Jul 20, 2017

Hikmah dari IUFD

Takkan pernah Allah memberi cobaan, di luar kesanggupan hambaNya. Begitu kata Allah di ayat terakhir surat kedua. Sejatinya, ujian diberikan sudah sepaket dengan kekuatan. Yang tentunya harus dijemput dengan kesabaran dan keikhlasan dalam ikhtiar.

Seperti yang kualami pagi itu di kamar bersalin. Aku baru saja datang menggantikan shift malam rekan-rekan jaga. Di satu bilik terlihat ada ibu yang kemarin diketahui janinnya mati dalam kandungan (IUFD-intra uterine fetal death). Ketika didekati ternyata si ibu mengeluh dadanya ampeg dan meminta tetesan infusnya diperlambat. Karena prediksinya, tetes infus itulah yang terlalu cepat itulah dirinya sesak. Ketika kulaporkan, residen obsgyn mencoba menenangkan dan kemudian  kami memasangkan oksigen agar sesaknya bisa berkurang.

Belum berapa lama ditinggal, sang ibu mengerang hebat. Setelah dicek ternyata pembukaannya sudah lengkap. Aku agak terkejut. Karena kemarin siang, ketika aku meninggalkan kamar bersalin, ibu itu sudah akan dilakukan tindakan untuk evakuasi janinnya. Kisahnya sangat mengharukan, karenanya kemarin siang setelah jam jaga usai, aku buru-buru meninggalkan kamar bersalin. Tak ingin melihat evakuasi janinnya. Tak ingin melihat kesedihan di wajah ibunya. Qodarullah, kemarin siang tak jadi dievakuasi. Pengeluaran janin diputuskan dilakukan secara pervaginam dengan induksi. Sehingga jadilah pagi itu aku menemui ibu yang ternyata masih ada janin di  perutnya dan pembukaannya lengkap. Artinya, akulah yang harus ikut membantu persalinannya.

Ini adalah pertama kalinya aku menjadi asisten utama residen. Prosesnya bisa dibilang cukup cepat. Walaupun aku masih dengan tangan gemetar memegang gunting dan sering tidak tanggap ketika harusnya membersihkan perdarahan yang keluar. Alhamdulillah janinnya berhasil keluar. Plasenta keluar lengkap. Perdarahan ibu terkontrol baik dan tensi pasca persalinan juga baik.

Setelah persalinan itu, aku kemudian memperhatikan sang ibu dan suaminya. Yang masya Allah, luar biasa sabarnya. Aku tak melihat tangis bombai ibu atau derai putus asa sang suami. Kupikir, suaminya akan bermuka masam atau menyalahkan keadaan. Tapi ternyata, suaminya bersikap sangat lembut saat menghadapi istrinya. Pun ketika bertanya denganku yang sebenarnya bukan siapa-siapa ini, ia masih bertanya dengan senyum, dok kapan ya jenazah bayinya bisa kami bawa pulang?. Kujelaskan dengan pelan prosedurnya. Dan kemudian dibalas anggukan dan senyum oleh mereka.

Maha Benar Allah dengan segala firmanNya. Aku yang sesungguhnya kemarin ingin menghindar dari persalinan IUFD ini, ternyata malah diberikan kesempatan menolong langsung. Walau selama persalinan, aku ingin menangis karena membayangkan betapa sakitnya si ibu akan bertambah mengingat janinnya sudah IUFD. Tapi ternyata Allah beri ketegaran menghadapi dan bertahan disana. Allah beri bonus, seorang residen baik hati yang memaklumi pemulanya aku, tidak memarahi bahkan beliau hanya bilang: gapapa, namanya juga belajar. Dan dari semua kejadian pagi itu, ketegaran suami istri yang diuji IUFD itulah yang membuatku ingat dengan ayat terakhir di surah kedua Qur’an; bahwa Allah tidak akan menguji di luar kesanggupan hambaNya. Allah yang Maha Mengetahui. Pasti ada hikmah dibalik ujian IUFD itu. Pasti ada yang Allah ingin ajarkan, untuk mereka yang ditinggal janinnya. Atau untuk kami yang sedang mengemban amanah menuntut ilmu di rumah sakit ini.


Solo, 20 Juli 2017

Jul 14, 2017

Another Inspiring Story

(dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)

Aku baru saja menyelesaikan satu buku tentang pendidikan anak yang direkomendasikan suamiku. Judulnya, battle hymne of the tiger mother, yang ditulis oleh seorang profesor bidang hukum di Yale university berdarah Cina. Berkisah tentang perjuangannya membesarkan 2 orang putrinya di Amerika, dan pertentangan prinsip 'Chinese' dan 'Western' parenting. Ditulis secara naratif dan deskriptif, membuatku mengenang kembali masa kecilku dan membayangkan masa depan anak-anakku, yang dalam hal ini kurang lebih sama posisinya dengan anak-anak si penulis.

Sampai berjam-jam kemudian, isi kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai ide dan gambaran metode mendidik anak-anakku yang diinspirasi dari buku itu. Namun entah kenapa, sesaat sebelum tidur malam itu, tiba-tiba aku merasa bukan menjadi 'the tiger mother'. Bahkan, aku merasa seperti menjadi bagian dari peran kedua anak gadis yang dikisahkan di buku itu, diasuh oleh 'tiger mother'. Ibuku memang menerapkan prinsip pendidikan yang hampir sama dengan 'Chinese' parenting itu padaku, tapi itu tentu sudah berakhir lebih dari satu dekade lalu.

Sambil mengelus-elus gadis kecil di sampingku agar segera tidur, pikiranku masih terus melayang mengapa bukan peran 'tiger mother' yang kurefleksikan, tapi justru kedua putrinya. Kalau aku merasa seperti kedua gadis dalam buku itu, tentu ada seseorang yang berperan sebagai 'the tiger mother' untukku saat ini. Tepat saat itu suamiku masuk kamar melongok apakah si kecil sudah tidur dan mengingatkanku untuk memberinya anti piretik agar dia tidur nyenyak (si kecil memang sedang terserang ISPA dan sering rewel di malam hari karena hidungnya mampet). 

Seperti balita yang baru berhasil memecahkan puzzle 4 bagian, otakku berseru 'that's it...!!'.  Aku tidak hidup bersama seorang 'tiger mother' lagi saat ini, tapi aku memiliki seorang 'ram husband' yang mengarahkan jalan hidupku. Entah mengapa aku memilih sebutan 'ram' yang artinya domba jantan. Mungkin diinspirasi dari zodiaknya yang Aries, dan 'ram' adalah simbolnya. Tapi aku tak percaya zodiak, apalagi sebagian ulama menyatakan hal itu dekat dengan kemusyrikan. Aku juga tak tahu apakah sifat 'ram' itu sama seperti suamiku, toh aku dididik sebagai dokter manusia, bukan dokter hewan.

Namun aku kenal persis sifat suamiku (walau mungkin dia akan menyangkal pernyataan ini). Hampir sepuluh tahun melewati hidup bersamanya, dia selalu bisa membaca pikiranku sama seperti aku bisa membaca hatinya (mungkin yang ini juga debatable). Walau kami sama sekali tak saling mengenal waktu pertama kali berjumpa, kurasa sifat percaya diri dan visionernyalah yang membawa kami sampai ke kursi pelaminan, dibanding sifatku yang lebih banyak 'let's just go with the flow...'. Kami sama-sama anak pertama, sama-sama keras kepala dan suka berdebat, dan yang lebih penting sama-sama tidak mau mengalah.

Aku masih harus menyelesaikan pendidikan dokter umumku saat aku menikah. Rotasi di berbagai bagian seperti bedah, obgin, dan seterusnya akan tetap menghabiskan waktuku sama ketika aku masih gadis dulu. Aku tidak mau studiku terganggu karena menikah, dan aku sudah memberikan janjiku pada ibuku akan tetap lulus tepat waktu dengan nilai baik walau menikah saat kuliah. Karena janji itu, ide suamiku untuk segera memiliki anak setelah menikah tentu kutolak mentah-mentah. Terbayang bagaimana susahnya berlari-lari sepanjang lorong IGD saat jaga dengan perut buncit karena hamil. Belum lagi aku akan harus cuti melahirkan, tentu membuat targetku lulus tepat waktu meleset.

Singkat cerita (lebih karena aku tak ingat lagi apa yang terjadi atau apa yang suamiku lakukan untuk membujukku), aku melahirkan anak pertamaku saat aku masih ko-ass. Aku cuti melahirkan. Aku terlambat lulus 5 minggu dari teman-teman seangkatanku. Aku wisuda satu semester setelah teman-teman sparingbelajarku diwisuda, walaupun tetap bisa dilantik sebagai dokter bersama-sama di gelombang pertama. Tapi bedanya, teman-temanku waktu itu kebanyakan hanya didampingi kedua orang tuanya saat wisuda dan pelantikan. Diriku ? Didampingi kedua orang tuaku, mertua, suami, dan tentu saja bayi kecil yang telah banyak mengubah hidupku.

Mendapat ijasah lebih lambat dari seharusnya juga merentang tantangan di depanku. Impianku untuk segera mendaftar program pendidikan spesialis obstetri dan ginekologi terpaksa ditunda. Selain itu, aku juga tak bisa membayangkan dari mana uang puluhan, bahkan ratusan juta yang harus kusediakan untuk membiayai pendidikan spesialis. Orang tuaku pensiunan pegawai swasta (tanpa tunjangan pensiun tentunya) dan masih harus membiayai sekolah 2 adikku. Penghasilan suamiku saat itu hanya cukup membiayai kebutuhan keluarga kecil kami.

Akhirnya aku memendam (setidaknya menunda) mimpiku untuk segera melanjutkan pendidikan spesialis. Sebagai gantinya, aku rajin membaca koran dan internet, mencari kesempatan beasiswa belajar di luar negeri. Ini adalah impianku yang lain sejak sekolah menengah dulu, kuliah di luar negeri. Aku sadar suamiku tak sepenuhnya menyetujui ide ini. Dia memiliki pekerjaan yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja untuk menemaniku sekolah di luar negeri. Anak kami pun umurnya belum genap setahun, tak terbayang bagaimana mengakali itu semua.

Lagipula aku sadar diri, sebagai dokter fresh graduate, nilai lebih apa yang kupunya untuk bersaing dengan ribuan pemburu beasiswa lain dengan segudang pengalaman dan referensi. Akhirnya aku menjadikan'hunting' beasiswa itu sebagai hiburan sampingan, daripada tidak ada target yang kukejar sambil menunggu ijasahku keluar. Tapi toh suamiku mendukungku habis-habisan. Dia yang rajin mencarikanku berbagai info lewat internet (koneksi internet jaman dulu tentu tak sebagus sekarang). Saat aku (tak disangka-sangka) berhasil melewati seleksi berkas Australian Development Scholarship (ADS) untuk program master, suamikulah yang memaksaku mempersiapkan diri dengan les IELTS agar saat tes di tahap selanjutnya nanti nilaiku baik. Suamiku juga yang menjadi sparing latihan wawancara, memberi masukan ini itu untuk jawabanku yang 'belepotan'.

Sebulan sebelum pengumuman penerimaan beasiswa ADS, suamiku mendapat pekerjaan baru dengan gaji yang jauh lebih baik. Walau perusahaan tempat bekerjanya waktu itu adalah 'the dream company' untuknya sejak masih kuliah dulu, dia rela melepaskan tempat tersebut dan pindah ke perusahaan baru itu. Ketika mendiskusikan keputusannya untuk pindah perusahaan, dengan nada ceria dan antusias dia berkicau "Alhamdulillaah...Mudah-mudahan kalau bisa dapet gaji segini, kita bisa bayar SPP buat obgin. Tinggal cari cara buat bayar admission fee aja kalo memang diterima nanti. Begitu ijasah resmi keluar, langsung urus semua surat buat daftar obgin yaa...", begitu 'instruksi'nya.

Ternyata rencana Sang Pencipta sudah tertulis sedikit berbeda untukku. Beberapa minggu setelah suamiku mulai bekerja di tempat baru, aku mendapat telpon darinya. "Pitha, dapet tuh beasiswa ADS nya...Katanya langsung masuk untuk 'june intake'...". Suamiku yang rajin membukakan email untukku di kantornya karena waktu itu kami belum punya akses internet di rumah. Bulan Juni itu tinggal 4 bulan lagi, sedangkan anakku belum genap 1 tahun umurnya, suamiku baru mulai bekerja di tempat barunya, tidak mungkin minta cuti menemani istri sekolah. Walau sangat senang karena impianku untuk mencicipi kuliah di luar negeri bisa terwujud, tapi aku bimbang karena realitas keluargaku rasanya tak memungkinkan itu terjadi.

