhir yaitu jam 13.30 – 16.30. Yah setidaknya masih ada waktu untuk
ikhtiar dari pagi – siangnya. Setengah jam sebelum ujian, sy sampai di lokasi
ujian. Ternyata, ujian CBT hari itu molor karena kendala server. Kami baru
masuk ruangan sekitar jam 14.40 an. Dan jujur saja, karena ini pertama kalinya
cbt, rasanya agak palpitasi. Tunggu, sepertinya bukan karena cbt nya,
sebenarnya palpitasi karena ketar ketir dengan soalnya, khawatir nanti tidur
apa engga di tengah2 ujian (konyol sih tapi sy beneran mengkhawatirkan ini).
Tapi Alhamdulillah akhirnya ujian bisa dilalui walaupun dengan banyak soal yang
dikasih flag (tanda) karena dilewat atau karena ragu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Begitu CBT selesai, seharusnya
saya langsung berlari buat persiapan OSCE KOMPRE (yang alhamdulillahnya saya
dpt jatah ujian hari jumat alias hari terakhir). Tapi nyatanya, saya butuh 3
hari untuk mengumpulkan semangat dan meluruskan niat untuk mempersiapkan osce.
Yap, sempat berpikir untuk tidak osce dulu. Alasannya klasik: belum persiapan
(waktu itu buku UBA-udah belajar aja- masih mulus banget padahal udah
h-seminggu), kalaupun lulus belum siap buat koas (rencana mau kabur dulu
nyiapin mental), dan alasan-alasan lainnya. Tapi akhirnya, yasudahlah,
bismillah saja. Anggap aja osce kompre adalah bagian dari pendidikan, bukan
hanya pendidikan akademik tapi juga pendidikan mental yang Allah ingin kita
merasakannya. Dan anggap saja persiapan ini adalah bagian dari tholabul ilmi
yang semoga, dihitungNya sebagai jihad.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Singkat cerita, selama 5 hari
persiapan osce saya pindahan sementara ke haura, kosbin fk yang isinya juga
teman-teman yang akan osce kompre hari jumat. Sempat juga kami meluangkan
seharian untuk kumpul sama teman2 1 shift jumat untuk belajar bareng. Dan
lucunya, osce terakhir selalu menghadirkan cenayang. Hehe. Semacam mencoba
membaca pola dan mengira-ngira kasus apa yang akan keluar walaupun kami tahu, tidak
boleh bergantung dengan perkiraan, tetap harus belajar semua. Dan.. akhirnya
datang juga hari itu<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b>OSCE KOMPRE (17 Maret 2017)<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Ini urut sesuai dengan stase yg
sy masuki<o:p></o:p><br />
<b style="text-indent: -0.25in;"><span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"><br /></span></b>
<b style="text-indent: -0.25in;">1. Stase
Special Sensory (Mata-Kulit-THT)</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas baca soal,
tiba-tiba ngeblank. Blank dengan nama penyakit. Tiba-tiba semua penyakit
rasanya hilang dari kepala. Tapi, Bismillah..<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Anamnesis
pelan-pelan, pemeriksaan dengan deskripsi UKK (ujud kelainan kulit) yang
seadanya, simulasi palpasi, usulan pemeriksaan penunjang (tzank test), edukasi.
Dan karena ga diminta resep akhirnya cuma edukasi biasa aja.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Entah karena
stase pertama dan mungkin karena emang kurang belajar, sy nervous banget.
Nyebut UKK sampai salah-salah dan nyaris pas nyebut diagnosis juga
kebolak-balik. Ragu-ragu antara herpes zoster atau varicella. Tapi ala kulli
haal Alhamdulillah selesai. Pengujinya sempat nanya beberapa pertanyaan, dan
alhamdulillahnya pas ada pertanyaan yg gabisa, dan jujur bilang “maaf dokter
saya lupa namanya”, alhamdulillahnya beliau ga langsung menjatuhkan mental.
Bahkan di akhir beliau ngasih saran untuk bicara dengan bahasa pasien, dsb
dengan kalimat yang sangat membangun. Jazaakumullah khairan dokter. Sikap
dokter benar-benar membantu saya menghadapi stase selanjutnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<b style="text-indent: -0.25in;"><br /></b>
<b style="text-indent: -0.25in;">2. Stase
obsgyn</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Selesai kasus
kulit, langsung masuk obsgyn tanpa ada istirahat (istirahat semenit pas duduk
sama baca soal ding hehe).<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Kasusnya pasien
hamil datang dengan keluhan nyeri panggul / perut (lupa). ANC pelan2 dan berusaha setenang mungkin.
Lanjut Pmx fisik leopold. Leopold 1, dengan dodolnya aku bertanya ke penguji: <i>“leopold 1 nya bagaimana dokter?”,</i>
alhamdulillahnya dokternya ngasih tau walau sambil senyum2. <i>“abis ini nebak sendiri ya”.</i> Yasudah
habis itu bener2 diraba sendiri, alhamdulillahnya keraba. Pas mau auskultasi
DJJ (denyut jantung janin), “<i>kamu mau
pake apa itungnya?</i>” nahloh. “<i>dihitung
5 detik pertama, 5 detik ketiga dan kelima dokter</i>” “<i>nah iya, kamu ngitung 5 detiknya pake apa? Kan kamu gapake jam tangan</i>”
NAHLOH! Sesaat diem, trus nyari jam dinding siapa tau bisa ngitung pake itu.
Ternyata, jam dindingnya pas di atas kepala saya, jadilah akhirnya senyum
senyum lagi (padahal aslinya pengen nanya ke dokternya: DJJ nya berapa dok?
