Jul 14, 2017

MENITI BATAS (bag 1)

(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)

“Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan”...

Sepenggal kalimat di atas adalah salah satu butir dari naskah Sumpah Dokter yang wajib diucapkan oleh setiap lulusan pendidikan dokter di Indonesia. Diinspirasi dari Hippocrates Oath, yang kemudian juga diratifikasi dari Deklarasi Jenewa pada tahun 1948, kalimat asli yang dipopulerkan lebih dari 2.500 tahun yang lalu itu berbunyi, “I will not give a woman a destructive pessary”. Kalimat ini kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan secara berbeda-beda di seluruh belahan dunia.

Bagi kelompok yang menamakan dirinya “pro-life”, kalimat tersebut merupakan argumen bahwa tindakan aborsi, atau terminasi/pengakhiran kehamilan sebelum waktunya adalah suatu tindakan yang melanggar sumpah profesi. Di sisi lain, mereka yang menyebut dirinya “pro-choice” menginterpretasikan kalimat ini dengan konteks yang berbeda. Jaman Hippocrates hidup, tindakan aborsi dibolehkan secara hukum. Namun tindakan melakukan aborsi menggunakan “pessary” (alat atau bahan yang dimasukkan ke dalam vagina dan leher rahim untuk membuka jalan lahir secara paksa) ternyata menimbulkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa perempuan waktu itu. Jadilah mereka melakukan tindakan aborsi dengan menggunakan ramuan obat Yunani kuno yang dimakan atau diminum secara oral, dan melarang penggunaan “pessary”.

Bukan hanya sekedar menjadi isu politik saat kampanye di hampir setiap negara, masalah aborsi atau terminasi kehamilan ini juga merupakan isu etikolegal yang tak kunjung habis dibahas. Sepanjang pendidikan dokterku di Indonesia, kami menerima bahwa tindakan aborsi adalah tindakan melanggar hukum (juga agama, norma sosial, serta budaya), kecuali pada beberapa kondisi tertentu di mana kehamilan dapat mengancam nyawa perempuan. Namun di Inggris, negara tempat tinggalku sekarang, aborsi atau terminasi kehamilan sebelum usia kehamilan 24 minggu legal secara hukum bila memenuhi syarat-syarat berikut ini : terdapat alasan/kondisi personal, kehamilan tersebut mengancam kesehatan/nyawa perempuan, atau janin yang dikandung menderita cacat bawaan. Pada praktiknya, setiap perempuan berhak atas layanan “termination of pregnancy” (TOP) bila memutuskan ingin mengakhiri kehamilannya sebelum usia 24 minggu, dengan alasan apa pun. Di sisi lain, bila seorang perempuan memutuskan untuk melanjutkan kehamilannya, bahkan bila mengancam kesehatannya atau janin yang dikandungnya menderita defek atau cacat bawaan berat, maka NHS (National Health Services, sistem pelayanan kesehatan di Inggris) berkewajiban untuk menjamin layanan kesehatan yang memadai selama kehamilan, persalinan, dan tumbuh kembang si bayi kelak (tentu dengan beberapa perkecualian).

Di negara ini, diagnosis pre-natal untuk menapis kelainan atau cacat bawaan janin dikerjakan begitu agresif dan menjadi bagian dari layanan rutin kehamilan (tentu semuanya gratis). Bila ditemukan kondisi janin yang diperkirakan akan menyebabkan kecacatan atau kelak dia tidak akan bisa hidup mandiri, dan si perempuan memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya, maka layanan TOP siap melakukan tugasnya. Salah satu alasan pemerintah menyediakan anggaran begitu besar untuk layanan diagnosis pre-natal ini ternyata adalah karena anggaran yang harus mereka sediakan untuk memberikan layanan bagi anak-anak yang terlahir dengan kondisi “istimewa” ini ternyata jauh lebih besar lagi. Lain halnya di Indonesia yang umumnya semua harus “out of pocket” sendiri, maka orang tualah yang harus memikirkan semua hal tersebut sendiri.

Selama 6 minggu aku berkesempatan melakukan “clinical attachment” di suatu sentra pre-natal diagnostic and fetal medicine yang berlokasi di ibu kota negara ini tahun lalu, aku menyaksikan sendiri bagaimana mereka begitu agresif melakukan diagnosis pre-natal. Tempat ini merupakan sentra layanan kesehatan yang sangat terkemuka, menerima rujukan pasien bukan hanya dari seantero Inggris, namun juga dari negara-negara Eropa daratan, untuk diagnosis pre-natal maupun prosedur invasif intra uteri (pembedahan terhadap janin di dalam kandungan ibunya). Dokter yang mendalami bidang ini juga datang dari berbagai belahan dunia untuk belajar di tempat itu.