Aku tahu suamiku pun merasa bimbang. Setelah diskusi panjang, akhirnya dia memutuskan memberiku ijin pergi ke Sydney, Australia, untuk mewujudkan satu impianku. Tapi dengan catatan, aku harus mengurus dulu semua persyaratan administrasi untuk pendaftaran obgin dan pulang saat ujian penerimaan obgin. Harga lain yang harus dibayar adalah aku tidak bisa membawa anakku pergi bersamaku dan suamiku hanya bisa berkunjung sesekali waktu karena tidak mungkin meminta cuti bekerja setahun penuh.

Tapi memang itulah skenario Sang Pencipta. Dari uang beasiswa ADS itu aku bisa menyisihkan sebagian uang dan menabungnya untuk membayar admission fee pendidikan spesialisku nantinya. Suamiku rela membayar tiket pesawat Jakarta-Sydney supaya aku bisa pulang beberapa kali, suami dan anakku bisa berkunjung ke Sydney, supaya kami semua tetap sering berkumpul dan bertemu. Selama aku kuliah, setiap hari saat menelpon pertanyaan yang sama selalu dilontarkannya padaku "udah sampe mana belajar untuk ujian obgin..?". Aku kuliah tentang health services management dengan setumpuk assignment, mana sempat melahap buku-buku obgin yang tidak ada hubungannya dengan assignment ku...

Kurasa, memang jalan hidupku untuk kemudian lulus seleksi residen obgin dan memulai pendidikan di sana. Suamiku memberikan semua yang dimilikinya untuk mendukungku sekolah, terutama di masa-masa awal pendidikanku. Materi, waktu, dan ekstra kesabaran untukku. Tak jarang aku menghabiskan waktu berhari-hari di rumah sakit tanpa pulang ke rumah. Sekalinya pulang ke rumah, membawa badan lelah, muka kuyu, dan segudang 'curhat' dari mulutku. Aku tahu sebenarnya batas sabarnya sudah sering terlewati karena selalu pasien-pasienku di rumah sakit terpaksa kuprioritaskan daripada keluarga kami. Aku sadar bahwa 'toleransi' untukku sebagai istri dan ibu sering melanggar kemampuan toleransi manusia secara umum. Toh ketika aku memiliki ide untuk berhenti saja dari pendidikan obgin, suamiku adalah orang pertama yang paling menentang.

Bahkan ketika aku cuti pendidikan untuk menemaninya bekerja di Inggris, dia tetap membuatku kembali bersekolah. Setelah cuti setahun dari pendidikan, aku merasa mungkin sebaiknya aku belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik dulu. Belajar mengurus suami dan kedua anakku dengan baik. Setelah adu argumen panjang, suamiku berhasil memenangkan pendapatnya bahwa aku harus kembali ke Jakarta, menyelesaikan pendidikan spesialis obginku dulu. Itu artinya selama minimal 3 tahun ke depan, aku dan kedua anakku harus tinggal di Jakarta, sedangkan suamiku sendiri di Inggris. Aku tak tahu bagaimana waktu selama 3 tahun itu bisa berlalu, dengan suamiku harus menempuh perjalanan udara selama 2x24 jam setiap 2-3 bulan sekali untuk mengunjungi kami di Jakarta, sampai akhirnya masa itu lewat sudah.

Aku selalu heran mengapa dia begitu 'ngotot' memaksaku menyelesaikan sekolah obginku. Salah satu alasannya yang dia ceritakan di kemudian hari adalah dia merasa memiliki hutang kewajiban, menjadikanku SpOG. Rupanya, sebelum kami menikah dulu, aku memperkenalkan diriku sebagai mahasiswa kedokteran yang hampir seluruh waktunya habis untuk kuliah dan aktivitas kemahasiswaan. Maksudku adalah memberi gambaran bahwa setelah menikah, waktuku tetap akan banyak tersita untuk kuliah, sehingga kuharap dia mengerti dan tidak terkejut kemudian dengan keadaanku. Aku juga menceritakan cita-citaku untuk langsung melanjutkan pendidikan spesialis obgin begitu aku selesai dokter umum, dengan harapan dia tidak menentang hal tersebut nantinya. Namun ternyata suamiku memiliki interpretasi berbeda. Dia menganggap ketika dia menyetujui menikah denganku dengan kondisiku saat itu, artinya dia berjanji akan mendukungku habis-habisan untuk menjadi SpOG. Padahal, aku tidak pernah menganggap hal itu sebagai janji pra-nikah.Anyway, ke'ngotot'an suamiku itulah mungkin salah satu 'bahan bakar'ku untuk menyelesaikan pendidikan spesialis.

Sifat suamiku yang 'ngotot' dan selalu 'mengulang' apa yang menjadi keinginanannya itu juga telah membuatku melakukan hal-hal yang tadinya tak pernah terbayang untukku. Selama di Inggris, dia memiliki ide agar aku mencoba mengikuti ujian registrasi dokter lulusan internasional agar dapat berpraktek di Inggris. Awalnya aku menolak karena artinya aku harus meng 'unlearned' pendidikan spesialisku dan belajar menjadi dokter umum kembali. Belum lagi aturan registrasi di Inggris sangat rumit, ujian PLAB (professional and linguistic assessment board) yang harus dilewati bila ingin melakukan registrasi, dan persaingan dengan berbagai lulusan dokter internasional lainnya.

Tapi bukan suamiku namanya kalau menyerah begitu saja. Dia meluangkan waktunya mempelajari website General Medical Council UK, mencari cara bagaimana melakukan registrasi. Bahkan aku yang dokter saja berpendapat website itu tidak 'user-friendly' untuk mudah dimengerti. Setelah dia mengerti aturannya, dia membuatkan account untukku supaya bisa melakukan registrasi dan mengikuti ujian PLAB.

Aku kembali beralasan bahwa sulit untukku belajar kembali jadi dokter umum, banyak sekali materi yang harus kukuasai. Selama ini aku sudah telanjur belajar sangat spesifik sebagai residen obgin. Aku tidak kenal seorang pun dokter lulusan Indonesia yang pernah mencoba ujian atau lulus PLAB. Bagaimana aku tahu seperti apa ujiannya dan bahan apa saja yang harus kupelajari. (Padahal alasanku sebenarnya adalah aku sama sekali tidak 'pe de' untuk mencoba ujian itu dan tidak berani bermimpi untuk bisa bekerja sebagai dokter di Inggris).

Alasan itu tidak diterimanya. Dia kemudian mendata kolega di kantornya yang memiliki pasangan atau teman dokter untuk dimintai informasi. Tidak cukup itu saja, suamiku bergabung dengan forum-forum online dokter lulusan internasional yang mencoba ujian PLAB. Membaca berbagai review tentang buku-buku yang disarankan sebagai materi belajar ujian PLAB. Sebagai hasilnya, berbagai buku, salah satunya setebal lebih dari 12 cm datang diantar oleh tukang pos setelah suamiku memesannya secara online.

Ujian PLAB terdiri dari 2 tahap, yaitu ujian tulis dan ujian praktek (OSCE = objective structured clinical examination). Untuk bisa melakukan registrasi dan ijin berpraktek di Inggris, semua dokter lulusan internasional harus melewati kedua ujian tersebut. Karena berbagai alasan yang kusampaikan tentang betapa sulitnya untukku untuk mempelajari semua materi pengetahuan dokter umum untuk ujian PLAB 1, akhirnya suamiku mencari info tentang kursus persiapan PLAB 1. Dia meyakinkanku untuk mengikuti sebuah kursus singkat di Manchester, 4-5 jam perjalanan darat dari rumah kami. Meski sangat membenci perjalanan jauh dengan mobil, dia rela mengantarku pergi ke Manchester demi kursus itu. Belum puas dengan itu, dia masih memintaku mengikuti kursus online dari sebuah website yang direkomendasikan temannya.

Aku yang waktu itu sedang hamil anak kedua kami, belajar dengan setengah hati. Bayangan ingin bersantai saat hamil dan cuti sekolah rasanya dirusak oleh semangat suamiku agar aku lulus PLAB. Setiap pulang kantor, saat menelpon dari kantor, selalu pertanyaan yang sama dilontarkannya, "udah belajar PLAB sampe mana..?". Sebelum berangkat kantor atau sebelum dia tidur di malam hari, pesannya adalah "jangan lupa belajar PLAB yaa...". Sering aku kesal mendengarnya dan menjawab dengan ketus, "Mas, Pitha bukan anak kecil...ga usah disuruh-suruh belajar...!! Ibu aja nyuruh belajar cuma pas Pitha SD. Abis itu ga pernah ada orang yang nyuruh Pitha belajar..!!". Biasanya dia cuma tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksiku dan berkata, "baiklaaahhhh...boleh libur belajar sekarang...besok lanjut lagii...". Kadang aku sangat kesal sampai menangis merasa diperlakukan seperti anak kecil, disuruh-suruh belajar. Tapi sekarang kurenungi, kalau bukan karena 'kebawelan' suamiku menyuruhku belajar, mungkin aku tak akan pernah belajar dan lulus PLAB 1.

Butuh waktu 3 tahun untukku setelah lulus PLAB 1 untuk berkesempatan lagi mengikuti PLAB 2. Karena aku harus melanjutkan pendidikan spesialisku di Jakarta, aku terpaksa menunda ujian PLAB 2 ku sampai saat terakhir. Ada batasan waktu maksimal 3 tahun setelah lulus PLAB 1, untuk lulus PLAB 2. Bila dalam 3 tahun aku tidak berhasil lulus PLAB 2, aku harus memulai segala sesuatunya dari awal lagi. Itu artinya, aku harus lulus ujian PLAB 2 saat itu. Tidak ada kesempatan waktu lagi untukku bila gagal di ujian ini.

Kurasa suamiku lebih tegang daripada aku dalam menghadapi ujian ini. Berbagai buku dan DVD panduan belajar ujian PLAB 2 sudah disediakannya saat aku tiba kembali di Inggris. Tidak cukup itu saja, suamiku kembali aktif mengikuti berbagai forum online para dokter yang berniat ikut ujian PLAB 2. Dari forum itu, suamiku mendapat informasi suatu tempat kursus persiapan PLAB 2 di daerah East London. Kursus itu berlangsung selama 14 hari non-stop, dari pukul 9 pagi sampai 7 malam. Harganya cukup mahal untuk kantong kami, tapi suamiku berhasil membujukku untuk mengikuti kursus itu.

Tempat kursus itu jaraknya cukup jauh dari tempat kami. Bila menggunakan transportasi publik, memakan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam sekali jalan. Berarti pulang pergi aku harus menghabiskan waktu 4-5 jam sehari. Akhirnya suamiku memutuskan untuk mengantar jemput diriku ke tempat kursus itu dengan mobil, karena perjalanan bisa disingkat sekitar 40-50 menit sekali jalan. Pertimbangannya adalah agar aku bisa memanfaatkan sisa waktu lainnya untuk belajar. Karena suamiku jg harus masuk kantor pk 8.30 pagi setiap hari, kami harus berangkat sebelum matahari terbit agar suamiku tidak terlambat masuk setiap harinya. 

Jadilah selama 2 minggu itu agenda suamiku adalah menyupir sejauh 120 mil (sekitar 200 km) setiap harinya untuk mengantar dan menjemputku kursus, bekerja, memasak, menjadi sparing belajarku sampai tengah malam, termasuk menjadi 'pasien' latihanku melakukan berbagai pemeriksaan klinis yang harus kukuasai, sekaligus 'editor' bahasa inggrisku yang 'betawish'. Dia terpaksa harus ikut belajar apa yang kupelajari agar bisa jadi sparing belajarku. Kurasa, berlatih beberapa lama lagi dia juga akan 'eligible' untuk ikut ujian PLAB 2. 

Perjalanan ribuan mil itu diakhiri dengan menyupir pulang pergi hampir 300 mil (sekitar 450 km)  ke Manchester untuk mengikuti ujian PLAB 2 itu. Suamiku tidak mau aku pergi sendiri dengan kereta, dia memilih mengambil cuti dan mengantarku sendiri ke tempat ujian itu. Kalau kemudian aku lulus PLAB 2, kurasa suamikulah yang paling berhak mendapatkan 'reward' nya karena dia bekerja 2x lebih keras dibanding usahaku untuk belajar.