Tapi ga berani karena dokternya nyuruh itung sendiri). Akhirnya.. “<i>yaudah dek, coba kamu dengerin, trs kamu
tebak deh, kalau tebakanmu bener nanti saya kasih nilai maksimal</i>” waduh.
Akhirnya nembak 120 dan salah. Hehe yasudahlah.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Abis itu mau
lanjut VT tapi galau. Di VT ngga yah? Akhirnya beraniin nanya dan kata dokternya
gausah. Yaudah, balik lagi ke meja, ngitung HPL (hari pasti lahir) trus lanjut
edukasi. Intinya nyerinya karena hamil aterm dan kepala janinnya juga udah
masuk pintu panggul, cuma belum ada tanda2 persalinan kaya his/kontraksi,
lendir darah atau ketuban pecah. Pasien diminta istrihat dsb dsb.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Dan, di stase
ini sisa waktu banyak banget. Alhamdulillah probandus/pasien dan dokter penguji
humble banget. Sampai bisa ngobrol, dokternya juga ketawa2, sampai ngomongin
kerjaan, nyantai banget masya Allah..<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<b style="text-indent: -0.25in;"><br /></b>
<b style="text-indent: -0.25in;">3. Stase
bedah-uro</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Lanjut stase ini
agak <i>shock</i> karena dapet kasus mammae.
Padahal prediksi awal dapetnya bedah/hecting/jahit aja. Oke. Anamnesis
pelan-pelan, tapi gabisa pelan karena curiga kanker jadi yang ditanya
banyaaaaaak banget termasuk riwayat kanker keluarga, mentruasi pertama kapan,
riwayat melahirkan menyusui.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas mau vital
sign, tidak seperti 2 stase sebelumnya, stase ini.. bener2 ngukur tensi
pasiennya dan yang bikin harus banyak sabar adalah, sedetik abis ngelepas
stetoskop dari ngukur tensi, dokternya ngasih tau tensi berapa. Hahaha
terimakasih dokter :)<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Lanjut pemeriksaan
mammae. Mengais ingatan SL dan osce mammae beberapa tahun lalu. Dan ini
bener-bener harus nemu sendiri benjolannya. Kalau pas osce mammae jaman dulu
udah ada patokan tuh, bagian ini benjolannya berapa, ukuran segede apa,
letaknya dimana (letak anatomis) dst. Jadi ngerabanya udah yakin pasti ketemu,
dan pas laporan juga lancar. Nah pas osce kompre ini, lupa semua hafalan itu
huhuhu. Pokoknya dipalpasi aja sampai ketemu. Pas ketemu yaudah diomongin aja
sebisanya. Akhirnya ya entahlah sepertinya deskripsi letak anatomis dan ukuran
yang disampaikan sangat ngaco sampai bikin kening penguji berkerut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Lanjut nulis
rujukan. Dan bel berbunyi. Hwoa panik. Rujukan belum selesai. Akhirnya seadanya
banget nulisnya sampe disingkat2 trus sambil nulis rujukan sambil cuap-cuap
pemeriksaan penunjang. Pokoknya di dalem ruangan sampe mentok, sampe ada
perintah untuk orang setelah kita masuk, baru keluar.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas keluar,
masuk ke stase istirahat. Disitu baru inget kalau belum nyebut diagnosis
banding. Nice. Alhamdulillah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<b style="text-indent: -0.25in;"><br /></b>
<b style="text-indent: -0.25in;">4. Stase
kardio-respi</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Selesai
istirahat masuk stase kardiorespi dengan kasus lelaki 68 thn sesak. Dari baca
soal kayanya ini PPOK. Tapi entah kenapa pas lagi anamnesis, ragu-ragu. Ini
kasus kardio atau respi. Huwaaa. Sebenernya udah ngira ini kardio. Soalnya pas
nyuruh probandus buat buka baju dan periksa posterior, probandusnya agak
canggung gitu hehehe tapi karena ragu.. akhirnya aku Cuma diem dan bilang ke
penguji: “maaf dokter. Saya bingung ini saya harus pemeriksaan jantung atau
paru”. Akhirnya dokternya minta pemeriksaan 22nya. Pas dada posterior belum
selesai diperiksa, dokternya minta anterior aja. Pas anterior periksa, aku
bingung lagi. Ini aku harus respi atau kardio? Yaudah akhirnya itu pemfis
seadanya banget.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas duduk ke
meja pasien, langsung penguji bacain semua hasil pemeriksaan fisik. Dan itu,
aku beneran ga bisa nangkep. Di telingaku terdengar penguji bacain semuanya
dengan sangat cepat. Dan semua kalimat itu rasanya berputar-putar di kepala. Pas
sadar, aku buru2 nulis di kertas beberapa hal yang penguji sampaikan. Selesai penguji
baca, aku diem. Pas ditanya diagnosisnya, aku kacau jawabnya. Pas ditanya, yang
mana aja yang abnormal, aku juga cuma bilang yang bagian akhir2 kaya batas
jantung (yang sempet kecatet itu, sisanya nguap). Dan waktu habis. Penguji sempet
ngejar dengan pertanyaan kaya ddx sama terapi, tapi kujawab dengan kacau juga
dan akhirnya aku keluar dari ruangan itu dengan melas banget dan minta maaf
entah udah kaya apa mukaku.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<b style="text-indent: -0.25in;"><br /></b>
<b style="text-indent: -0.25in;">5. Stase
neuro-muskulo-psikiatri</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Move on ke stase
selanjutnya, kali ini juga tanpa istirahat. Masuk, Alhamdulillah anamnesis lancar.