Pagi itu aku memilih belajar di ruangan “twin scan” dari 12 ruangan USG dan prosedur yang ada. Umumnya satu ruangan diisi oleh seorang senior clinical fellow, seorang junior clinical fellow, dan satu observer seperti diriku. Setiap ruangan sudah memiliki daftar pasien yang akan datang di hari itu, dan di ruangan “twin scan” setiap pasien dialokasikan waktu sekitar 45 menit untuk pemeriksaan USG yang sangat mendetail. Konsultan harian yang bertanggung jawab akan stand-by di ruangannya, siap memberi bantuan bila terdapat kesulitan.

Setelah pasien kelima selesai diperiksa, aku berniat keluar ruangan untuk mencari udara segar (dan mengistirahatkan mata karena di dalam ruang pemeriksaan lampu harus dimatikan dan pemanas ruangan beroperasi maksimal). Di tempat ini, tidak dikenal istilah “lunch-break”, apalagi “morning coffee or tea-break”. Bila kaki pegal karena seharian harus berdiri dan perut lapar karena sampai jam 7 malam tidak sempat makan, maka itu dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk bisa belajar. Namun posisi observer sepertiku tentu lebih fleksibel karena tidak dibebani tanggung jawab pelayanan, sehingga biasanya bila merasa hipoksia di dalam ruang pemeriksaan, aku dan para observer lainnya atau clinical fellow akan keluar dan mencari udara segar di gang yang memisahkan ruang pemeriksaan satu dan lainnya.

Begitu aku keluar, seorang sejawat junior clinical fellow baru dari Brazil berpenampilan seperti aktor telenovela juga sedang keluar dan menutup pintu dengan tulisan “invasive room” tepat di depan ruanganku. “Hi...” sapanya, dan sambil mengambil posisi berdiri yang nyaman di gang, dia melanjutkan, “Will we have some interesting procedures today?” tanyanya. “Hi..” jawabku sambil tersenyum, “I guess so. We’ll have one laser procedure for twin to twin transfusion syndrome case and one balloon removal on diaphragmatic hernia case” jawabku. “Good...” jawabnya sambil tersenyum senang. “Guess what is happening in there now”, katanya sambil menunjuk ke arah ruangan dengan papan bertuliskan “invasive room” tempat dia sebelumnya berada tadi. “How should I know...” jawabku sambil mengangkat bahu. “Well, you should know why they sent me out of the room..” jawabnya sambil nyengir penuh kemenangan.

Di sini, sebisa mungkin setiap fellow mendapat paparan terhadap berbagai kasus dan tindakan sebanyak mungkin. Artinya, bila ada tindakan yang dilakukan dengan seminimal mungkin orang yang terlibat, berarti prosedur itu pasti terminasi kehamilan. Pada prosedur ini, biasanya hanya boleh dihadiri oleh si pasien dan pendampingnya, fellow yang melakukan prosedur itu, serta konsultan yang bertanggung jawab. Sisanya akan diminta keluar dari ruangan dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut biasanya sangat emosional bagi pasien (padahal bila aku ada di situ, tentu juga akan menjadi sangat emosional dan personal bagiku).

Sejawat fellow tadi kemudian menceritakan pasien yang sedang menjalani prosedur di dalam ruangannya. Seorang perempuan yang hamil anak pertama, dan dari pemeriksaan “screening” atau penapis, didapatkan bahwa risiko janin yang dikandungnya itu menderita Down Syndrome cukup besar, 1 : 20. Belum lagi ditambah bahwa dari pemeriksaan USG, nasal bone (tulang hidung) nya tidak ditemukan padahal usia kehamilannya sudah hampir 23 minggu, walaupun tidak ditemukan kelainan struktur anatomi yang lain. Sentra ini memiliki program komputer sendiri (dan juga digunakan di seantero Inggris) untuk menghitung risiko tersebut yang mengkombinasikan hasil pemeriksaan beberapa kadar hormon dalam darah ibu dan beberapa parameter pemeriksaan USG. Down Syndrome sebenarnya bukan kelainan yang letal (mematikan) bagi janin, tergantung dari varian mana yang diderita janin, biasanya bayi yang lahir nantinya akan menderita keterbelakangan mental, gangguan pada beberapa organ, gangguan tumbuh kembang, dan lain sebagainya. Singkatnya, walaupun sebenarnya semua hasil pemeriksaan itu sudah ada sejak beberapa minggu lalu, si pasien menolak untuk dilakukan tindakan diagnosis invasif untuk mengambil sel janin dan melakukan studi kromosom untuk membuktikan apakah memang si janin menderita Down Syndrome. Pasien itu kemudian menghilang, dan baru kembali kontrol dengan keputusan ingin mengakhiri kehamilannya sekarang.