Untuk urusan 'self confidence', suamiku juga adalah orang yang selalu membesarkan hatiku. Saat mengetahui bahwa di tahun terakhir pendidikan obstetri dan ginekologi terdapat rotasi 'elective posting', suamiku mengusulkan agar aku melakukan elective posting itu di salah satu rumah sakit di London. Awalnya aku tidak 'pe de', tidak untuk mengirimkan lamaran, menulis CV, atau mengontak para konsultan di Inggris. Terbayang olehku pertanyaan mereka saat membaca aplikasi atau CV ku, "a resident from Indonesia? Where about in the world Indonesia is?.." seperti pertanyaan kebanyakan orang Inggris yang pernah kutemui. Belum lagi bila harus bekerja bersama mereka. Tapi suamiku meyakinkanku dengan candaannya, "jangan khawatir, orang Indonesia ga kalah pinter kok sama mereka-mereka itu...mereka menang ngomong doang...!!!". Jadilah akhirnya berbekal nekat dan tips sedikit rasis dari suamiku aku bisa mendapatkan tempat elective posting di beberapa rumah sakit di London.

Kadang-kadang aku berpikir, kenapa suamiku lebih memilih bersikap "ngotot, menuntut, bawel" kepadaku daripada bersikap romantis dan memanjakanku. Rasanya ingin juga sekali-sekali diberi buket bunga, atau diajak candle light dinner dengan sedikit puisi romantis, seperti tontonan sinetron atau telenovela. Tapi kemudian pikiran itu segera kubuang jauh-jauh bila membayangkan puisi lebay berisi rayuan gombal keluar dari mulutnya. Aku bisa pingsan tertawa mendengarnya, apalagi bila suamiku yang membacakannya. It's just not him, and I hate 'lebay' man...

Nevertheless, kurasa, memang sifat suami seperti dialah yang kubutuhkan untuk memimpin keluarga. Aku butuh seseorang yang menetapkan target-target dalam setiap tahap kehidupannya, juga kehidupanku dan keluarga kami. Aku butuh orang "bawel" yang selalu mengingatkan segala sesuatunya untukku. Dan yang paling penting, aku selalu butuh sparing belajar di dunia ini untuk menjadi orang yang lebih baik.

MENITI BATAS (bag 2)

(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)


Memutuskan untuk mengakhiri kehamilan ketika nyawa seorang perempuan terancam akibat kehamilannya bukanlah urusan mudah. Meskipun sepanjang pendidikanku sebagai dokter kami selalu dilatih untuk berempati kepada pasien, bukan bersimpati, namun bagiku bersikap profesional tanpa melibatkan perasaanku sediri adalah hal yang sangat sulit. Aku juga perempuan, pernah hamil dan melahirkan, mengerti betul perasaan para perempuan yang berada di posisi mereka (mungkin aku termasuk golongan dokter mellow dan cengeng, yet I can’t help it).

Sore itu kami memulai jaga malam di IGD (instalasi gawat darurat) dengan loading pasien “full capacity” dan hampir semuanya adalah pasien-pasien berisiko tinggi. Waktu itu aku baru tahap 2A, di semester kedua pendidikan spesialis obstetri dan ginekologiku. Sebelum ronde, kami harus “operan pasien” dengan sejawat yang bekerja pagi sampai siang sebelumnya. Biasanya tahap 2A bertanggung jawab terhadap pasien-pasien penghuni kamar eklamsi, suatu ruangan khusus di IGD Obgin yang didedikasikan untuk merawat pasien-pasien yang menderita pre/eklamsia (dulu dikenal juga sebagai toxaemia gravidarum, keracunan kehamilan, suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah ibu hamil, bocornya protein dari ginjal ibu hamil, dan bengkak organ atau bagian tubuh ibu hamil).

Eklamsia adalah suatu kondisi yang sampai saat ini masih merupakan misteri mengapa bisa terjadi pada kehamilan, berbagai teori diajukan untuk menjelaskan kondisi ini. Sebagian ahli berpendapat kondisi ini adalah bukti cinta ibu kepada janinnya, saat pasokan darah yang membawa nutrisi dan oksigen tidak sampai secara optimal kepada janin yang sedang tumbuh dalam kandungan ibunya, maka secara otomatis tubuh ibu mengatur agar tekanan darah ditingkatkan supaya aliran darah ibu dipastikan sampai ke janin. Ternyata komplikasi akibat kondisi ini sangat fatal, bahkan pre-eklamsia dan eklamsia menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan di Indonesia. Terapi definitif kondisi ini ternyata sangat sederhana, yaitu melahirkan bayinya. Tapi pada praktiknya, tentu jauh dari sesederhana itu.

“Titip pasien-pasienku yaa... Ga bagus semua kondisinya..” ujar kolegaku yang bertugas sejak subuh tadi di kamar eklamsi. “Huhu...kerja rodi dong ya malam ini...” jawabku setengah bercanda. “Apa aja pasiennya?” tanyaku sambil sibuk membuka-buka rekam medis mereka di meja depan kamar eklamsi. “Yang bed ujung hamil 28 minggu, riwayat seksio 2x dengan diabetes mellitus gula darahnya belum terkontrol, dan pre eklamsia berat (PEB) tekanan darahnya masih fluktuatif. Dua anak yang lahir lewat seksio sebelumnya IUFD (intra uterine fetal death) semua, jadi anak yang ini bener-bener dinanti lho, awas jangan sampe tiba-tiba DJJ (denyut jantung janin) ilang yaa... Yang sebelahnya PEB mau terminasi kehamilan, udah 35 minggu, tensi udah terkontrol tapi nunggu hasil-hasil lab nya, jangan lupa dikejar yaa... Yang pojok pasien kiriman dari ICU, post seksio atas indikasi eklamsi gravidarum, kesadaran masih somnolen dan fungsi ginjalnya jelek... Yang bed sisi kanan PEB tapi masih mau dikonservatif, soalnya masih 33 minggu. Pastikan tensi stabil ya supaya besok pagi bisa dikirim rawat di ruangan... Yang di tengah juga mau konservatif, tapi tadi CTG bayinya ga gitu bagus, kalo emang ga bagus mungkin harus seksio malam ini...Nah yang ini, baru datang dari ruangan. PEB hamil 24 minggu, tensinya fluktuatif terus dan mulai ada perburukan laboratorium. Sedang cek lab lagi, belum ada hasil, ntar kalo udah ada dan ternyata emang perburukan tambah berat, direncanakan mau terminasi...” jelas kolegaku itu panjang lebar yang semakin membuat nasibku jelas malam ini, kerja rodiii....

Enam bed di kamar eklamsi yang penuh sudah jelas menjadi tanggung jawabku. Observasi pasien-pasien di kamar-kamar lain juga menjadi tanggung jawabku, namun kudelegasikan kepada 2 juniorku dengan supervisi dan tanggung jawab di tanganku. Begitulah pembagian kerja dalam shift jaga kami. Semua orang memiliki tanggung jawab, dan sang chief serta jaga utama (2 residen senior yang memimpin jaga) yang bertanggung jawab semua dan melaporkannya kepada seorang konsulen jaga yang stand-by juga di kamarnya di sudut belakang IGD.

Setelah mempelajari semua rekam medis yang mesti kukuasai, maka mulailah aku menyapa pasien-pasienku di kamar eklamsi (tentu hanya mereka yang compos mentis alias baik kesadarannya yang bisa kusapa) sambil berkoordinasi dengan seorang perawat penanggung jawab ruangan eklamsi. Pasien-pasien di sini akan harus dilakukan pengukuran tensi setidaknya 1 jam sekali, malah pasien yang tensinya tidak terkontrol dan harus dilakukan titrasi dosis obat antihipertensinya harus ditensi setiap 15 menit untuk mengevaluasi dosis obatnya. Yang lebih parah lagi, jaman itu rumah sakit kami tidak punya monitor observasi tanda-tanda vital yang secara otomatis melaporkan tensi, nadi, nafas, saturasi, dan hal-hal penting lainnya pada pasien berisiko tinggi seperti pasien-pasienku ini. Jadilah kami harus secara manual memeriksa semua itu setiap 15 menit jika perlu, dan aku punya 6 pasien. Artinya aku tak akan punya kesempatan duduk malam ini. Belum lagi harus juga memeriksa denyut jantung janin pasien yang masih hamil dengan manual menggunakan Doppler (alat cardiotocography, CTG, yang merekam denyut jantung janin dan kontraksi ibu, di rumah sakit kami hanya ada 2 untuk sekian puluh pasien). Idealnya, monitoring janin pasien-pasien risiko tinggi seperti itu harus dilakukan secara terus-menerus (continuous monitoring) karena kondisi janin bisa sewaktu-waktu memburuk. Karena jumlah alat terbatas, kamilah yang harus menggantikan alat-alat tersebut dengan melakukan pemeriksaan manual. Aku juga harus memperhatikan produksi urin/kencing setiap pasien, memastikan bahwa ginjal mereka baik-baik saja, tidak mendapat komplikasi kondisi pre-eklamsia atau eklamsianya. What a labour-intensive job, wasn’t it? In fact, it was only me who should do all those works.

Semua residen sudah tahu bahwa pekerjaan seperti kami memang berat, dan bila memang tetap ingin memilih profesi ini, you just have to live with it... Bahkan pekerjaan yang terkesan remeh sekalipun seperti mengukur produksi kencing dan menghitung berapa cairan yang masuk diminum pasien dan keluar melalui urinnya, bisa menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Bila tidak dikerjakan dengan serius, maka nyawa ibu dan janin adalah taruhannya. Para seniorku selalu mencontohkan kasus (entah terjadi betulan atau tidak) bahwa suatu ketika ada seorang pasien yang mengalami edema paru akut (paru-parunya terendam cairan karena pada kondisi eklamsi cairan mudah sekali keluar dari pembuluh darah yang bocor) gara-gara residen yang bertanggung jawab lalai melakukan perhitungan cairan. Edema paru adalah kondisi fatal yang bisa mengakibatkan kematian ibu, tentu juga janinnya.

“Udah kayak setrikaan ya Dok, mondar-mandir melulu dari tadi”, canda seorang pasien yang sedang kuukur tekanan darahnya. “Abis ga licin-licin sih...”, jawabku sekenanya sambil tersenyum dan memelototi alat tensiku. Ini adalah pasien terakhir yang diceritakan kolegaku tadi, seorang nyonya berusia 37 tahun, sedang hamil yang ketiga. Dua kehamilan sebelumnya juga berkomplikasi pre-eklamsia berat, semua harus dilahirkan prematur dan kedua bayinya meninggal karena komplikasi prematuritas. Hamil ketiganya ini, juga berkomplikasi pre-eklamsia berat pada usia kehamilannya yang baru 24 minggu, sehingga digolongkan sebagai suatu early-onset pre-eclampsia, dan biasanya prognsosisnya tidak begitu baik. Tensinya tidak juga terkontrol walaupun obat-obat antihipertensi telah diberikan.

“Masih belum sesuai target nih Bu, tensinya... Ibu mesti makan obat ini lagi ya, nanti 15 menit lagi saya ukur ulang tekanan darahnya,” kataku sambil menyodorkan sebutir pil. Mengatur penurunan tekanan darah pada penderita pre-eklamsia seperti pasien ini tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Bila langsung diberikan obat dengan dosis besar supaya target tekanan darah segera tercapai, maka fatal akibatnya bagi janin, karena tekanan darah yang tiba-tiba turun akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang tiba-tiba, yang berarti pasokan nutrisi dan oksigen juga berkurang tiba-tiba. Namun bila target penurunan tekanan darah tidak segera tercapai, maka organ-organ penting si ibu yang menjadi taruhannya. Komplikasi seperti perdarahan otak, gagal ginjal, gagal hati, dan organ lain bisa terjadi akibat tekanan darah yang terlalu tinggi.

“Hasil lab saya belum datang ya, Dok?”, tanyanya setelah menelan pil yang kusodorkan. “Sebentar lagi saya ambilkan ke lab ya Bu, saya selesaikan menulis rekam medis dulu sebentar...”, jawabku sambil sibuk menulis. “Mudah-mudahan bagus ya Dok hasilnya, saya ga mau kehamilan saya diakhiri lagi sekarang gara-gara hasil lab saya nanti jelek”, gumamnya sambil memandang ke jendela. Aku mengangkat muka memandangnya, “Iya Bu, mudah-mudahan hasilnya bagus”, kataku sambil tersenyum memberi harapan.

“Dokter sudah punya anak?”, tanyanya lagi. “Waahh...Ibu ini mau memuji atau nyindir saya sih? Masak potongan kayak saya masih cocok jadi gadis dan belum pernah melahirkan? Saya sudah punya 2 anak Bu,” jawabku sambil bercanda berusaha menghangatkan suasana. “Senang ya Dok, bisa punya anak, apalagi kalo sehat-sehat. Hamil dan melahirkannya lancar, bayi tumbuh dan berkembang dengan baik...”jawabnya masih dengan nada sedih. Aku hanya bisa mengangguk dan kemudian menyahut, “Saya ambil dulu hasil lab Ibu di bawah ya...”, sebelum ikut larut dalam suasana.