Pemeriksaan KU VS simulasi. Pemeriksaan fisik, walaupun ROM kacau balau, karena
entah kenapa tetiba semua ingatan tentang nama2 gerakan ROM kaya hilang dari
kepala, tapi Alhamdulillah pas penguji bacain rangkuman pemfis, speednya lebih
pelan dan bisa nangkep maksudnya. Pemeriksaan penunjang (rontgen) alhamdulillah
lancar. Diagnosis Closed fracture regio antebrachii dextra 1/3 distal. Dan pasien
diusulkan untuk bidai.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas mau masang
bidai, dan ngeliatin meja alat, bingung kok kainnya Cuma satu, adasih banyak
tali dan bisa dipake buat ngiket juga, tapi.. tapi biasanya pake kain. Akhirnya
aku ragu2 mau ngebidai.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“kenapa dek?”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“saya bingung
dokter mau ngebebat atau ngebidai”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“dari hasil
pemfisnya gimana tadi?”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“fraktur dok”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“maka yang harus
kamu lakukan sebagai pertolongan awal?”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“bidai dok”</i><o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Dokternya ngangguk.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Trus aku masih
celingukan gitu bingung<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“nyari apa dik? Ada
yang tidak ada?”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“itu dok, buat
ngiketnya..”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“pakai tali saja”</i><o:p></o:p><br />
<i><br /></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Langsung habis
dibilang gitu, gercep ngebidai. Dan pas ngiket grogi banget. Aku masih pake
cara ngiket seakan2 itu kain bukan tali. Hasilnya kurang kenceng gitu huhu.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Trus pas udah selesai,
dokternya mancing lagi: <i>ngga mau dikasih
apa-apa buat ngebantu pasien nopang tangannya?<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Akhirnya masang
mitela, dan Alhamdulillah probandusnya sangat gercep sekali, ngebantuin gitu
jadi masang mitelanya cepet.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Terakhir, nulis
surat rujukan kalau ngga salah, lupa2 inget.. selesai dari sini, masuk ke stase
istirahat dulu baru abis itu stase GIE.<br />
<br />
<b>6.</b> <b style="text-indent: -0.25in;"><span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></b><b style="text-indent: -0.25in;">Stase
gastro-infeksi-endokrin</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Stase ini dapat
kasus masang infus. Karena perintah di soal Cuma pasang infus, aku dengan
pedenya begitu masuk langsung nanya: “<i>dok,
ini langsung dipasang?</i>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>dibaca soalnya</i>” ucap penguji singkat.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Nahloh. Aku baca
lagi soalnya, bolak balik baca dari atas ke bawah. Perintah di soal Cuma bilang
pasang infus.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Yaudah lah ya
akhirnya aku informed consent ke pasien. Perkenalan singkat, trus minta pasien
ttd. Habis itu cus masang.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Persiapan alat hampir
aja kelewatan. Alhamdulillah inget masang plester sebelum cuci tangan, dan pas
mau gunting plester:<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>plesternya digunting nanti aja”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
WHAT.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>tapi dok, kalau digunting nanti lengket”</i>
belum keucap itu kata lengket dokternya langsung bilang, “<i>nanti aja plesternya. Kamu mau nyebar infeksi ke pasien?</i>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Oke.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pas nyiapin
infus set sama masang flabot, cairannya gamau ngalir. Panik. Akhirnya infus set
yang seharusnya diisi setengah, aku full in. baru abis itu cairan mau ngalir. Tapi
pas mau lanjut..<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>itu harusnya diisi berapa banyak?”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“setengah dokter..”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“balikin lagi”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
APA.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>balikin lagi sesuai yang seharusnya</i>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Akhirnya flabot
yang tadinya udah kugantung, kuturunin lagi. Cairan yang diinfus set
kukosongin. Trus balikin lagi ke gantungan, baru diisi setengahnya.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Lanjut masang
abocath di tangan, Alhamdulillah langsung keluar darah, dokternya sempet
melihat dari dekat. Trus abis itu pas mau masang plester mikir keras. Tanganku berhandscoon,
megang infus juga biar ga bocor, tapi harus gunting plester. Akhirnya susah
payah berusaha gunting dan…<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>tuhkan bisa kan</i>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Surprised dibilang
kaya gitu, apalagi muka penguji jadi lembut gitu :’)<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>iya dokter..</i>”<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Mission complete
Alhamdulillah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Balik lagi ke
meja pasien trus ditanya beberapa hal sama penguji. Pasien dehidrasi
ringan/sedang/berat. Kenapa bisa dikatakan begitu, dst.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Alhamdulillah,
ngga sehoror yang kubayangkan.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<b>7</b>.<b style="text-indent: -0.25in;"><span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></b><b style="text-indent: -0.25in;">Stase
basic life support</b></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Alhamdulillah stase
terakhir. Kasus seorang pasien tenggelam di danau.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Urutan pertolongan
kacau balau. Udah berusaha manggil pertolongan, udah nepuk2 si pasien. Tapi trus
lupa dipindahin ke tempat datar. Langsung cus CAB aja. Pas mau RJP baru bilang:
seharusnya tadi pasien saya pindahkan dulu ke tempat datar. Daan, RJP dimulai.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Hitungan RJP ku
kacau balau entahlah. Biasanya aku selalu ngitung manual atau 1-10-1 1-10-2
1-10-3. Tapi entah kenapa pas ujian aku Cuma ngitung 1-10 bolak balik. Ajaibnya,
setelah 1 siklus, pasien ternyata respons nadinya. Padahal sempet suudzon sama
penguji gara-gara pas ujian BLS dulu, aku dikerjain sampe 3 siklus.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Lanjut ke kasih
bantuan napas, berkali2 dikasih, dan ngga ada juga responnya. Mulai panik. Kalau
Cuma sekali dua kali ngasih bantuan napas okelah. Tapi itu sampai 10 kali ada
kali. Sampai berkali2 ngeliat jam buat mastiin detiknya. Tp tetep aja ga
muncul2 <span style="font-family: "wingdings"; mso-ascii-font-family: Calibri; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-char-type: symbol; mso-hansi-font-family: Calibri; mso-hansi-theme-font: minor-latin; mso-symbol-font-family: Wingdings;">L</span>. Akhirnya
penguji angkat bicara juga: <i>coba ngasih
bantuan napasnya yang bener, nanti pasti muncul napas spontan.<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Disitu mulai curiga.