Di sentra ini, protokol untuk mengakhiri kehamilan agak berbeda dengan tempat lain. Umumnya, pengakhiran kehamilan dilakukan dengan membuka jalan lahir, sehingga otomatis janin akan keluar. Cara ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi obat-obatan yang memang akan melunakkan jalan lahir dan menciptakan kontraksi rahim sehingga janin lahir, atau pada usia kehamilan yang kecil maka cukup dilakukan pemasangan alat semacam “pessary” dan dilanjutkan dengan kuret untuk mengeluarkan hasil konsepsi. Tapi di tempat ini, mereka melakukan penyuntikan larutan KCl konsentrasi tinggi ke jantung janin dengan panduan USG, sehingga jantung janin akan berhenti berdenyut dan janin mati. Setelah janin mati, umumnya dalam beberapa hari atau minggu dia akan keluar/lahir dengan sendirinya. Terdengar sangat sadis, tapi ternyata mereka memiliki alasan tersendiri mengapa cara ini yang dipakai.

Hukum di Inggris mengatur bahwa setiap bayi yang lahir di atas usia kehamilan 23 minggu wajib mendapat resusitasi maksimal untuk tetap bertahan hidup, melibatkan fasilitas perinatologi canggih dan obat-obatan bernilai ribuan pounsterling. Jadi bila pengakhiran kehamilan dilakukan pada usia kehamilan borderline seperti itu, bayi yang lahir hidup harus mendapatkan resusitasi maksimal (padahal terminasi kehamilan diputuskan karena si bayi dinilai “tidak layak hidup” oleh orang tuanya). Maka untuk menghindari kontroversi semacam ini, sentra ini memilih untuk “mematikan” dulu si janin, sehingga saat kemudian lahir tidak perlu melanggar hukum dengan tidak melakukan resusitasi. Mungkin aku yang terlalu bodoh, sensitif, atau take it personally, tapi logika-logika semacam ini tidak bisa dicerna oleh otakku.

“What procedure will you have next?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang membuat dadaku ngilu itu. “Owh, we will put a chest shunt right after this one...” jawab kolegaku itu dengan semangat. Dia menjelaskan kasus tersebut, seorang perempuan berusia 20 tahun yang dikirim dari kota lain karena janinnya menderita cacat multipel. Didapatkan kelainan struktur pada jantung janinnya, dan belakangan didapatkan bahwa rongga dadanya terisi cairan (efusi) yang menyebabkan kedua paru-paru janin itu tidak dapat tumbuh dan berkembang sempurna. Hal ini masih ditambah dengan sebagian usus janin yang berada di luar tubuhnya (gastroschisis). Sebenarnya dicurigai bahwa kondisi ini dilatarbelakangi oleh kelainan kromosom, namun si ibu menolak melakukan pemeriksaan yang lebih invasif karena berkeras bahwa apa pun hasilnya, dia akan tetap melanjutkan kehamilannya dan menuntut perawatan maksimal untuk bayinya kelak. “Can I join you guys for that procedure”, tanyaku yang belum pernah melihat prosedur ini dikerjakan. “Why not?” jawabnya sambil melambaikan tangannya padaku mengajak masuk segera ke ruangan itu sebelum dipenuhi oleh fellow lain yang juga ingin menonton prosedur itu.