Dengan hati ikut sedih aku melaporkan hasil lab pasien itu ke seniorku; mandor, jagut, serta chief jaga. Semua hasil pemeriksaan laboratorium pasien itu menunjukkan perburukan. Kadar hemoglobin dan trombositnya menurun dibanding pemeriksaan sehari sebelumnya, sedangkan enzim-enzim yang menunjukkan fungsi hati (SGOT dan SGPT) meningkat sampai 3x lipat menunjukkan fungsi organ sudah terganggu. Demikian juga pemeriksaan fungsi ginjal berupa kadar ureum dan kreatinin darah mulai meningkat, menandakan ginjal juga terancam bahaya. Kondisi ini merupakan komplikasi pre-eklamsia dalam kehamilan yang dikenal sebagai HELLP syndrome (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), kondisi perburukan yang mengharuskan pengakhiran kehamilan segera sebelum kondisi ibu menjadi lebih buruk karena kegagalan berbagai organ pentingnya.

Setelah melaporkan pada Konsulen Jaga saat itu, berdiskusi panjang lebar mengenai alternatif pilihan yang kami punya, maka akhirnya kami sepakat untuk menyarankan pengakhiran kehamilan pasien tersebut. Saat ini usia kehamilannya baru 24 minggu, setidaknya butuh 4 minggu lagi sampai fasilitas perinatologi kami sanggup merawat bayinya dengan survival rate yang baik. Jangankan menunggu 4 minggu, perburukan dan komplikasi lain sudah membayang untuk terjadi sewaktu-waktu dengan nyawa ibu sebagai taruhannya.

Setelah kupanggil suami pasien itu untuk masuk ke ruang rawat dan duduk di sebelah bed istrinya, Konsulen Jaga kami didampingi chief dan jaga utama kemudian menyampaikan kabar yang paling tak ingin didengar oleh pasangan malang itu. Breaking bad news seperti ini, lagi-lagi adalah bagian dari pekerjaan yang paling kubenci. Namun reaksi si pasien itu sungguh di luar dugaanku. Kupikir tadinya tentu dia akan menangis tersedu-sedu karena kesempatannya untuk menimang bayi harus hilang justru karena keselamatan jiwanya terancam bila kehamilannya dilanjutkan.

“Mungkin Yang Kuasa belum ngasih kepercayaan ya Dokter..? Saya ikhlas, bila memang itu yang terbaik... Tapi saya mau, biarpun harapannya kecil, bayi saya kalo dilahirkan nanti tetap ditolong maksimal ya Dokter. Sekarang juga saya mau tunggu obat pematangan parunya selesai sebelum dia dilahirkan. Biar nanti kalo saya dimintai pertanggungjawaban, saya bisa jawab bahwa saya udah usaha maksimal Dokter... Boleh kan begitu..??” jawabnya sambil menatapku lekat-lekat.

Hmmm...yang terbaikkah yang memang kami sarankan untuknya? Berat sekali mempertanggungjawabkan keputusan ini, apalagi pasien itu mempercayakan sepenuhnya keputusan dan nasib bayinya pada kami, pasrah bongkok'an orang Jawa bilang. Dia saja berjuang maksimal untuk keselamatan bayinya, meski nyawanya sendiri sudah di tepi jurang, sewaktu-waktu bisa tergelincir. Apakah kami juga sudah berjuang maksimal agar bisa mempertanggungjawabkan keputusan ini?

Dulu, ketika aku memutuskan untuk memilih obstetri dan ginekologi sebagai bidang yang ingin kudalami, aku selalu beranggapan bahwa profesi ini paling keren dibandingkan bidang lainnya. Betapa tidak, sekali kerja, 2 nyawa dapat tertolong sekaligus, nyawa ibu dan bayi. Tak pernah terpikir bahwa kadang harus membuat pilihan sulit ketika harus memilih mengorbankan salah satu demi menyelamatkan yang lain, atau justru malah 2 nyawa yang melayang.

Di bagian kami, dalam sebulan, setiap residen obgyn wajib melakukan 2 kali jaga di akhir pekan (belum termasuk 4 kali jaga di hari kerja). Jaga di akhir pekan adalah jaga panjang, dimulai dari pukul 8 pagi (pada praktiknya residen harus datang setidaknya pukul 6) dan diakhiri pukul 8 pagi keesokan harinya (umumnya molor sampai siang bila banyak pekerjaan yang belum terselesaikan). Sabtu itu adalah jadwalku untuk jaga di IGD sebagai chief. Aku datang lebih pagi hari itu karena Jumat sorenya ketika aku mampir ke IGD sebelum pulang, semua bed IGD terisi penuh dengan pasien-pasien risiko tinggi. Ditambah lagi, entah kenapa di hari jaga itu, mulai Konsulen Jaga, chief, sampai jaga utama ditempati oleh orang-orang yang dicap dan dikenal sebagai “pembawa pasien” dengan kasus-kasus aneh (memang klenik sih, tapi kebetulan di Sabtu itu kasus-kasus menantang menanti kami).

Begitu tiba, aku langsung mendata pasien-pasien risiko tinggi (kata-kata ini tentu bisa sangat relatif bagi tiap orang, definisi untukku adalah kondisi ibu yang bisa menyebabkan kematian). Setidaknya 3 pasien yang membuat produksi adrenalinku bertambah pagi itu, seorang perempuan yang hamil 16 minggu dalam kondisi keto-asidosis diabetikum, dirawat bersama sejawat Penyakit Dalam di ruang resusitasi IGD lantai 1. Kemudian satu pasien pre-eklamsi berat dengan edema paru akut, kondisinya belum begitu stabil setelah dilakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayinya. Dan satu lagi seorang pasien baru yang tiba semalam, hamil 28 minggu dengan kondisi sesak dan sianotik (kebiruan), dicurigai akibat penyakit jantung yang belum diketahui detilnya.

Ketika operan dengan kolegaku, chief jaga semalam, dia menjelaskan sedikit riwayat pasien yang terakhir kusebutkan di atas. Pasien itu dirujuk oleh sebuah RSUD kota satelit ibu kota, yang juga mendapat rujukan dari seorang bidan desa. Pasien itu, berusia 21 tahun, hamil 28 minggu berdasarkan pemeriksaan sejawatku, dengan taksiran berat bayi kurang lebih 1000 gram saat ini. Dia tidak pernah kontrol kehamilan sebelumnya. Dia hanya pergi ke bidan 2 hari yang lalu karena merasa sangat sesak sampai tidak bisa bernapas. Pasien tersebut mengaku tidak pernah menderita penyakit jantung (mungkin lebih tepatnya tidak tahu karena memang tidak pernah periksa ke dokter). Namun dia mengaku bahwa bila beraktivitas sedikit berat seperti berjalan jauh, maka selalu merasa sesak dan biasanya orang-orang di sekitarnya mengatakan bibir dan mukanya tampak kebiruan. Kondisi tersebut sudah dideritanya sejak kecil, namun karena alasan biaya, kedua orang tuanya tidak pernah membawanya ke dokter atau rumah sakit. Clubbing finger di kedua tangannya cukup menjelaskan bahwa memang suatu kondisi penyakit jantung bawaan tipe sianotik mungkin menjadi latar belakang kondisinya sekarang.

Penyakit jantung yang sifatnya kelainan anatomis, kadang dapat dikompensasi oleh seseorang. Bila tidak melakukan aktivitas yang memaksa fungsi jantung maksimal, penderita kelainan jantung mungkin bisa hidup tanpa keluhan berarti (walaupun pada pasien ini ternyata keluhan sebenarnya sudah ada sejak kecil). Kondisinya akan sangat berbeda bila orang tersebut hamil. Dalam kehamilan, maka proses fisiologis seperti peningkatan jumlah cairan dalam tubuh, metabolisme dengan kebutuhan oksigen tinggi, dan lain sebagainya akan menuntut jantung bekerja ekstra. Beban jantung umumnya menjadi tidak bisa dikompensasi lagi dan muncullah berbagai keluhan seperti sesak. Tidak jarang, kondisi kelainan jantung baru diketahui saat hamil karena sebelum itu jantung dapat berkompensasi dan ketika hamil barulah jantung menyerah.

Ketika ronde pagi, kami bahkan tidak bisa mendekati bed pasien itu beramai-ramai. Pasien itu tampak gelisah dan ketakutan ketika kami kerumuni, dan karena monitor menunjukkan frekuensi jantungnya langsung meningkat drastis bila kami mendekat, maka kami menghindari hal tersebut agar jantungnya tidak semakin terbebani. Sungguh miris memandang pasien itu, tubuhnya kurus kering, tampak pucat kebiruan, sesak tersengal-sengal berusaha menghirup oksigen dari sungkup, namun saturasi oksigen yang terekam di monitor tak pernah lewat dari 78%. Yang menarik, saat itu kondisi bayi yang dikandungnya cukup baik. Pertumbuhannya sesuai dengan usia kehamilannya, dan rekaman jantung bayi baik menunjukkan oksigenasi baik meskipun jantung si ibu kesulitan mencukupi pasokan untuk dirinya sendiri.

“Jangan lupa kejar trainee dari PJT untuk segera datang dan melakukan echocardiography yaa..!!” instruksiku pada seorang junior yang sebelumnya kutugasi untuk menghubungi PJT (Pelayanan Jantung Terpadu, suatu unit tersendiri di rumah sakit kami yang menangani pasien-pasien dengan penyakit jantung). “Sudah saya telpon mbak, tapi kata orang administrasinya, pasien mesti bayar 600 ribu di muka, soalnya kan echo-nya mau dikerjakan di sini. Suami pasien belum datang, yang nunggu di depan itu cuma ibunya, ga punya uang sepeser pun...” jelas juniorku panjang lebar. Sambil tersenyum manis dan bernada merayu, kualihkan pandanganku pada seorang perawat senior IGD kami, “Kak, bantu urusin dong surat-surat pasien itu biar cepet beres. Mesti echo sekarang juga nih. Kalo enggak, kita ga bisa tau kondisi jantungnya dan mau diapain pasiennya nanti.” Umumnya, pasien tidak mampu bisa mendapat keringanan biaya pelayanan medis di rumah sakit kami asal surat-suratnya lengkap.

“Yaelah Dok, suaminya aja belum dateng... Boro-boro surat, KTP aja kagak punya tu pasien. Gimana mau bikin surat jaminan biar dapet keringanan?” jelas perawat itu sambil mengangkat bahu. Nah, biarpun ada mekanisme keringanan, tapi berbagai dokumen yang diminta umumnya sulit dipenuhi oleh pasien, termasuk KTP dan kartu keluarga. “Dia ga punya KTP Jakarta Dok, apalagi KK Jakarta. Dia aslinya dari kampung di Jawa. Pindah ke Bekasi karena ikut suaminya yang kerja jadi buruh pabrik di situ” sambungnya. “Jadi gimana dong, masak ga kita apa-apain pasiennya kalo ga punya surat-surat?”, tanyaku. Sambil mengangkat bahu, sejawat perawatku itu menjawab, “Ya mesti ngurus dululah KTP Jakartanya”. Halaaaahhhh, sampai lebaran kodok juga urusan birokrasi dan administrasi ini tidak akan beres. “Hubungi MOD aja kalo enggak Dok, tapi kayaknya dia belom datang sih jam segini kalo hari libur”, sambungnya untuk menelpon manager on duty rumah sakit kami yang biasanya tetap menyarankan jalur biasa untuk pengurusan surat-surat keringanan yang bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, or as long as needed.


“Na, udah kita urunan aja deh buat echo pasien itu ya. Tarikin semua anggota tim jaga iuran buat bayar ke PJT sekarang. Kalo udah terkumpul uangnya, jemput sekalian ke PJT alat echo dan trainee cardio-nya. Kita nggak punya banyak waktu ngurusin administrasi kayak gini. Waktu kita mending buat ngurusin pasien...” instruksiku pada juniorku yang tadi. Di antara residen di rumah sakit ini, residen obgin terkenal paling tak sabaran dan tak toleran dalam hal menunggu. Dan setiap 15 menit kemudian, aku selalu berkicau mengingatkan juniorku itu untuk tetap menelpon PJT karena dokter dan alat yang kami nantikan belum juga tiba. Bila kami tidak bisa menetapkan masalah apa yang diderita jantungnya, tidak banyak yang bisa kami lakukan bukan?