Akhirnya aku coba perbaiki posisi, semuanya dibenerin. Tapi ga muncul juga
akhirnya aku nyerah dan nanya: <i>maaf
dokter, saya salah dimana ya?<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Dokternya malah
nyuruh aku nyebutin sendiri. Oke, aku mengakui aku chin liftnya ngga dari awal,
alias di tengah2 baru chinlift. Trus aku mengakui posisiku memberi napas buatan
juga mungkin salah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Dan kemudian: <i>tanganmu itu nutup mulut pasien dek.<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Aku diem, lah,
perasaan ni tangan daritadi nutup hidungnya, bukan mulutnya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
“<i>maaf dokter, dari tadi saya nutup hidungnya
kok”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<i>“kamu dikasih tahu jangan ngelak dek, saya
ngeliat dari atas sini”<o:p></o:p></i></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Jleb. Diserang gitu
aku langsung nunduk. Mau nangis. Akhirnya dengan posisi masih berlutut (krn
abis ngasih bantuan), ditambah takut dan malu untuk berdiri; akhirnya aku mendengarkan
nasehat dokternya dengan berpangku lutut dan menunduk. Entah berapa lama. Sampai
dokternya selesai trus baru aku beraniin duduk ke kursi anamnesis pasien. Dan setelahnya
cuma hening di ruangan sampai bel berbunyi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Stase ini
bener-bener bikin down. Alhamdulillahnya stase akhir. Pas selesai dari sini,
teman2 lain masih ada yang masuk stase, karena sudah selesai, aku masuk ke
stase istirahat. Dan di dalam ruangan rasanya down banget. Langsung buka jas
lab. Trus sholawatan sama murojaah. Mau nangis tapi bingung. Akhirnya malah
liat-liat ke luar jendela. Dan, disitu jadi bisa merenung dan bersyukur. Alhamdulillah,
Maha Besar Allah yang telah memampukan hambanya yang lalai ini untuk
menyelesaikan osce. Setidaknya, ini jadi pelajaran berharga kalau mau osce
lagi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
***<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="text-align: justify;">
Pelajaran yang
bisa dipetik dari sini<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]-->1.<span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span><!--[endif]-->Jangan pernah mengandalkan prediksi apapun.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
Contoh, kita prediksi bakal keluar hecting, tapi
ternyata keluarnya ca mammae.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
Berusahalah belajar semuanya.<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]-->2.<span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span><!--[endif]-->Ikuti baik2 peraturan<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
Contohnya aturan bawa jam tangan. Saya sempat
mengabaikan aturan ini karena selain ga punya, di osce sebelumnya juga jarang
banget make jam tangan. Akhirnya kaya nyepelein aturan gitu. Dan, yap saya
kesusahan sendiri pas ngitung DJJ<o:p></o:p><br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; mso-list: l1 level1 lfo2; text-align: justify; text-indent: -.25in;">
<!--[if !supportLists]-->3.<span style="font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-variant-numeric: normal; line-height: normal;">
</span><!--[endif]-->Hadapi saja<o:p></o:p></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
Hadapi saja ujiannya, dan terus berbaik sangka dengan
Allah. Allah Maha Kaya. Allah takkan pernah menyia-nyiakan hambanya..<o:p></o:p><br />
<br />
<br /></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
Yap sekian yang bisa saya sampaikan, semoga bisa
bermanfaat, dan memacu untuk semangat belajar mempersiapkan :D</div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: .75in; mso-add-space: auto; text-align: justify;">
<o:p></o:p></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-13174966844815144322017-03-20T11:06:00.001-07:002017-03-20T11:06:46.920-07:00Zona WaktuNew York 3 jam lebih awal dari California, Tapi tidak berarti California lambat, atau New York cepat. Keduanya bekerja sesuai "Zona Waktu"nya masing-masing.<br />
<br />
Seseorang masih sendiri. Seseorang menikah dan menunggu 10 tahun utk memiliki momongan. Ada juga yang memiliki momongan dalam setahun usia pernikahannya.<br />
<br />
Seseorang lulus kuliah di usia 22th, tapi menunggu 5 tahun utk mendapatkan pekerjaan tetap; yang lainnya lulus di usia 27th dan langsung bekerja.<br />
<br />
Seseorang menjadi CEO di usia 25 dan meninggal di usia 50 saat yg lain menjadi CEO di usia 50 dan hidup hingga usia 90th.<br />
<br />
Setiap orang bekerja sesuai "Zona Waktu"nya masing-masing.<br />
<br />
Seseorang bisa mencapai banyak hal dengan kecepatannya masing-masing.<br />
Bekerjalah sesuai "Zona Waktu"mu.<br />
<br />
Kolegamu, teman-teman, adik kelasmu mungkin "tampak" lebih maju. Mungkin yang lainnya "tampak" di belakangmu.<br />
<br />
Setiap orang di dunia ini berlari di perlombaannya sendiri, jalurnya sendiri, dlm waktunya masing-masing. Allah punya rencana berbeda untuk masing-masing orang. Waktu berbeda utk setiap orang. Obama pensiun dr presiden di usia nya yg ke 55, dan Trump maju di usianya ke 70.<br />
<br />
*Jangan iri kepada mereka atau mengejeknya...*<br />
<br />
Itu "Zona Waktu" mereka.<br />
Kamu pun berada di "Zona Waktu"mu sendiri!<br />
<br />
Kamu tidak terlambat. Kamu tidak lebih cepat. Kamu sangat sangat tepat waktu! Tetaplah kejar keberkahan Allah…agar sampai pada muara kebahagiaan di surgaNya..<br />
<br />
Kamu di "Zona Waktu"mu!<br />
<br />
***<br />
<br />
Mendapat tulisan anonim ini saat sedang butuh sekali nasihat yang bisa membuat percaya diri.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-52089224997158799452017-03-15T02:58:00.000-07:002017-03-31T02:59:29.235-07:00Syifa'<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i>Serigala lebih suka memangsa yang
sendiri.</i><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Alhamdulillah, berdekat dengan
teman-teman shalihah setidaknya membuat pikiran negatif agak menjauh.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Pagi tadi ketika setor 5 halaman
awal juz 3, ada rasa haru yang muncul. Membuatku rasanya berat sekali menyelesaikan
halaman demi halaman. Berat karena dadaku tiba-tiba terasa sesak dan aku ingin
sekali menangis. Mungkin ini yang namanya hidayah. Yang turun dengan perantara
seseorang yang insya Allah shalihah. Padahal beliaunya tak berkata apa-apa.
hanya mendengarkanku menyetorkan hafalan yang tak seberapa. Maha benar Allah, yang telah menjadikan Al-Qur’an sebagai syifa’.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
***<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dan setelah dipikir-pikir, ujian,
kompre, osce atau apalah itu namanya sesungguhnya adalah sarana tarbiyah juga. Sarana buat naik ke
tingkat yang lebih tinggi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Terserah hasilnya mau bagaimana,
tapi yang pasti di proses ujian itu, pasti akan ada hikmah, pelajaran yang bisa
kita ambil.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Dan, itulah yang kini membuatku
sedikit lebih kuat dari kemarin.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Walau hingga kini, tiap belajar
rasanya ingin menangis ketakutan.. tapi aku yakin, Allah adalah Robb Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang. Rabb Maha Besar yang sangat mungkin memudahkan
kita bahkan di masalah terbesar pun.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bismillaah..<o:p></o:p></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-29443162464920416812017-03-14T18:32:00.000-07:002017-03-14T18:32:19.798-07:00"Trust me. When Allah is your strength, I do believe nothing can break you..."<br />- kak dewi nur aisyahAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-16018312081776508442017-03-12T00:45:00.005-08:002017-03-12T00:45:59.949-08:00aku suka menulis.<br />
<br />
karena ketika sedang "jauh", membukanya lagi jadi satu obat yang membuatku menangis.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-28874027093892697212017-03-10T06:25:00.002-08:002017-03-10T06:25:34.995-08:00DokMendengar percakapan mereka tentang suatu tindakan, membuatku diam sejenak ingin tahu.<br />
<br />
Tapi kemudian ada suara dari dalam yang membentak<br />
"Urus saja urusanmu sendiri!"<br />
<br />
Kutinggalkan juga akhirnya walau ada banyak tanya yang menggantung. Aku ngeloyor masuk kamar mandi, meninggalkan percakapan teh Fitria, mas farchan, dan mbak2 koas lainnya.<br />
<br />
Jadi ceritanya, dini hari ini ada yg kejang dan sedikit sesak napas. Tp alhamdulillah sudah tertangani, si adek dikelilingi mbak2 dokter muda.<br />
<br />
Aku? Aku baru bangun ketika sudah clear masalahnya.<br />
<br />
Ingin sekali kepo. Tapi akhirnya, itulah. Batinku berteriak begitu.<br />
<br />
Kemudian, selama tilawah pasca kejadian itu. Rasanya terngiang2 salah satu opsi jawaban soal ujian kedaruratan kemarin: menolong sesuai kompetensi.<br />
<br />
Dan rasanya ingin menangis dan semakin tertampar2.<br />
<br />
Kompetensi.<br />
3 tahun kuliah di kedokteran, kamu sudah bisa apa?<br />
<br />
3 tahun kuliah disini, sudahkah lurus niatmu?<br />
<br />
Dan tiba2, terputar satu memori yg sudah lama sekali mengendap.<br />
<br />
Memori tentang ujian psikotest kelas 3 SMA. Yg hasilnya mengarahkan kalau dokter adalah profesi pilihan nomer 1.<br />
<br />
Pagi ini, Allah mengingatkanku kembali. Bahwa sesungguhnya hasil ujian itu jujur adanya. Selama ini aku selalu mengelak, bahwa hasil itu kurang valid, karena ia menempatkan mimpiku -ilmuwan- di urutan sekian setelah dokter.<br />
<br />
Bahwa ternyata, rasa ingin bisa menolong dan mengobati itu sesungguhnya ada di dalam diri.<br />
<br />
Hanya saja selama ini selalu tertutupi dengan ego. Menjadikan "bakti orangtua" sebagai pembenaran atas berbeloknya mimpi.<br />
<br />
Pagi ini, dengan satu kejadian ini, Allah menitipkan berjuta hikmah.<br />
<br />
Tentang keikhlasan.<br />
Tentang kompetensi.<br />
Tentang kesungguhan belajar demi bisa menolong sesama, karna kalau tak sungguh-sungguh, tak berkompeten, mau menolong dengan apa?<br />
Tentang fokus untuk menyelesaikan urusan sendiri dulu sebelum membantu yang lain.<br />
<br />
<br />
Dan boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu.<br />
Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (Al Baqoroh: 216)<br />
<br />
12.57 AM<br />
Masjid Nurul Huda, 26 Ramadhan 1437 H<br />
<div>
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-90626209557568099772017-02-19T01:44:00.002-08:002017-02-19T01:44:47.648-08:00Satu hatiSyaikh DR. Abdul Aziz Tharifi hafizhullah berkata:<br />
<br />
Manusia hanya punya satu hati, jika hati itu tersibukkan oleh makhluq, ia akan tersibukkan dari Rabbnya.Asma Azizahhttp://www.blogger.com/profile/12139626989131563932noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-637633766564888509.post-22302933393162183732017-02-08T15:41:00.005-08:002017-02-08T16:05:19.966-08:00Kisah Akh Hudzaifah dan Alm. Ust Taufiq Ridho<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZFQffUJMy30-1Nk6mU_WiWsLwVJ48LNLaWf8ZX-icMRpfqyfRXI-gGLqcnCkPDzLdWUmAoC5ESRNlJi9sF_SlumP7PzBe65ZbgEdlmc0ERJQwTyT5xyBv7OJFxBEAzFY5XkR0ym9-zbU/s1600/IMG-20150721-WA0090.jpg" imageanchor="1"><img border="0" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZFQffUJMy30-1Nk6mU_WiWsLwVJ48LNLaWf8ZX-icMRpfqyfRXI-gGLqcnCkPDzLdWUmAoC5ESRNlJi9sF_SlumP7PzBe65ZbgEdlmc0ERJQwTyT5xyBv7OJFxBEAzFY5XkR0ym9-zbU/s400/IMG-20150721-WA0090.jpg" width="400" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2I5NKkZUJWncJUStGPhP17emlk7zmhM5QoX_3D-WrTuqeUfXPQAzfQ9O-9tPzrlrx7rCsDzsQ3_DPf9wSFGVJH9tPBToS7foDyfl6m4OjiZGCi7dMxmHCZV3ml1WUYuZs8737eLgKdBY/s1600/IMG-20150721-WA0087.jpg" imageanchor="1"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2I5NKkZUJWncJUStGPhP17emlk7zmhM5QoX_3D-WrTuqeUfXPQAzfQ9O-9tPzrlrx7rCsDzsQ3_DPf9wSFGVJH9tPBToS7foDyfl6m4OjiZGCi7dMxmHCZV3ml1WUYuZs8737eLgKdBY/s320/IMG-20150721-WA0087.jpg" width="180" /></a><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYekw8UW_jk4n-k26OZgWrH5CknKXOZJKwQOTzkq18cmRjc-0G7CmUUdkNFT4XPhLbDYifYVwZf-UB0VDwX_0nPbPVRuq4UyDdFtNRSmmdEDD-7kZZKSPNtQDOur5UjLk3krF-zN5Az0g/s1600/IMG-20150721-WA0076.jpg" imageanchor="1"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYekw8UW_jk4n-k26OZgWrH5CknKXOZJKwQOTzkq18cmRjc-0G7CmUUdkNFT4XPhLbDYifYVwZf-UB0VDwX_0nPbPVRuq4UyDdFtNRSmmdEDD-7kZZKSPNtQDOur5UjLk3krF-zN5Az0g/s320/IMG-20150721-WA0076.jpg" width="180" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Paling atas foto abi dan Muhammad, adik nomer tiga. Paling bawah kanan urwah, memang pemalu dia, suka gamau diajak foto bareng. Disini aja senyumnya rada maksa hehe.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhir-akhir ini dapat banyak broadcast ttg kisah Akh Hudzaifah dan Alm. Ust Taufiq Ridho (Allahu yarhamukum). Dan kisah-kisah itu sukses bikin baper dan inget rumah, terutama ingat abi dan adik laki-laki lainnya. Semoga kelak kita diberi kesempatan untuk merajut kisah semanis mereka ya.. Allahumma aamiin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berikut saya kopikan kisahnya</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
***</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ahad 5 Februari 2017</div>
<div style="text-align: justify;">
12 Jam bersama Hudzaifah Muhibullah bin Muhamad Taufik Ridho</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jam menunjukan pukul 13.30 ketika aku masuk ke kamar Hudzaifah dirawat Paska operasi transplantasi hati untuk abinya. Kami keluarga yang akan menemaninya sdh diwanti wanti agar tidak memberitahu Hudzaifah tentang belum jadinya sebagian organ hatinya dipersembahkan untuk abi yang dikasihi sepenuh hatinya. Tim dokter RSCM yang akan menjelaskan bersama Psikolog kata salah seorang dokter yang menemui uminya paska batalnya transplantasi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika bertemu adiknya Dzubyan Nur Rahman di ruangan, kutanya apakah kakaknya sudah siuman?<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"<i>Sudah, A Udep nanyain ummi terus,</i>" kata Byan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Kamu tdk mengatakan apa apa kan Byan tentang pembatalan transplantasi itu?"</i></div>
<div style="text-align: justify;">
Byan menggeleng, dan segera kusuruh dia pergi makan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kuhampiri perlahan tubuh pemuda tegap yang kini terbaring lemah paska operasi. Kuamati dengan seksama matanya terpejam. Mulut dan hidungnya ditutupi masker oksigen. Dari hidungnya ada selang keluar bermuara di sebuah kantong plastik yg sdh terisi darah yang dikeluarkan dari lambung sisa sisa bekas operasi. Selang infus di tangan kirinya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Membayangkan berapa jahitan untuk luka yg sdh dibuat untuk operasi ini dan kenyataan atas batalnya transplantasi betapa tidak bisa menahan tanganku untuk tidak mengusap pelan kepala Hudzaifah. Tak kuduga usapanku membuatnya terbangun. Sesal dalam hatiku ketika kulihat Udep seperti mengehembuskan napas berat dan memejamkan mata lagi, kemudian berguman tidak jelas, namun sayup kudengar dia memanggilku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>"Bi Ina... bi Ina.... nggak jadi... si Abi nggak bisa.."</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Apa ?</i>" Tanyaku sambil lebih mendekat ke mukanya</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Transplantasinya nggak jadi..</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Apa.. apa Udep? Kata siapa?</i>" Aku masih belum paham arah pembicaraanya dan kupikir anak ini masih setengah sadar dari pembiusan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Iya.. Abi tidak bisa ditransplantasi</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Udep dengar darimana? Apa di ruang operasi kamu dengar ada dokter bilang begitu?</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Nggak... tadi waktu Udep sadar, Udep tanya jam berapa sekarang, terus ada paramedis yg jawab setengah dua belas. Kenapa kata Udep cepat sekali baru setengah dua belas sdh selesai bukankah operasi ini lama?. Terus paramedis itu bilang ya cepat karena transplantasinya tidak jadi. Ayah kamu tidak bisa ditransplantasi</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya Allah.. aku tercenung.. kehilangan kata kata dan berusaha menahan air mataku yang akan tumpah melihatnya berlinangan air mata. Kuambil tisu dan menguatkan diri menghapus air matanya sambil berpikir keras apa yang harus kukatakan dan teringat pesan Tim dokter yang akan menjelaskan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"<i>Bi Ina... boleh oksigen ini dilepas? Aku merasa sesak napas pakai alat ini</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Udep.. transplantasi bukan tidak jadi.. tapi belum jadi,</i>" akhirnya kuputuskan biarlah mendahului tim dokter, karena kupikir bukan masker oksigen yang membutnya sesak napas sambil bercucuran air mata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Belum jadi saat ini.. karena ketika abi sudah diinsisi baru tampak ada infeksi ya.. seperti sariawan kecil</i> (sedikit sok tahu) <i>di usus bagian luar yag tidak terdeteksi endoscopy, MRI, CT Scan... sementara yang ditransplantasi itu tidak boleh ada infeksi karena antibodynya akan dilemahkan supaya ketika ada benda asing </i>(hati yang dicangkokan) <i>tidak diserang, jadi abi akan diobati dulu infeksinya...</i>" dengan sok tahu aku mencoba menenangkannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Lalu berapa lama luka ini sembuh ? Apakah udep masih bisa dioperasi lagi nanti di bekas luka ini?</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya Allah... betapa tak kuat aku menatap mata anak ini.. mata yang penuh kecemasan.. mata yang penuh harapan bisa mengorbankan apapun demi abinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"<i>Ah luka ini mah seperti operasi caesar Dep.....ibu ibu yng dicaesar 2 atau 3 hari sdh boleh pulang</i>" kembali aku sok tahu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Terus bisa dioperasi lagi?</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Ibu ibu juga yang dicaesar bisa punya anak 2 atau 3 dengan jàlan dicaesar lagi Udep....</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Terlihat dia mulai tenang dan sayup binar matanya mulai terlihat. Aku bernapas lega merasa Udep sudah tenang, kuusap tangannya... Tapi beberapa detik kemudian mulai tampak lagi kecemasan dan bergumam..</div>
<div style="text-align: justify;">
<i><br /></i>
<i>berarti bulan Maret.....masih lama...</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Kenapa bulan Maret?</i>" tanyaku</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Ya kan dokter Jepang datangnya 1 bulan sekali</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Nggak...</i>"sanggahku."<i>Tadi dokter Jepang bilang ke mang Yono ANYTIME.. infeksi sembuh dia akan datang</i>"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Apakah abi akan kuat bertahan? Bagaimana kalau abi tidak kuat?</i>" Tanyanya penuh kecemasan dan mata itu kembali berkaca-kaca perlahan menganak sungai.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dan itu pulalah yang selalu terlintas dalam pikiran dan hatiku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Udep.. ayolah berhenti memikirkan pekerjaan Allah... mari kita husnudzon padaNya..</i>" kuucapkan kata kata itu juga untuk menguatkan galau hatiku.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pukul 21.45 ketika Imanuddin Kamil adik laki-lakiku yang no 6 yang berjaga di ruang ICU mengabari ada yang mau disampaikan ke istri Muhammad Taufik tidak boleh diwakilkan, teh Neneng Fatonah, teh Liah dan saya bergegas menuju ruang ICU. Kami dikumpulkan dalan satu ruang kecil dan dikabari kondisi Abinya Hudzaifah perburukan. Dalam kegamangan penerangan dari dokter yang panjang lebar membuat tubuh kami serasa tak bertenaga. Setelah sebelumnya beberapa jam paska operasi masih terdengar kabar melegakan kondisi abinya stabil.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kamil langsung menanyakan apa diperbolehkan mendampingi. Dan kami diijinkan bergatian 2 orang. Sambil menunggu Kamil bewudhu, teh Liah mengatur yang pertama masuk Kamil dan saya. Kamil tidak keluar tapi terus mendampingi, saya tidak boleh lama harus keluar diganti Ghiats (anak ke 5 Ust.Taufik). Saya harus secepatnya memanggil Sumayah Taufik dan Dzubyan yang berada di kamar Hudzaifah dan mendampingi Hudzaifah sampai kemudian nanti ada yang mengganti saya untuk kembali ke ruang ICU.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hampir pukul 10.30 malam ketika aku sampai di kamar perawatan Hudzaifah. Bergegas kusuruh Sumayah dan Byan menuju ruang ICU. Hudzaifah kulihat tertidur tenang, lantunan surat Yaa sin terdengar dari HP disamping telinga kirinya.<br />
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku duduk di sofa samping tempat tidurnya. Hening... sepi.. di ruangan ini. Tapi ketenangan ini tidak mampu meredakan hati dan pikiranku yang mengembara ke ruang ICU. Kuperhatikan HP, namun tak ada kabar. Kukirim tanya, tak jua ada jawaban. Kutenangkan diri dengan tilawah, sehingga pikiranku mengatakan sepertinya sudah membaik sebagaimana masa masa kritis di hari hari kemarin. Pukul 12.00 ada perawat masuk ingin memberikan suntikan dan mengganti infus dengan botol kecil parasetamol. Hudzaifah masih tertidur pulas. Tapi tak lama kemudian ketika infus parasetamol tersisa 3/4 nya Hudzaifah terbangun dan mengatakan tangan kanannya sakit sekali. Bergegas kupanggil perawat. Digantinya botol parasetamol dengan infus biasa lagi. Ketika Hudzaifah mengatakan rasa nyerinya sudah berkurang, perawat pun meninggalkan kami. Sebelum tertidur kembali Hudzaifah menghentikan alunan murotal.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pkl.01.00 wajah Abinya Udep terus melintas dalam lintasan pikiranku. Kegelisahanku memuncak, tapi bila hari hari sebelumnya lintasan wajah kesakitan dan tubuh kurusnya yang selalu membayangiku dan membuat titik air mataku, saat itu yang bermain dalam lintasan pikiranku wajahnya yg tersenyum dan tubuh yang segar bugar. Sehingga batinku berkata, Allah Robby akan mengembalikannya seperti itu. Sehingga kegelisahan itu bisa kuatasi. Kuperiksa HP. tidak ada jawaban dari pesan pesan yg kukirim, yang masuk kebanyakan menanyakan bagaimana kondisi abinya Udep. Pkl.01.10 kucoba merebahkan diri di sofa dan baru terasa udara dingin menusuk tubuhku , kuambil selimut dan tak terasa aku tertidur. Pkl. 01.31 sayup sayup kudengar Hudzaifah smemanggilku.....sontak aku terbangun dan segera menghampirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"<i>Bi Ina.. abi.. abi... benar sudah nggak ada?</i>" tanyanya setengah kebingungan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
"<i>Apa? Apa? Kata siapa?</i>" Akupun tak kalah bingung. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hudzaifah menyodorkan HPnya. Dan kubaca percakan via WA dgn kawannya yang mengkonfirmasi tentang berita kepergian abinya. Dalam percakapan itu sahabatnya mengira Hudzaifah satu kamar dengan abinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara di ruang ICU sedang diatur cara memberitahu kepergian abinya padaku dan Udep. Mereka khawatir jika mengabariku, aku tak bisa menahan tangis di hadapan Udep.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Qoddarullah......Engkau sebaik baik pemberi Ta'dieb pada Hudzaifah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak bisa kubayangkan apa yang akan berkecamuk pada perasan Hudzaifah, jika dikabari kepergian abinya sesudah dimakamkan. Atau pagi harinya ketika jenazah abinya sudah dibawa ke Kalibata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ketika Hudzaifah mengatakan ingin ketemu abi dulu, dengan keyakinan penuh Allah tengah menta'dieb anak ini dan Allah jualah yang akan menguatkan Hudzaifah, maka aku minta tolong kepada para perawat yang juga ikut meneteskan air mata, untuk memintakan ijin dokter mempertemukan Hudzaifah dengan abinya. Dokter ijinkan Hudzafah dibawa menemui abinya jika sudah dipindah ke kamar jenazah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di kamar jenazah berdampingan dua tubuh yang sama sama terbaring pada blankar, sama sama mempunyai luka yang belum mengering di area yang sama area organ hati, dua tubuh yang mempunyai isi hati yang sama, saling cinta dan saling sayang. Hudzaifah berkesempatan bersentuhan fisik dengan abinya walau sekedar mengusap untuk terakhir kalinya diiringi tangisan pilu orang orang yang menjadi saksi pertemuan ayah dan anak yang telah berbeda dimensi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hudzaifah Muhibulloh anakku..</div>
<div style="text-align: justify;">
Semoga kamu mencintai dan dicintai Allah sesuai dengan nama yang diberikan abimu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Barokallah fiik.. Skenario Allah dalam menta'diebmu sungguh indah, nak. Bekas luka operasi yang akan ada di tubuhmu sepanjang masa adalah kenangan terindah seolah seperti abi yang menyertai langkahmu dan menguatkanmu untuk meneruskan dakwah seperti abimu... di yaumil hisab luka itu yang akan menjadi saksi baktimu pada abimu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hudzaifah Muhibulloh anakku..</div>
<div style="text-align: justify;">
Demi hari tanggal 5 Februari 2017 yang pernah kita lalui bersama.. jika kelak di surgaNya kau tidak mendapatkan aku yang hanya sebutir debu di gurun sahara ini.. cari aku nak! Bibimu. Tanyakan pada Allah dimana keberadaanku, nak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karawang, Feb 2017</div>
<div style="text-align: justify;">
Ina Dja'far04</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/02341316420709184569noreply@blogger.com0