Chest shunt yang dipasang itu digunakan untuk mengalirkan cairan yang terakumulasi di rongga dada si janin ke ruang amnion, memberi kesempatan agar paru-parunya dapat berkembang. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa paru-paru yang tumbuh mnegembang dan berfungsi baik kan? Prosedur itu dilakukan sendiri oleh seorang professor yang saat itu menjabat sebagai direktur unit fetal medicine tersebut. Begitu selesai melakukan prosedur tersebut dengan panduan USG, dia menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan oleh si pasien. Bahwa nantinya dia harus bersalin di rumah sakit ini, karena memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik. Dia juga menginstruksikan seorang senior fellow untuk mengatur waktu persalinannya kelak, berkoordinasi dengan neonatologist, pediatric surgeon, pediatric cardio-thoracic surgeon, menyediakan inkubator bayi dengan ventilator khusus, dan lain sebagainya untuk menunjang kehidupan dan mengkoreksi berbagai kelainan yang diderita si bayi. Sayang aku tak tahu bagaimana nasib si bayi setelah dilahirkan kemudian, tapi setidaknya aku merasa bekerja dengan para dokter (yang memang niatnya menolong dan menyelamatkan nyawa, bukan menghilangkan nyawa). Meski kemungkinan bayi itu bisa bertahan hidup dengan berbagai cacat organ vital yang dideritanya relatif kecil, toh usaha “ngeyel” mereka patut diacungi jempol.

Ketika dulu aku melafalkan sumpah dokter ini, tak pernah terbayang ternyata memang sangat berat mengemban dan merealisasikan isinya. Apalagi ketika menemui kasus-kasus yang berada pada “grey-area” yang ternyata sangat banyak di dunia kedokteran, termasuk bidang obstetri dan ginekologi yang kudalami.

Siang itu suasana Poliklinik Obstetri hampir mirip Bursa Efek Jakarta saat IHSG naik dan para pialang riuh rendah berusaha menjual saham, panas dan berisik... Bedanya mungkin di BEJ, udara ruangan tetap dingin karena air conditioner berfungsi sebagaimana mestinya. Poli hari ini begitu panas karena jumlah pasien dan kapasitas ruangan sungguh tidak sesuai, ditambah lagi air conditioner di semua ruangan mogok bekerja akibat usia tua tanpa maintenance semestinya. Kumpulan ibu-ibu hamil dengan metabolisme berlipat yang menghasilkan ekstra panas juga berkontribusi menambah parahnya suasana, belum lagi mungkin banyak di antaranya yang tidak sempat mandi di pagi hari karena harus menembus kemacetan dan antri pagi-pagi sebelum loket pendaftaran dibuka.

“Mbak, konsul dong...”, tegur seorang juniorku memecah konsentrasiku yang sedang tekun menulis resume-resume pasien ginekologi untuk dikirim operasi. “Kenapa?”, tanyaku sambil melipat rekam medis di hadapanku dan bangkit dari duduk mengikuti juniorku itu ke ruang periksanya. “Pasienku hamil 16 minggu, anensefali, tapi dia menolak diterminasi Mbak,” jelasnya singkat sambil membuka pintu ruang periksa.

Di dalam ruang periksa, sudah menanti sepasang suami istri yang tampak galau dan bingung. Mereka sudah menikah selama 5 tahun, sang istri sudah pernah 2x hamil sebelumnya. Kehamilan pertamanya berakhir dengan keguguran pada usia kehamilan 14 minggu. Kemudian kehamilan keduanya diakhiri dengan operasi sesar karena bayinya menderita spina bifida, suatu kelainan di mana terdapat gangguan pembentukan saraf-saraf dan tulang belakang. Rencananya si bayi akan dirujuk setelah dilahirkan secara sesar ke rumah sakit yang bisa melakukan operasi koreksi spina bifida itu, namun sayang, belum sempat dirujuk, si bayi meninggal karena sepsis (infeksi menyeluruh yang menyebabkan kegagalan berbagai organ). Dan di kehamilan yang ketiga ini, pasien itu dirujuk ke tempat kami karena didapatkan janinya menderita anensefali (suatu kondisi di mana sebagian besar otak dan tempurung tengkorak tidak terbentuk, merupakan kelainan yang bersifat letal atau mematikan karena manusia tidak mungkin hidup tanpa otak). USG konfirmasi di tempat kami juga setuju dengan pemeriksaan USG perujuk sebelumnya, bahwa janin yang dikandung pasien itu memang menderita anensefali.

“Bagaimana kabarnya Pak, Bu,... “ sapaku sambil tersenyum ramah kepada mereka, berusaha mencairkan suasana. Bukan menjawab sapaanku, sang istri malah mulai menangis terisak-isak dan si suami mulai salah tingkah sibuk menenangkan istrinya. “Dokter, memangnya ga ada cara ya nolong anak saya? Emang ga bisa dioperasi gitu otaknya nanti kalo udah lahir? Kenapa mesti dilahirin sekarang aja? Tolong diusahakan Dokter, kami udah nunggu bertahun-tahun untuk bisa punya anak yang sehat...” berondong si suami sambil merangkul istrinya yang masih terisak-isak.