“Mbak, trainee cardio-nya udah datang tadi. Dia periksa, tapi dia bilang harus konsul dulu sebelum dia bisa jawab surat konsul kita...” lapor juniorku saat aku keluar dari kamar operasi setelah melakukan satu seksio. “Telpon lagi deh ke sana, bilang kita minta keputusan pasiennya harus diapakan? Harus diterminasi sekarang nggak kehamilannya? Terus mau diapain pasiennya?” seruku gemas. Untunglah sebelum kesabaranku habis, datang trainee senior cardio yang kemudian memeriksa ulang pasien itu dengan seksama.

“Prognosisnya buruk nih, Mbak...”, begitu kalimat pembukanya ketika aku dengan muka bertanya menanti trainee senior itu mengisi surat konsul yang kami kirimkan sejak pagi tadi. “Saya rasa ini ASD, tapi sudah sampe terjadi hipertensi pulmonal dan Eissenmenger syndrome. Susah ditentukan hanya dengan echo biasa, mesti TEE...”, jelasnya. ASD (atrial septal defect, ada celah pada sekat yang memisahkan kedua serambi jantung kiri dan kanan) adalah suatu kelainan bawaan, menyebabkan bercampurnya darah “bersih” dan darah “kotor” jantung, dan berkomplikasi tingginya tekanan darah di paru-paru yang menyebabkan jantung semakin sulit memompa darah ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang masuk. Itulah sebabnya pasien itu tampak kebiruan, darah yang beredar di tubuhnya kurang mengandung oksigen, justru lebih kaya karbon dioksida. Rasanya tak mungkin juga melakukan TEE (trans esophageal echocardiography) pada pasien ini, kondisinya buruk dan tidak mungkin dimobilisasi.

“Jadi, mesti diapain nih kehamilannya Dok?”, tanyaku. “Hmmm, kalau sudah begini sih, kemungkinan survive nya saya rasa tak lebih dari 10%. Tidak hamil saja saya rasa segitu, kalau hamil ya Mbak tau sendirilah...”, jawabnya menggantung. “Ini baru 28 minggu Dok, beban cairan masih akan terus bertambah dan mencapai maksimal di 32 minggu kehamilan. Kalau misalnya dilahirkan, nanti back flow nya gimana?” jelasku, juga mengingatkan bahwa bila seorang ibu hamil melahirkan, maka sejumlah besar cairan yang mengalir dari rahimnya yang mengecil karena isinya sudah keluar semua akan mengalir balik ke jantung dan menjadi beban luar biasa secara tiba-tiba bagi jantung, dikenal sebagai back flow.

“Ya justru itulah mengapa saya bilang prognosisnya buruk. Mau ditunda atau dilahirkan sekarang, tidak ada pengaruhnya Mbak...” ujarnya kembali menggaris bawahi kalimat pembukanya tadi. “Saya rasa pasien ini harus dirawat di ICU Mbak, ga bisa di sini... Mesti diobservasi ketat”, jelasnya sambil menyerahkan jawaban surat konsul kami. “Bila perburukan sewaktu-waktu, saya rasa ada tempatnya bayinya segera dilahirkan untuk mempermudah resusitasi nantinya, walaupun mungkin komplikasi back flow akan sangat berat...” jelasnya yang membuatku semakin garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Akhirnya menjelang sore, suami pasien itu datang juga ke IGD. Rupanya, hari itu giliran shift nya sebagai sorang buruh pabrik kertas di suatu daerah industri, lumayan jauh dari rumah sakit kami. Aku memanggil suami dan ibu pasien itu untuk menerangkan kondisi istrinya itu. Aku yakin sangat sulit bagi mereka mencerna apa yang kujelaskan, namun ketika kujelaskan bahwa harapan hidupnya mungkin kecil mengingat kondisinya saat ini, dan kehamilan serta persalinan bisa membuat jantungnya berhenti bekerja sewaktu-waktu, suami dan ibu pasien itu tampak terkejut.

“Saya berani sumpah Dok, saya nggak tau istri saya punya sakit jantung... Kalo saya tau, dan tau bahwa istri saya itu sebenernya ga boleh hamil, pasti ga akan gini kejadiannya...”, jelas si suami dengan nada penuh penyesalan. “Saya percaya kok, Pak...Bukan salah Bapak, bukan salah siapa-siapa...”, jawabku berusaha menenangkan. Aku juga menenangkan si suami yang bingung ketika kumintai ijin mengirim istrinya itu untuk dirawat di ICU. “Aduh Dokter, ini aja saya cuma nitip KTP di kasir... Gimana kalo mau dirawat di ICU? Duit buat bayarnya dari mana entar?” tanyanya kebingungan dan panik. “Kami yang urus semuanya Pak..!!” jawabku meyakinkan. Aku sudah menelpon Koordinator Pelayanan Medik departemen kami dan bagian keuangan rumah sakit, meminta jaminan pelayanan untuk pasien itu. Jadi kami bisa fokus manangani masalah medis pasien dan menyerahkan urusan administrasi pada yang berwenang.

Begitu pasien itu dipindahkan ke ICU yang letaknya satu lantai di bawah IGD kami, aku langsung ikut turun ke bawah memastikan bahwa semua instruksi dari sejawat kardiologi sore tadi dijalankan semua di ICU. Ruang ICU memiliki fasilitas dan peralatan jauh lebih lengkap dibandingkan ruang rawat kami dan laboratorium juga berlokasi di lantai yang sama. Mereka memiliki mesin X-ray sendiri, sehingga pasien tidak perlu dimobilisasi ke departemen radiologi bila perlu dilakukan foto ronsen, seperti pasien tersebut. Mesin X-ray portable itu tinggal didorong ke atas bed pasien, dan pasien tinggal diposisikan untuk difoto.

Saat aku beranjak akan kembali ke lantai 3 tempat IGD obgin berada, tiba-tiba seorang perawat ICU memanggilku. Aku kembali ke bed pasien itu dan si pasien dengan nafas tersengal-sengal berkata dengan takut dan panik, “Saya ga mau dironsen, ronsen bisa bahaya buat bayi saya...!! Dokter, tolong bawa pergi alat ini, pokoknya saya ga mau dironsen...”. Susah payah aku menjelaskan padanya, “Ibu tenang aja, ronsen yang ini aman kok buat bayi ibu, kan dia udah cukup besar sekarang. Lagian dosis ronsen untuk foto dada aja aman kok. Ini demi keselamatan Ibu. Kami harus foto ronsen dada ibu supaya bisa lihat kondisi jantung dan paru-paru Ibu, dan kemudian mengobati Ibu”, bujukku. “Dokter bohong...!! Ronsen ini bahaya buat bayi saya. Pokoknya saya nggak mau dironsen. Biarin saya ga usah diobatin, biarin saya mati, asal bayi saya selamat...” lanjutnya lagi terbata-bata dan tersengal-sengal. Monitor di sebelah pasien itu mulai mengeluarkan bunyi alarm berisik karena frekuensi nadi yang terekam mulai meningkat dan saturasi oksigen pasien itu semakin menurun. Melihat gelagat buruk di monitor, akhirnya aku memberi isyarat petugas radiologi ICU memindahkan lagi alat X-ray dari bed pasien itu dan mengikuti permintaannya. “Baiklah, tidak usah ronsen sekarang Bu. Ibu istirahat saja dulu di sini ya...”kataku mengakhiri perdebatan agar jantung pasien itu tidak gagal sekarang gara-gara bekerja ekstra memompakan oksigen hanya demi berdebat menolak pemeriksaan ronsen dada (walaupun kami sangat membutuhkan pemeriksaan tersebut untuk mengevaluasi kondisi jantung dan paru-parunya).

Pasien dengan ASD berkomplikasi hipertensi pulmonal dan sindrom Eissenmenger yang bisa hamil sampai usia kehamilan cukup besar seperti pasien ini sangat jarang. Di tempat kami yang rujukan nasional saja, hanya pernah ada 3 atau 4 kasus dalam 5 tahun terakhir, dan semua berakhir dengan kematian ibu. Satu kasus ketemui sendiri 1 tahun sebelumnya. Waktu itu pasiennya datang dengan hamil cukup bulan dan sudah masuk dalam fase aktif persalinan. Seketika itu semua tim lengkap dari obgin, kardiologi, anestesi bersiap siaga mendampingi proses persalinannya secara painless labour. Kondisi masih terkontrol sampai saat bayi dilahirkan dengan ekstraksi forseps, kemudian plasenta dilahirkan secara manual. Begitu plasenta lahir dan rahim berkontraksi baik menyetop aliran darah, maka proses back flow dimulai. Dalam hitungan detik saturasi oksigen pasien itu terus menurun dan walaupun kolega anestesi dan kardiologi melakukan semua yang mereka bisa, saturasi terus menurun. Tak kurang dari 5 konsultan dan 10 residen obgin, anestesi, dan kardiologi, tak bisa berbuat banyak menaikkan saturasi oksigen dan membuat jantung pasien itu berdenyut. The nature took it course, dan pasien itu meninggal di hadapan kami semua sepuluh menit setelah melahirkan bayinya yang sehat dan menangis kuat.

Saat berdiskusi dengan kolegaku sejawat perinatologi mengenai kemungkinan survival bayi pasien itu yang saat ini berusia 28 minggu dan taksiran beratnya sekitar 1000 gram, sejawatku menyatakan chance bayi itu cukup baik untuk bisa hidup bila memang dia tak berada dalam kondisi hipoksia saat ini dalam rahim. Well, sulit untuk mengatakan demikian, sang ibu saja sudah jelas hipoksia. Tentu janin yang dikandungnya juga demikian adanya karena toh dia mengandalkan pasokan oksigen dari ibunya. Sempat terlintas untuk melahirkan saja janinnya sekarang sebelum kondisi hipoksia berkepanjangan terjadi pada janinnya, mungkin si bayi bisa ditolong, sedangkan si ibu seperti sudah dibahas sebelumnya hanya memiliki chance kecil untuk bisa survive, regardless of when and what would be done. Tapi tentu ini menyalahi diktum obstetri, di mana keselamatan ibu selalu didahulukan daripada janin yang dikandungnya. Melahirkan bayinya sekarang ibarat membuka pintu bendungan dan menginisiasi banjir bandang yang meluluh-lantakkan jantung pasien itu.

Akhirnya malam itu dilewatkan dengan status quo untuk pasien tersebut. Kondisinya tetap sama sampai keesokan harinya. Kami merencanakan suatu urgent clinical meeting bersama kardiologi, anestesi, dan perinatologi untuk membahas bersama apa yang terbaik untuk dilakukan terhadap pasien tersebut. Namun sayang, kemudian aku mendapat berita dari tim jaga selanjutnya bahwa kondisi pasien itu tiba-tiba memburuk di ICU. Dilakukan operasi seksio sesarea emergency untuk mempermudah resusitasi ibu. Ternyata bayinya juga telah mengalami hipoksia berkepanjangan dan tidak dapat ditolong lagi. Sedangkan jantung sang ibu menyerah pada back flow pasca persalinan tidak lama setelah operasi, seperti sudah kami duga sebelumnya. Kembali terlintas di benakku, kalau saja kami langsung lahirkan bayinya malam itu, mungkin si bayi masih dapat ditolong dan keinginan si ibu untuk menukar nyawanya demi si bayi dapat terpenuhi.

Aku yakin pasien itu tak pernah melafalkan sumpah “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” seperti kami para dokter. Tapi mungkin sumpah itu otomatis mengalir dalam pembuluh nadi setiap calon ibu, selalu terhirup dalam setiap tarikan nafas perempuan yang bercita-cita menimang bayinya.

Watford, 24 Desember 2012

*untuk Ibuku, perempuan sederhana berhati baja, pembakar tungku semangat, pengalir kasih tak mengharap pamrih...yang hari ini genap berusia 58 tahun

MENITI BATAS (bag 1)

(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”...

Sepenggal kalimat di atas adalah salah satu butir dari naskah Sumpah Dokter yang wajib diucapkan oleh setiap lulusan pendidikan dokter di Indonesia. Diinspirasi dari Hippocrates Oath, yang kemudian juga diratifikasi dari Deklarasi Jenewa pada tahun 1948, kalimat asli yang dipopulerkan lebih dari 2.500 tahun yang lalu itu berbunyi, “I will not give a woman a destructive pessary”. Kalimat ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara berbeda-beda di seluruh belahan dunia.

Bagi kelompok yang menamakan dirinya “pro-life”, kalimat tersebut merupakan argumen bahwa tindakan aborsi, atau terminasi/pengakhiran kehamilan sebelum waktunya adalah suatu tindakan yang melanggar sumpah profesi. Di sisi lain, mereka yang menyebut dirinya “pro-choice” menginterpretasikan kalimat ini dengan konteks yang berbeda. Jaman Hippocrates hidup, tindakan aborsi dibolehkan secara hukum. Namun tindakan melakukan aborsi menggunakan “pessary” (alat atau bahan yang dimasukkan ke dalam vagina dan leher rahim untuk membuka jalan lahir secara paksa) ternyata menimbulkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa perempuan waktu itu. Jadilah mereka melakukan tindakan aborsi dengan menggunakan ramuan obat Yunani kuno yang dimakan atau diminum secara oral, dan melarang penggunaan “pessary”.

Bukan hanya sekedar menjadi isu politik saat kampanye di hampir setiap negara, masalah aborsi atau terminasi kehamilan ini juga merupakan isu etikolegal yang tak kunjung habis dibahas. Sepanjang pendidikan dokterku di Indonesia, kami menerima bahwa tindakan aborsi adalah tindakan melanggar hukum (juga agama, norma sosial, serta budaya), kecuali pada beberapa kondisi tertentu di mana kehamilan dapat mengancam nyawa perempuan. Namun di Inggris, negara tempat tinggalku sekarang, aborsi atau terminasi kehamilan sebelum usia kehamilan 24 minggu legal secara hukum bila memenuhi syarat-syarat berikut ini : terdapat alasan/kondisi personal, kehamilan tersebut mengancam kesehatan/nyawa perempuan, atau janin yang dikandung menderita cacat bawaan. Pada praktiknya, setiap perempuan berhak atas layanan “termination of pregnancy” (TOP) bila memutuskan ingin mengakhiri kehamilannya sebelum usia 24 minggu, dengan alasan apa pun. Di sisi lain, bila seorang perempuan memutuskan untuk melanjutkan kehamilannya, bahkan bila mengancam kesehatannya atau janin yang dikandungnya menderita defek atau cacat bawaan berat, maka NHS (National Health Services, sistem pelayanan kesehatan di Inggris) berkewajiban untuk menjamin layanan kesehatan yang memadai selama kehamilan, persalinan, dan tumbuh kembang si bayi kelak (tentu dengan beberapa perkecualian).

Di negara ini, diagnosis pre-natal untuk menapis kelainan atau cacat bawaan janin dikerjakan begitu agresif dan menjadi bagian dari layanan rutin kehamilan (tentu semuanya gratis). Bila ditemukan kondisi janin yang diperkirakan akan menyebabkan kecacatan atau kelak dia tidak akan bisa hidup mandiri, dan si perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya, maka layanan TOP siap melakukan tugasnya. Salah satu alasan pemerintah menyediakan anggaran begitu besar untuk layanan diagnosis pre-natal ini ternyata adalah karena anggaran yang harus mereka sediakan untuk memberikan layanan bagi anak-anak yang terlahir dengan kondisi “istimewa” ini ternyata jauh lebih besar lagi. Lain halnya di Indonesia yang umumnya semua harus “out of pocket” sendiri, maka orang tualah yang harus memikirkan semua hal tersebut sendiri.

Selama 6 minggu aku berkesempatan melakukan “clinical attachment” di suatu sentra pre-natal diagnostic and fetal medicine yang berlokasi di ibu kota negara ini tahun lalu, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka begitu agresif melakukan diagnosis pre-natal. Tempat ini merupakan sentra layanan kesehatan yang sangat terkemuka, menerima rujukan pasien bukan hanya dari seantero Inggris, namun juga dari negara-negara Eropa daratan, untuk diagnosis pre-natal maupun prosedur invasif intra uteri (pembedahan terhadap janin di dalam kandungan ibunya). Dokter yang mendalami bidang ini juga datang dari berbagai belahan dunia untuk belajar di tempat itu.

Pagi itu aku memilih belajar di ruangan “twin scan” dari 12 ruangan USG dan prosedur yang ada. Umumnya satu ruangan diisi oleh seorang senior clinical fellow, seorang junior clinical fellow, dan satu observer seperti diriku. Setiap ruangan sudah memiliki daftar pasien yang akan datang di hari itu, dan di ruangan “twin scan” setiap pasien dialokasikan waktu sekitar 45 menit untuk pemeriksaan USG yang sangat mendetail. Konsultan harian yang bertanggung jawab akan stand-by di ruangannya, siap memberi bantuan bila terdapat kesulitan.

Setelah pasien kelima selesai diperiksa, aku berniat keluar ruangan untuk mencari udara segar (dan mengistirahatkan mata karena di dalam ruang pemeriksaan lampu harus dimatikan dan pemanas ruangan beroperasi maksimal). Di tempat ini, tidak dikenal istilah “lunch-break”, apalagi “morning coffee or tea-break”. Bila kaki pegal karena seharian harus berdiri dan perut lapar karena sampai jam 7 malam tidak sempat makan, maka itu dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk bisa belajar. Namun posisi observer sepertiku tentu lebih fleksibel karena tidak dibebani tanggung jawab pelayanan, sehingga biasanya bila merasa hipoksia di dalam ruang pemeriksaan, aku dan para observer lainnya atau clinical fellow akan keluar dan mencari udara segar di gang yang memisahkan ruang pemeriksaan satu dan lainnya.

Begitu aku keluar, seorang sejawat junior clinical fellow baru dari Brazil berpenampilan seperti aktor telenovela juga sedang keluar dan menutup pintu dengan tulisan “invasive room” tepat di depan ruanganku. “Hi...” sapanya, dan sambil mengambil posisi berdiri yang nyaman di gang, dia melanjutkan, “Will we have some interesting procedures today?” tanyanya. “Hi..” jawabku sambil tersenyum, “I guess so. We’ll have one laser procedure for twin to twin transfusion syndrome case and one balloon removal on diaphragmatic hernia case” jawabku. “Good...” jawabnya sambil tersenyum senang. “Guess what is happening in there now”, katanya sambil menunjuk ke arah ruangan dengan papan bertuliskan “invasive room” tempat dia sebelumnya berada tadi. “How should I know...” jawabku sambil mengangkat bahu. “Well, you should know why they sent me out of the room..” jawabnya sambil nyengir penuh kemenangan.

Di sini, sebisa mungkin setiap fellow mendapat paparan terhadap berbagai kasus dan tindakan sebanyak mungkin. Artinya, bila ada tindakan yang dilakukan dengan seminimal mungkin orang yang terlibat, berarti prosedur itu pasti terminasi kehamilan. Pada prosedur ini, biasanya hanya boleh dihadiri oleh si pasien dan pendampingnya, fellow yang melakukan prosedur itu, serta konsultan yang bertanggung jawab. Sisanya akan diminta keluar dari ruangan dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut biasanya sangat emosional bagi pasien (padahal bila aku ada di situ, tentu juga akan menjadi sangat emosional dan personal bagiku).

Sejawat fellow tadi kemudian menceritakan pasien yang sedang menjalani prosedur di dalam ruangannya. Seorang perempuan yang hamil anak pertama, dan dari pemeriksaan “screening” atau penapis, didapatkan bahwa risiko janin yang dikandungnya itu menderita Down Syndrome cukup besar, 1 : 20. Belum lagi ditambah bahwa dari pemeriksaan USG, nasal bone (tulang hidung) nya tidak ditemukan padahal usia kehamilannya sudah hampir 23 minggu, walaupun tidak ditemukan kelainan struktur anatomi yang lain. Sentra ini memiliki program komputer sendiri (dan juga digunakan di seantero Inggris) untuk menghitung risiko tersebut yang mengkombinasikan hasil pemeriksaan beberapa kadar hormon dalam darah ibu dan beberapa parameter pemeriksaan USG. Down Syndrome sebenarnya bukan kelainan yang letal (mematikan) bagi janin, tergantung dari varian mana yang diderita janin, biasanya bayi yang lahir nantinya akan menderita keterbelakangan mental, gangguan pada beberapa organ, gangguan tumbuh kembang, dan lain sebagainya. Singkatnya, walaupun sebenarnya semua hasil pemeriksaan itu sudah ada sejak beberapa minggu lalu, si pasien menolak untuk dilakukan tindakan diagnosis invasif untuk mengambil sel janin dan melakukan studi kromosom untuk membuktikan apakah memang si janin menderita Down Syndrome. Pasien itu kemudian menghilang, dan baru kembali kontrol dengan keputusan ingin mengakhiri kehamilannya sekarang.

Di sentra ini, protokol untuk mengakhiri kehamilan agak berbeda dengan tempat lain. Umumnya, pengakhiran kehamilan dilakukan dengan membuka jalan lahir, sehingga otomatis janin akan keluar. Cara ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi obat-obatan yang memang akan melunakkan jalan lahir dan menciptakan kontraksi rahim sehingga janin lahir, atau pada usia kehamilan yang kecil maka cukup dilakukan pemasangan alat semacam “pessary” dan dilanjutkan dengan kuret untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Tapi di tempat ini, mereka melakukan penyuntikan larutan KCl konsentrasi tinggi ke jantung janin dengan panduan USG, sehingga jantung janin akan berhenti berdenyut dan janin mati. Setelah janin mati, umumnya dalam beberapa hari atau minggu dia akan keluar/lahir dengan sendirinya. Terdengar sangat sadis, tapi ternyata mereka memiliki alasan tersendiri mengapa cara ini yang dipakai.

Hukum di Inggris mengatur bahwa setiap bayi yang lahir di atas usia kehamilan 23 minggu wajib mendapat resusitasi maksimal untuk tetap bertahan hidup, melibatkan fasilitas perinatologi canggih dan obat-obatan bernilai ribuan pounsterling. Jadi bila pengakhiran kehamilan dilakukan pada usia kehamilan borderline seperti itu, bayi yang lahir hidup harus mendapatkan resusitasi maksimal (padahal terminasi kehamilan diputuskan karena si bayi dinilai “tidak layak hidup” oleh orang tuanya). Maka untuk menghindari kontroversi semacam ini, sentra ini memilih untuk “mematikan” dulu si janin, sehingga saat kemudian lahir tidak perlu melanggar hukum dengan tidak melakukan resusitasi. Mungkin aku yang terlalu bodoh, sensitif, atau take it personally, tapi logika-logika semacam ini tidak bisa dicerna oleh otakku.

“What procedure will you have next?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang membuat dadaku ngilu itu. “Owh, we will put a chest shunt right after this one...” jawab kolegaku itu dengan semangat. Dia menjelaskan kasus tersebut, seorang perempuan berusia 20 tahun yang dikirim dari kota lain karena janinnya menderita cacat multipel. Didapatkan kelainan struktur pada jantung janinnya, dan belakangan didapatkan bahwa rongga dadanya terisi cairan (efusi) yang menyebabkan kedua paru-paru janin itu tidak dapat tumbuh dan berkembang sempurna. Hal ini masih ditambah dengan sebagian usus janin yang berada di luar tubuhnya (gastroschisis). Sebenarnya dicurigai bahwa kondisi ini dilatarbelakangi oleh kelainan kromosom, namun si ibu menolak melakukan pemeriksaan yang lebih invasif karena berkeras bahwa apa pun hasilnya, dia akan tetap melanjutkan kehamilannya dan menuntut perawatan maksimal untuk bayinya kelak. “Can I join you guys for that procedure”, tanyaku yang belum pernah melihat prosedur ini dikerjakan. “Why not?” jawabnya sambil melambaikan tangannya padaku mengajak masuk segera ke ruangan itu sebelum dipenuhi oleh fellow lain yang juga ingin menonton prosedur itu.

Chest shunt yang dipasang itu digunakan untuk mengalirkan cairan yang terakumulasi di rongga dada si janin ke ruang amnion, memberi kesempatan agar paru-parunya dapat berkembang. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa paru-paru yang tumbuh mnegembang dan berfungsi baik kan? Prosedur itu dilakukan sendiri oleh seorang professor yang saat itu menjabat sebagai direktur unit fetal medicine tersebut. Begitu selesai melakukan prosedur tersebut dengan panduan USG, dia menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan oleh si pasien. Bahwa nantinya dia harus bersalin di rumah sakit ini, karena memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik. Dia juga menginstruksikan seorang senior fellow untuk mengatur waktu persalinannya kelak, berkoordinasi dengan neonatologist, pediatric surgeon, pediatric cardio-thoracic surgeon, menyediakan inkubator bayi dengan ventilator khusus, dan lain sebagainya untuk menunjang kehidupan dan mengkoreksi berbagai kelainan yang diderita si bayi. Sayang aku tak tahu bagaimana nasib si bayi setelah dilahirkan kemudian, tapi setidaknya aku merasa bekerja dengan para dokter (yang memang niatnya menolong dan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkan nyawa). Meski kemungkinan bayi itu bisa bertahan hidup dengan berbagai cacat organ vital yang dideritanya relatif kecil, toh usaha “ngeyel” mereka patut diacungi jempol.

Ketika dulu aku melafalkan sumpah dokter ini, tak pernah terbayang ternyata memang sangat berat mengemban dan merealisasikan isinya. Apalagi ketika menemui kasus-kasus yang berada pada “grey-area” yang ternyata sangat banyak di dunia kedokteran, termasuk bidang obstetri dan ginekologi yang kudalami.

Siang itu suasana Poliklinik Obstetri hampir mirip Bursa Efek Jakarta saat IHSG naik dan para pialang riuh rendah berusaha menjual saham, panas dan berisik... Bedanya mungkin di BEJ, udara ruangan tetap dingin karena air conditioner berfungsi sebagaimana mestinya. Poli hari ini begitu panas karena jumlah pasien dan kapasitas ruangan sungguh tidak sesuai, ditambah lagi air conditioner di semua ruangan mogok bekerja akibat usia tua tanpa maintenance semestinya. Kumpulan ibu-ibu hamil dengan metabolisme berlipat yang menghasilkan ekstra panas juga berkontribusi menambah parahnya suasana, belum lagi mungkin banyak di antaranya yang tidak sempat mandi di pagi hari karena harus menembus kemacetan dan antri pagi-pagi sebelum loket pendaftaran dibuka.

“Mbak, konsul dong...”, tegur seorang juniorku memecah konsentrasiku yang sedang tekun menulis resume-resume pasien ginekologi untuk dikirim operasi. “Kenapa?”, tanyaku sambil melipat rekam medis di hadapanku dan bangkit dari duduk mengikuti juniorku itu ke ruang periksanya. “Pasienku hamil 16 minggu, anensefali, tapi dia menolak diterminasi Mbak,” jelasnya singkat sambil membuka pintu ruang periksa.

Di dalam ruang periksa, sudah menanti sepasang suami istri yang tampak galau dan bingung. Mereka sudah menikah selama 5 tahun, sang istri sudah pernah 2x hamil sebelumnya. Kehamilan pertamanya berakhir dengan keguguran pada usia kehamilan 14 minggu. Kemudian kehamilan keduanya diakhiri dengan operasi sesar karena bayinya menderita spina bifida, suatu kelainan di mana terdapat gangguan pembentukan saraf-saraf dan tulang belakang. Rencananya si bayi akan dirujuk setelah dilahirkan secara sesar ke rumah sakit yang bisa melakukan operasi koreksi spina bifida itu, namun sayang, belum sempat dirujuk, si bayi meninggal karena sepsis (infeksi menyeluruh yang menyebabkan kegagalan berbagai organ). Dan di kehamilan yang ketiga ini, pasien itu dirujuk ke tempat kami karena didapatkan janinya menderita anensefali (suatu kondisi di mana sebagian besar otak dan tempurung tengkorak tidak terbentuk, merupakan kelainan yang bersifat letal atau mematikan karena manusia tidak mungkin hidup tanpa otak). USG konfirmasi di tempat kami juga setuju dengan pemeriksaan USG perujuk sebelumnya, bahwa janin yang dikandung pasien itu memang menderita anensefali.

“Bagaimana kabarnya Pak, Bu,... “ sapaku sambil tersenyum ramah kepada mereka, berusaha mencairkan suasana. Bukan menjawab sapaanku, sang istri malah mulai menangis terisak-isak dan si suami mulai salah tingkah sibuk menenangkan istrinya. “Dokter, memangnya ga ada cara ya nolong anak saya? Emang ga bisa dioperasi gitu otaknya nanti kalo udah lahir? Kenapa mesti dilahirin sekarang aja? Tolong diusahakan Dokter, kami udah nunggu bertahun-tahun untuk bisa punya anak yang sehat...” berondong si suami sambil merangkul istrinya yang masih terisak-isak.

Dengan sangat berempati aku berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa kelainan seperti ini tidak bisa dikoreksi, pengetahuan dunia kedokteran belum sampai bisa menumbuhkan otak yang tidak terbentuk seperti pada janin mereka. Kalaupun si janin tetap hidup di dalam kandungan sampai cukup bulan, saat setelah dilahirkan nanti, ketika dia harus mandiri mengatur sistem penunjang kehidupannya seperti pernafasan dan jantung (yang semua tentu harus diatur oleh otak), maka tidak lama biasanya bayi akan meninggal juga.

Pada kasus mereka, si istri sudah memiliki riwayat sekali operasi sesar. Artinya, bila melahirkan kelak, ada risiko lebih bila dibandingkan dengan perempuan yang rahimnya tidak pernah dilukai. Persalinan janin cukup bulan dengan anensefali umumnya sulit, karena struktur kepala tidak sempurna, maka persalinan bisa menjadi lama dan kadang harus melalui berbagai manuver untuk melahirkan bayi. Bagian otak bayi yang juga berperan dalam mengatur persalinan tidak ada, sehingga biasanya persalinan semakin sulit. Kondisi ini semakin kompleks karena bekas luka di rahim ibu berisiko robek bila persalinan lama, sulit, atau menggunakan manuver-manuver tertentu. Di sisi lain, bila sampai harus melakukan operasi seksio sesar lagi, maka tentu si ibu akan menanggung risiko persalinan lebih besar, padahal bayi yang dilahirkan mungkin umurnya akan hanya beberapa jam atau hari.

Prinsip “do no harm” lah yang kami utarakan kepada mereka ketika mengajukan alternatif untuk melahirkan bayinya sekarang, saat masih kecil, mudah keluar dan risiko robekan rahim kecil sehingga aman untuk ibu. Pikir kami sebagai dokter waktu itu adalah “the risks are not worth taking for a poor prognosis baby”. Aku juga jelaskan bahwa kelainan seperti spina bifida dan anensefali biasanya disebabkan oleh kurangnya kadar dan konsumsi asam folat ibu, sehingga kehamilan berikutnya harus benar-benar direncanakan dengan baik agar tidak terulang lagi.

Tiba-tiba sambil sesenggukan, si istri memotong penjelasanku, “Saya tidak mau kehamilan saya diakhiri sekarang Dokter..!! Dokter bisa aja salah diagnosis kan..?! Saya mau merasakan bayi saya nendang-nendang di dalam perut... Saya mau gendong dan peluk bayi saya nanti kalo dia sudah lahir. Biarpun ternyata umurnya cuma sebentar, biarpun cacat dan jelek, tapi dia anak saya, Dokter...!! Biarpun saya harus sesar lagi, biarpun saya harus menanggung risiko dan mempertaruhkan nyawa saya, saya mau bayi saya tetap dipelihara dan dirawat seperti bayi normal lainnya...!!” serunya penuh emosi. Aku tertegun mendengar kalimat-kalimat pasien itu yang begitu emosional, namun sisi keibuanku secara tidak sadar setuju juga dengan sebagian kalimatnya.

Dan pasien itu masih melanjutkan, “Lagian Dokter ini manusia juga kan? Bukan Tuhan? Apa hak Dokter mengakhiri hidup bayi saya sekarang? Emangnya Dokter bisa menjamin kalo saya gugurkan kandungan sekarang, saya pasti akan bisa hamil lagi nantinya? Apa Dokter bisa pastikan, kalo saya ngikutin saran Dokter minum folat, maka pasti bayi saya nanti nggak cacat? Apa Dokter bisa...??!!” cecarnya menuntut.

Yaaaa...kami yang dokter ini jelas-jelas manusia juga. Kami tak punya kuasa apa-apa selain setitik ilmu yang kami miliki. Tak pantas kami dibandingkan dengan Tuhan, dan tak mungkin kami mendahului kuasa Nya. Sungguh ada batas yang jelas antara makhluk dan penciptaNya. Tapi terkadang, batas itu tersamar, entah karena keangkuhan manusia, atau justru karena kebodohannya...

*to be continued..

Watford, 19 Desember 2012

Mahkota Perempuan

Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG

Bila ditanya organ apa yang paling unik dan ajaib di tubuh seorang perempuan, aku yakin jawabannya adalah rahim. Untukku yang hidup di dunia obstetri dan ginekologi selama 5 tahun terakhir, rahim bukan hanya sekedar unik dan ajaib. Bayangkan, rahim yang dalam keadaan normal ukurannya tak lebih dari kepalan tangan orang dewasa, bisa membesar hampir seribu kali lipat untuk memberi ruang seorang bayi seberat rata-rata 3 kg, plasenta (ari-ari) seberat 500 gram, dan air ketuban sebanyak 1 liter. Itu kalau hamilnya tunggal, kalau multipel atau bayinya besar atau cairan ketuban berlebih, tentu rahim mesti melar lebih besar lagi.

Perkembangan teknologi reproduksi sekarang sudah bisa mengambil alih fungsi beberapa organ yang terganggu dan menyebabkan seseorang susah atau tidak bisa hamil dan memiliki keturunan. Bayi tabung misalnya, yang beken juga dengan istilah fertilisasi in vitro, merupakan serangkaian proses rumit teknologi reproduksi berbantu yang mempertemukan sel telur dan sel sperma pasangan di luar tubuh, dan kemudian mengembalikan hasil pembuahannya ke rahim perempuan untuk tumbuh. Namun hingga saat ini, belum ada teknologi yang bisa menggantikan rahim sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya seorang calon manusia. Jangankan membuat alat dengan fungsi yang sama, proses fisiologis bagaimana terjadinya fertilisasi (pembuahan sel telur oleh sperma), implantasi (menempelnya calon janin ke rahim), dan tumbuh kembang janin dalam rahim saja masih merupakan teka-teki bagi umat manusia.
Tak heran bila kemudian perempuan menjadikan rahim sebagai salah satu mahkota kewanitaannya (selain rambut tentunya).

Namun demikian, tidak semua perempuan dianugerahi rahim fungsional sepanjang hidupnya. Ada yang memang dari "sono" nya ditakdirkan Sang Pencipta untuk tak pernah memiliki rahim, ada juga yang terpaksa kehilangan rahim di tengah perjalanan hidupnya. Selama 5 tahun terakhir ini, entah sudah berapa perempuan yang ku"pancung" rahimnya. Ternyata, operasi pengangkatan rahim, yang lazim dikenal sebagai histerektomi, adalah jenis tindakan operasi yang paling banyak dilakukan di Amerika Serikat, mungkin juga di tempat lain.

Hari itu aku bertugas di Poliklinik Endokrinologi Ginekologi. Seorang perempuan muda dan cantik mengenakan jilbab trendi ditemani dengan seorang pria (yang kemudian aku ketahui sebagai suaminya) masuk membawa amplop coklat besar berisi beberapa lembar hasil pemeriksaan penunjang. Pasangan itu datang berobat karena sudah 2 tahun menikah, tapi sang istri tak juga kunjung hamil. Semua hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sang istri menderita suatu kondisi yang dikenal sebagai Mayer Rokitansky Kuster Hauser syndrome. Secara sederhana, terdapat gangguan pada proses pembentukan organ reproduksinya sehingga rahim, saluran telur, dan vagina bagian atasnya tidak terbentuk, namun indung telur terbentuk dengan sempurna.

Dengan menunjukkan empati yang dalam, aku mendampingi konsultan yang bertugas saat itu menjelaskan pada mereka berdua kondisi yang diderita sang istri dengan bahasa yang mudah dipahami. Menerangkan pada mereka bahwa sang istri tidak mungkin hamil, karena tidak ada rahim yang bisa menampung bayi mereka. Teknologi bayi tabung pun tidak dapat membantu, karena tetap harus ada rahim. Surrogacy, atau meminjam rahim perempuan lain untuk mengandung bayi mereka, tidak dilegalkan di Indonesia.

Sang istri menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan kami. Sang suami, dengan tampang terbelalak menyelutuk "Kok bisa gitu sih Dok...Dokter liat kan bodinya 'bohay' gitu, masak mandul siiihh...??". Gedubrak, apa hubungannya sih ya, sungutku dalam hati. Dan sang suami masih tak putus harapan untuk memiliki keturunan dari istrinya itu. "Dokter, kalau misalnya saya punya istri lagi, dan rahim istri saya yang lain itu yang dipinjam untuk mengandung anak saya dari istri yang ini, dibolehkan tidak secara hukum?" tanyanya dengan antusias. Ya ampun, ribet banget sih ya, pikirku sambil melirik ke arah sang istri yang mukanya makin pucat mendengar si suami berniat mencari istri lagi...

Tapi tidak semua perempuan berpendapat bahwa memiliki rahim adalah anugrah. Pagi itu aku mendapat kiriman seorang nyonya berusia 35 tahun dengan riwayat perdarahan haid yang sangat banyak dan nyeri haid hebat. Sudah 10 tahun menikah, tapi belum pernah berhasil hamil. Pasien itu sudah berulang kali mendapat transfusi karena perdarahan haidnya yang luar biasa banyak. Setelah melalui berbagai pemeriksaan, kami menyimpulkan nyonya itu menderita adenomiosis, suatu kondisi di mana jaringan rahim yang meluruh saat haid berada pada tempat yang tidak seharusnya, dalam kasus ini pada dinding otot rahim. Dokter di rumah sakit sebelumnya telah mencoba melakukan operasi untuk mengangkat adenomiosis itu. Namun ternyata terdapat perlengketan luar biasa antara rahim dengan organ-organ di dalam panggul lainnya, sehingga beliau tidak berani melanjutkan operasi karena khawatir mencederai organ lain. Dokter tersebut kemudian merujuknya ke rumah sakit kami.

Saat mendiskusikan alternatif terapi untuk kondisi adenomiosisnya, sang nyonya tidak mengindahkan penjelasanku mengenai alternatif terapi medikamentosa atau pembedahan konservatif yang hanya mengambil adenomiosisnya saja. Dia bersikeras supaya rahimnya segera diangkat, semuanya!! Sambil mengernyit aku bertanya, apakah dia tidak berpikir untuk ingin hamil di kemudian hari. Dengan berapi-api dia menukas "Dokter, saya sudah tidak tahan menanggung nyeri hebat saat haid selama bertahun-tahun. Belum lagi darah haid yang banyak sekali, membuat saya harus berkali-kali ditransfusi. Jangankan berpikir untuk punya anak, untuk hidup normal dan senang saja saya susah..!! Pokoknya saya mau rahim saya diambil semua, jadi saya tidak harus menderita terus seumur hidup..!!" Sementara sang suami membisu di sampingnya tak berani berkomentar.

Setelah penjelasan panjang lebar mengenai segala risiko dan konsekuensi operasi pengangkatan rahim, akhirnya sepasang suami istri itu menandatangani surat persetujuan tindakan pengangkatan rahim total. Operasi berjalan lancar, dan dalam tiga hari sang nyonya sudah dapat pulang ke rumah. Minggu depannya saat dia kontrol ke Poliklinik, dia mengucapkan terima kasih berulang-ulang padaku karena telah mengambil rahim yang menurutnya telah menjadi sumber bencana...

Keberadaan rahim memang memberikan janji akan kehidupan bagi seorang calon manusia. Namun di sisi lain, keberadaan rahim bisa menjadi ancaman kematian bagi seorang perempuan. Seperti petang itu saat aku dan tim jaga IGD sedang melakukan ronde pasien, terdengar teriakan menggelegar dari ruang akut "Ha Pe Peeeeeee...!!!!".

HPP, hemorragic post partum, atau perdarahan pasca persalinan adalah pembunuh nomor satu perempuan Indonesia yang meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan. Penyebab tersering perdarahan pasca persalinan adalah kontraksi rahim yang tidak adekuat (atonia) setelah bayi lahir, menyebabkan aliran darah ke rahim tidak dapat dihentikan dan dalam hitungan menit seorang perempuan bisa kehabisan darah.

Teriakan "HPP" adalah alarm utama bagi kami residen obgin. Tanpa dikomando, tim jaga langsung berlari ke ruang akut membawa semua peralatan resusitasi dan obat-obatan yang diperlukan. Pasien yang baru datang itu adalah seorang nyonya berusia 23 tahun, yang sejam lalu baru melahirkan seorang bayi laki-laki pertamanya melalui persalinan normal di bidan dekat rumahnya. Proses persalinan berjalan cukup lama, namun akhirnya lahir juga bayi dengan berat 3800 gram itu. Setelah plasentanya lahir, bidan yang membantu persalinannya panik karena darah tidak kunjung berhenti mengalir dari jalan lahirnya.

Residen jaga akut segera berkicau melaporkan kondisi pasien itu, "kesadaran somnolen, airway bebas, nafas 16x per menit, nadi 130x per menit lemah, tekanan darah 70/40, kontraksi uterus (rahim) jelek, perdarahan aktif merembes...". Serentak perawat dan bidan jaga memasang sungkup oksigen dan 2 akses vena untuk resusitasi cairan, simultan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan permintaan komponen darah ke PMI. "Syok hipovolemik karena HPP" seruku, "eksplorasi kemungkinan penyebab perdarahan lain selain atonia dan siapkan kamar operasi..!!". Sementara kolegaku yang lain sibuk melakukan kompresi bimanual untuk menekan rahim agar berkontraksi dan memasukkan obat-obatan yang diharapkan mampu memperbaiki kontraksi rahim.

Beberapa menit kemudian kami menyimpulkan bahwa memang penyebab HPP perempuan tersebut adalah atonia, dan tidak terdapat perbaikan kontraksi setelah dilakukan kompresi maupun pemberian obat-obatan. Tidak ada jalan lain, dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil dan perdarahan aktif terus mengalir, kami harus melangkah ke kamar operasi. Risiko operasi sangat tinggi, pasien bisa meninggal di atas meja operasi dengan kondisi buruk seperti saat ini. Namun bila tidak dilakukan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak.

Didampingi kolegaku dari Anestesi, kami berbicara dengan suami dan beberapa anggota keluarga dekat pasien itu. Kami jelaskan kondisinya saat ini sangat kritis, dan satu-satunya cara menyelamatkannya adalah menghentikan perdarahan yang terjadi. Cara optimal menghentikan perdarahan saat ini adalah melakukan operasi untuk mengangkat rahimnya yang menjadi sumber perdarahan dan mengikat seluruh pembuluh darah yang menuju rahim agar darah tidak bocor keluar terus-menerus.

Ruangan tempat kami berbicara seketika hening setelah penjelasanku berakhir. Sang suami menatapku dengan tatapan kosong. Anggota keluarga yang lain mulai terisak-isak. Sementara juniorku di luar ruangan sudah tak sabar menanti keputusan, apakah sang suami mengijinkan atau tidak. Kami tidak bisa memulai operasi tanpa ijin sang suami, padahal setiap detik berlalu dengan sekian tetes darah terbuang percuma.

Jarum jam seakan bergerak sangat lambat sampai akhirnya terbuka juga mulut pria malang itu, "lakukan yang terbaik Dokter...Saya mohon, selamatkan istri saya...Jangan biarkan bayi kami kehilangan ibunya..." ujarnya terbata dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak, "insha Allah pak, doakan...Hanya Allah yang berhak menentukan nasib hamba-Nya."

Setelah itu waktu seakan berlari. Kami berhasil mengontrol perdarahan setelah mengangkat rahim dan mengikat beberapa pembuluh darah. Komponen darah dari PMI datang tepat pada waktunya untuk mengganti darah yang sudah keluar sebelumnya. Perempuan itu akhirnya stabil dalam perawatan di ICU pasca operasi. Aku teringat kata-kata bijak salah seorang guruku "lebih baik hidup tanpa uterus, daripada mati membawa uterus...".

Namun kisah kehilangan rahim perempuan yang satu ini menurutku adalah yang paling tragis. Sore itu kami baru saja "operan" jaga, perpindahan dari tim jaga satu ke tim jaga lainnya. Pasien saat itu membanjir bagai air bah, sehingga suasana IGD tak ubahnya pasar malam. Sepasang suami istri setengah baya tampak keluar dari pintu lift yang terbuka diikuti dengan seorang petugas yang mendorong brankar dengan seorang gadis belia tergolek lemah di atasnya.

Karena tampak begitu lemah, kami segera memprioritaskan gadis itu untuk ditangani terlebih dahulu. Setelah melakukan pemeriksaan awal dan melakukan stabilisasi, kami menyimpulkan bahwa gadis itu menderita infeksi berat yang menyebabkan respon sistemik buruk dan terdapat ancaman kegagalan kardiovaskular karenanya, syok sepsis istilah kami. Untuk memastikan dari mana sumber infeksinya, kami menggali informasi lebih dalam lagi kondisi pasien itu. Gadis itu baru berusia 15 tahun, duduk di kelas 3 SMP. Sekitar 2 minggu yang lalu, kedua orang tuanya memergoki bahwa anak keduanya itu ternyata hamil akibat hubungan "kebablasan" dengan pacarnya. Setelah ketahuan hamil, si pacar menghilang tak ketahuan rimbanya. Kedua orang tuanya panik, terlebih si anak kemudian mogok sekolah karena malu dan khawatir kondisinya diketahui teman-temannya.

Entah dengan pertimbangan apa dan informasi dari siapa, si ayah akhirnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah klinik di daerah utara Jakarta untuk mengakhiri kehamilan anaknya. Tidak jelas prosedur macam apa yang dilakukan di sana untuk mengeluarkan calon manusia tersebut. Si ayah juga mengaku tidak bertemu langsung dengan "dokter" yang menggugurkan kandungan anaknya tersebut. Singkat cerita, kami mencurigai sumber infeksi gadis ini berasal dari rahimnya, besar kemungkinan telah dilakukan aborsi tidak aman dengan prosedur tidak steril. Karena kondisi hemodinamiknya yang tidak stabil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk perawatan dengan observasi ketat dan antibiotika generasi terbaru.

Dalam evaluasi 12 jam kemudian sampai pagi harinya, kami mendapatkan bahwa respon tubuh gadis itu terhadap terapi yang diberikan tidak begitu baik. Berbagai parameter infeksi semakin memburuk, pertanda bahwa sumber infeksi tidak juga terkendali. Kami berdiskusi dengan teman sejawat Bedah Digestif, dan sama-sama sepakat bahwa mungkin terjadi cedera organ lain seperti usus akibat tindakan aborsi tak aman tersebut. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tindakan operasi, membuka perut gadis itu dan melihat apa yang terjadi di dalam. Konsekuensinya, semua organ yang menyebabkan infeksi harus diangkat dan dibuang karena ternyata antibiotik tidak berdaya mengontrol infeksi yang terjadi. Bila tidak dilakukan kontrol sumber infeksi yang adekuat, maka kegagalan semua organ yang vital dalam menunjang kehidupan menjadi taruhannya. Di sisi lain, melakukan operasi besar dalam kondisi yang buruk seperti ini adalah tindakan yang sangat berisiko.

Saat menjelaskan kondisi gadis tersebut kepada kedua orang tuanya, si Ibu menangis terisak-isak dan si Ayah menunduk dengan raut yang menunjukkan penyesalan yang sangat dalam. Tindakan melakukan pengguguran kehamilan saja merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia, apalagi dalam kasus ini terjadi komplikasi mengancam nyawa. Bila memang terjadi cedera usus, kami akan harus memotong dan membuang bagian usus tersebut. Bila ternyata sumber infeksi adalah si rahim, maka kami harus membuang rahimnya. Pilihan yang sulit, terlebih melakukannya pada seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan belum mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.

Akhirnya setelah diskusi yang panjang, kedua orang tuanya menyetujui rencana kami. Dengan persiapan ekstra, kami melakukan operasi segera sebelum kondisi gadis itu semakin memburuk. Benar saja, saat perutnya dibuka, kondisi rahimnya sangat mengenaskan. Rahimnya membesar seperti hamil 16 minggu dengan warna kehitaman dan mengeluarkan bau yang membuat perut mual. Untungnya seluruh organ lainnya utuh, tak terdapat cedera organ. Setelah berkonsultasi sana-sini, kami memutuskan untuk mengangkat rahim gadis itu dengan pertimbangan menyelamatkan nyawanya. Itu adalah rekor untukku dalam hal usia termuda yang kuangkat rahimnya.

Gadis itu kemudian membaik dalam perawatan selanjutnya dan tampaknya belum juga paham konsekuensinya ketika dijelaskan bahwa dirinya sudah tak memiliki rahim lagi. Sebuah harga yang sangat mahal untuk sebuah perilaku tak bertanggung jawab tanpa pikir panjang seperti itu. Namun demikian, dia masih beruntung tidak menjadi bagian dari 50.000 orang yang mati setiap tahunnya akibat "unsafe abortion" di seluruh dunia.

Kurasa, itulah mengapa aku begitu mencintai bidang ini. Aku berkesempatan untuk melihat "kisah" lain di balik cerita kehidupan tiap pasienku. Aku banyak mendapat pelajaran kehidupan dari pasien-pasienkuku, belajar bersyukur dengan yang kupunya, dan belajar menghargai segala sesuatu yang kudapat sekecil apa pun itu...

(Watford, April 2012)


[Seperti dimuat dalam Buku Bunga Rampai Kedokteran Islam]