Dengan sangat berempati aku berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa kelainan seperti ini tidak bisa dikoreksi, pengetahuan dunia kedokteran belum sampai bisa menumbuhkan otak yang tidak terbentuk seperti pada janin mereka. Kalaupun si janin tetap hidup di dalam kandungan sampai cukup bulan, saat setelah dilahirkan nanti, ketika dia harus mandiri mengatur sistem penunjang kehidupannya seperti pernafasan dan jantung (yang semua tentu harus diatur oleh otak), maka tidak lama biasanya bayi akan meninggal juga.

Pada kasus mereka, si istri sudah memiliki riwayat sekali operasi sesar. Artinya, bila melahirkan kelak, ada risiko lebih bila dibandingkan dengan perempuan yang rahimnya tidak pernah dilukai. Persalinan janin cukup bulan dengan anensefali umumnya sulit, karena struktur kepala tidak sempurna, maka persalinan bisa menjadi lama dan kadang harus melalui berbagai manuver untuk melahirkan bayi. Bagian otak bayi yang juga berperan dalam mengatur persalinan tidak ada, sehingga biasanya persalinan semakin sulit. Kondisi ini semakin kompleks karena bekas luka di rahim ibu berisiko robek bila persalinan lama, sulit, atau menggunakan manuver-manuver tertentu. Di sisi lain, bila sampai harus melakukan operasi seksio sesar lagi, maka tentu si ibu akan menanggung risiko persalinan lebih besar, padahal bayi yang dilahirkan mungkin umurnya akan hanya beberapa jam atau hari.

Prinsip “do no harm” lah yang kami utarakan kepada mereka ketika mengajukan alternatif untuk melahirkan bayinya sekarang, saat masih kecil, mudah keluar dan risiko robekan rahim kecil sehingga aman untuk ibu. Pikir kami sebagai dokter waktu itu adalah “the risks are not worth taking for a poor prognosis baby”. Aku juga jelaskan bahwa kelainan seperti spina bifida dan anensefali biasanya disebabkan oleh kurangnya kadar dan konsumsi asam folat ibu, sehingga kehamilan berikutnya harus benar-benar direncanakan dengan baik agar tidak terulang lagi.

Tiba-tiba sambil sesenggukan, si istri memotong penjelasanku, “Saya tidak mau kehamilan saya diakhiri sekarang Dokter..!! Dokter bisa aja salah diagnosis kan..?! Saya mau merasakan bayi saya nendang-nendang di dalam perut... Saya mau gendong dan peluk bayi saya nanti kalo dia sudah lahir. Biarpun ternyata umurnya cuma sebentar, biarpun cacat dan jelek, tapi dia anak saya, Dokter...!! Biarpun saya harus sesar lagi, biarpun saya harus menanggung risiko dan mempertaruhkan nyawa saya, saya mau bayi saya tetap dipelihara dan dirawat seperti bayi normal lainnya...!!” serunya penuh emosi. Aku tertegun mendengar kalimat-kalimat pasien itu yang begitu emosional, namun sisi keibuanku secara tidak sadar setuju juga dengan sebagian kalimatnya.

Dan pasien itu masih melanjutkan, “Lagian Dokter ini manusia juga kan? Bukan Tuhan? Apa hak Dokter mengakhiri hidup bayi saya sekarang? Emangnya Dokter bisa menjamin kalo saya gugurkan kandungan sekarang, saya pasti akan bisa hamil lagi nantinya? Apa Dokter bisa pastikan, kalo saya ngikutin saran Dokter minum folat, maka pasti bayi saya nanti nggak cacat? Apa Dokter bisa...??!!” cecarnya menuntut.

Yaaaa...kami yang dokter ini jelas-jelas manusia juga. Kami tak punya kuasa apa-apa selain setitik ilmu yang kami miliki. Tak pantas kami dibandingkan dengan Tuhan, dan tak mungkin kami mendahului kuasa Nya. Sungguh ada batas yang jelas antara makhluk dan penciptaNya. Tapi terkadang, batas itu tersamar, entah karena keangkuhan manusia, atau justru karena kebodohannya...

*to be continued..

Watford, 19 Desember 2012

No comments: