Jun 9, 2013

rain

Terduduk disini, di depan
tomodachi*. Di sebelah
sterofoam soerabi yang
aromanya menguap.
Mobil dan motor melaju
dengan kecepatan
maksimalnya, seolah ingin
kalahkan kecepatan titik-titik
air dari langit.
Orang-orang berlarian, mengelak
kenyataan bahwa seberapa
cepat larinya, akan
basah juga. ‘aku dikejar
waktu’ ujar mereka sambil
menerobos hujan.

Ah. Hujan.
Wangi hujan yang kusuka dari kecil. Yang ternyata adalah wangi tanah. ‘air langit tak berbau’ terang ibuku. Aroma tanah yang terkena titik-titik hujan, hmmm wangii sekali. Membuat mataku tertutup dan merasakan rileksnya..
‘aku juga suka wangi hujan..’
‘aku suka wangi tanah pas kena air hujan’ elakku

Dret.. dret.. dret..
Asma, ana nitip cokelat ya.. dan secangkir penawar kesedihan kalau bisa.. 14:50
Sebungkus mungkin? Kalo pake cangkir entar tumpah pas ana naek ojeg :p 14:53
Ga mau, maunya yang masih panas, biar enak ntar kalo dicampur biskuit  - -“ 14:56
Mustahil! Kalaupun aku membawa  cangkir panas itu, maka panasnya akan menguap karena lamanya aku mendaki kaki gunung karang. Atau tercampur air dingin dari langit. Atau keburu tumpah membasahiku. Kau tega hah?! 14:59
Mbak, penawar kesedihannya udah nyampe nih pake angin, situ pengendali angin ya? 15:03

Setelah kuyup sampai di kamar..

KHAULAAAAH AKU BUKAN PENGENDALI ANGIN, AAAA


-suatu siang menjelang sore di tengah hujan

*nama warnet

education in this country

Kegagalan terbesar dari sistem pendidikan kita bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan rakyat, tetapi terletak pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata. Siapa yang tak miris melihat situasi bangsa terkini. Tawuran massal mudah sekali terjadi. Dari mulai gesekan antarpelajar, hingga tawuran antar kampung. Tak ada lagi logika, semua masalah tampaknya hanya bisa diselesaikan dengan otot saja. Hampir tak ada bedanya perilaku orang yang berpendidikan maupun yang tak sempat terdidik karena tak punya akses mendapatkan pendidikan berkualitas. Ini jelas menjadi sebuah ironi.

Pendidikan sudah dianggap berhasil jika sudah ada gedung sekolah, kurikulum, guru, siswa, kegiatan pembelajaran, dan fasilitas pendukung lainnya. Kita lupa tidak pernah mencermati secara serius, perubahan apa yang sudah terjadi pada anak-anak kita melalui kegiatan pendidikan? Jangan-jangan, pendidikan malah membuat anak-anak kita jadi tak punya jati diri, kehilangan arah, cerdas namun tak berakhlak, dan tak paham untuk apa mereka menuntut ilmu. Koruptor terdidik semakin banyak, orang cerdas Indonesia berani jual aset negara, budaya menyontek di sekolah dibiarkan, harga diri dan kehormatan guru masih dilecehkan, mahasiswa makin doyan tawuran daripada melakukan debat ilmiah di kampus mereka, korupsi dana bantuan operasional sekolah masih meramaikan berita-berita di media massa, menyertai hadirnya pendidikan karakter di bumi pertiwi. Jika ujung-ujungnya hanya sekadar tahu teori tentang karakter, situasi carut marut masih tetap akan berlangsung. Sekali lagi, dunia pendidikan takkan mampu memberi kontribusi pada bangsa ini untuk keluar dari keterpurukan.

Semua orang hanya menjejali isi kepalanya dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Tak peduli pengetahuan itu berguna atau tidak bagi dirinya. Celakanya apabila pengetahuan itu digunakan untuk menyengsarakan orang lain. Kondisi lebih naas lagi jika pendidikan kita hanya mampu  menghasilkan akademisi yang gemar melakukan plagiarisme, pengusaha serakah, penguasa khianat, pelajar/mahasiswa hobi tawuran, serta peradaban yang celaka dan mencelakakan. Akhirnya, peradaban bangsa akan luluh lantak jika pilar pendidikan Indonesia masih dibangun atas dasar prinsip Tut Wuri Nggerogoti (di belakang mengegerogoti), Ing Madya Ngangkut Banda (di tengah mengangkut harta), Ing Ngarsa Terus Ngapusi (di depan selalu menipu). Masa depan nyatanya bukan terletak pada ilmu yang diperoleh, bukan pada kecerdasan yang dikembangkan, dan bukan pada keahlian yang dikuasai. Sesungguhnya masa depan terletak pada perilaku. Bahkan Plato pun berujar, “Bersikaplah yang baik karena semua orang yang kita jumpai sedang menghadapi masalah besar.” Setuju atau tidak, pendidikan memainkan peran penting dalam membangun peradaban suatu bangsa agar tetap eksis di masa depan. Utamanya, menghasilkan manusia yang berakhlak mulia sebagai inovator dan aktor intelektual yang melestarikan nilai-nilai baik di muka bumi ini. Bagaimana menurut Anda?

Penulis
Asep Sapa’at, trainer pendidikan, Lembaga Pengembangan Insani, Dompet Dhuafa.


majalah 1000guru edisi 13

pendidikan semestinya

amal tanpa ilmu bisa jadi amalnya tertolak karena segala sesuatu ada ilmunya. Orang-orang terdidik paham tak semua ilmu membawa kebaikan bagi dirinya. Dia hanya memilih dan mempelajari ilmu yang bermanfaat saja. Praktik dan latihan dalam kehidupan nyata akan membuat orang-orang terdidik semakin menghayati ilmu yang dimilikinya lewat proses belajar. Mereka adalah orang-orang yang pintar memaknai sesuatu dalam hidupnya, bukan orang yang ‘merasa pintar’. Pendidikan semestinya bisa menghasilkan orang-orang yang bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri, semakin mengenal ‘diri’, semakin jujur dengan diri sendiri, semakin otentik, dan menjadi semakin unik tak terbandingkan (Andrias Harefa, Buku Menjadi Manusia Pembelajar, 2008).


-majalah 1000guru edisi 13

snmptn (lagi)

bismillah

menatapi takdir hidup. mengamati perilaku sekitar. mencoba merasa rasa yang dirasakan mereka. mereka yang ditakdirkan untuk berjuang di sbmptn, dan akhirnya, akhirnya hidup tetap berjalan. walau rasanya begini. rasa yang harus cepat-cepat diakhiri. rasa bingung menentukan bagaimana kedepannya, bagaimana nantinya, bagaimana esok? bilamana yang terjadi jika.. ah, dan segunung kalimat tanya hanya bersarang di kepala. dan tulisan, kini.

"ente harusnya berhenti makan mie dan minum kopi. kalo terus2an gini badan ente bisa sakit!"

"tapi ana harus minum kopi, biar bisa belajar sampai malam.."

"ente ga boleh gini terus.."

"ana tau.. tapi ana capek, ma"

"..."

rasanya ana pengen nangis dibilang kaya gitu. ana memang ga ada di posisi kalian, merasakan pahitnya kegagalan seleksi bernama snmptn. tapi bukan berarti ana gabisa merasakan apa yang kalian rasa. ana mencoba sebisa mungkin merasakan itu. walau ana tahu rasanya akan beda dibanding rasa yang dialami kalian. tapi mohon, jangan anggap kalian orang paling menderita di dunia. ana juga pernah gagal dan pernah merasakan pahitnya. tolong jangan siksa ana dengan kata-kata begitu..

"ya.. mungkin kalau ana lagi nganggur ana bakal..."

seakan kalian tersiksa dengan perjuangan masuk univ kalian sekarang. dan seakan manusia seperti ini manusia super beruntung yang nganggur dan bisa melakukan semua kegiatan yang ana suka. tanpa perlu dikejar-kejar deadline tes universitas.

nyatanya? tidak. ana mungkin secuil kecil yang merasa bingung dari ribuan anak indonesia lain yang masih terbawa euforia kata 'selamat'. ana toh masih berpikir, mau dibawa kemana mimpi-mimpi ana? mau diapakan hidup ana nanti? ana tidak diam luntang lantung di media sosial.

semuanya cobaan. untuk yang tidak diterima, tentu kesabaran  dan perjuangan hadapi mimpi jadi ujiannya. yang diterima juga sebenarnya menghadapi cobaan maha dahsyat, yang pasti dari kedua tipe ini sama-sama ada pelajaran yang bisa dipetik.

untuk yang tidak diterima

kekuatan mimpi kalian sedang Allah uji. seberapa kuat kalian benar-benar memperjuangkan mimpi kalian? seberapa tahan mental kalian ketika digagalkan snmptnnya? seberapa percaya sama Allah?

Allah kasih kalian kesempatan, kesempatan untuk merekonstruksi mimpi-mimpi kalian. mungkin saja yang dipilih di snmptn bukan keinginan terdalam hati kalian. mungkin bukan yang benar-benar kalian suka. dan Allah kasih kesempatan sbmptn agar bisa dipikir-pikir lebih matang lagi, mau dibawa kemana masa depan kalian?

ada beberapa jenis cobaan. ada yang dicoba lewat hartanya, cintanya, atau anak-anaknya. jika kita ini gagal terus dalam semua seleksi, anggaplah Allah sedang menggunakan kita untuk memberi cobaan pada orangtua kita. apakah mereka cukup sabar melihat kegagalan anaknya? apakah mental mereka kuat menghadapi kita yang mungkin sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat. apakah mereka cukup percaya diri dan percaya bahwa anaknya bisa? apakah cukup bisa menahan malu? ah yang terakhir ini semoga tidak. semoga saja orangtua masa kini pola pikirnya juga sudah terbarukan, tidak memandang kesuksesan dari keberhasilan masuk ptn saja. ya, semoga.

untuk yang diterima

Alhamdulillah!
Allah ingin uji bagaimana respon kalian menghadapi berita ini. apa dengan berteriak loncat-loncat kegirangan? update status sana sini tanpa pedulikan kawan yang lain, atau sujud syukur menunduk atas segala kebesaranNya? bagaimana respon seharusnya?

Mungkinkah Allah sudah capek dengar doamu? Mungkinkah Allah lelah mendengar rintihan hambaNya yang menangis minta dimasukkan ke ptn pilihannya? mungkinkah Allah bosan? Allah bosan dengar doa dari yang berdoanya cuma buat minta ptn. bosan dengan ikhtiar, belajar, puasa, tahajjud, yasin, dan semuanya demi ptn. bosan dengan kita yang malas puasa sebenarnya. bosan dengan permintaan yang tak diiringi dengan usaha? Mungkinkah Allah tak ingin melihat diri yang berlumur dosa ini menghadap padaNya mohonkan yang terbaik demi masa depan? maka Allah berikan saja ptnnya. agar kita berhenti merengek-rengek. karena Allah tak suka pada gaya meminta kita. Na'udzubillah semoga tak termasuk pada golongan ini.

semua introspeksi harus dilakukan. baik yang dapat atau yg masih ditunda. tulisan ini hanya memuat sudut pandang saya, yang umum yah karena sudah umum jadi tak saya tulis lagi hehehe.

Percayalah Allah udah kasih ketetapan terbaik kok. semua dalam hidup kita udah tertulis di mega server lauh mahfudz. tinggal bagaimana kita berikhtiar, usaha doa tawakkal yang maksimal. karena sesuatu yang indah tentu harus dibayar dengan harga yang mahal juga bukan?

Jun 6, 2013

SNMPTN. Dan mimpi-mimpi saya (4)


Alhamdulillah, akhirnya saya menyadari hikmah di balik ketetapan kata ‘selamat’ pada pengumuman snmptn saya. Mungkin Allah inginkan saya berbakti untuk umi abi lebih lama. Mungkin niat saya memilih kedokteran ingin Allah luruskan.

‘ah. Lagipula hanya memilih kedokteran. Belum tentu diterima. Setidaknya aku sudah cukup menyenangkan hati mereka dengan memilih sesuai dengan harapan terdalam mereka.. setidaknya pilihanku ini sudah cukup buat mereka senang’. Niat berbakti yang setengah-setengah –“

Siapa yang sangka nilai amburadul saya bisa tembus di pilihan pertama?

Saya bahkan sudah benar-benar pasrah dan cukup percaya diri melengang ke pintu sbmptn. Sampai ternyata semuanya salah. Semua rencana Allah gagalkan bahkan sebelum benar-benar matang rencananya. TIDAAAAK! Saya tersudut. Bisakah saya lari? Jawabnya tidak. Akhirnya disinilah saya. Mengungsi ke kaki gunung karang lagi, mencari-cari pelajaran baru apa yang bisa saya petik?

Mungkin bakti saya pada mereka masih jauh dari kata cukup. Dan Allah langsung pilihkan jalan kedokteran agar saya tak usah repot-repot cari jalan untuk berbakti pada ummi abi.


Allah sebaik-baik pemberi keputusan. Saya tahu dan yakin ini adalah keputusan terbaik yang Allah berikan. 

SNMPTN. Dan mimpi-mimpi saya (3)

Karena yang harus dikejar bukan cuma mimpi sendiri. Karena sebenarnya ada yang harus lebih dikejar.
Mengejar Ridho Allah.
Karena Ridho Allah itu hadir karena keridhoan orangtua. Bukan hanya orangtua yang telah melahirkan kita, tapi orangtua lain yang telah melahirkan banyak pemahaman alam semesta.

Karena jika aku ikut sbmptn dan simak ui, maka yang tinggal hanya keegoisan belaka. Yang ada hanya kerakusan semata sok-sok bisa masuk ke fakultas kedokteran yang paling top di indonesia, katanya. Yang pada akhirnya, untuk apa semua ini? Untuk apa ikut sbmptn demi fmipa itb? Yang jelas2 harapan orangtua berakhir pada kata dokter. Untuk apa ikut simak ui? Toh sebenarnya kamu ga pengen jadi dokter kan? Kenapa pula harus mengejar fkui?
                Dan lagi-lagi sungguh, jika semua keegoisan itu diikuti maka yang tinggal hanyalah keserakahan, kerakusan, dan ke-an yang lainnya.
                Cukup berhenti disini. Di snmptn saja.


Terjawab, 3 juni, perpustakaan kaki gunung karang.

SNMPTN. Dan mimpi-mimpi saya (2)

Kesempatan ikut SBMPTN di depan mata. Do i have a chance? Ofcourse!i absolutely have a chance to follow it. Dengan segala resiko yg akan ditanggung. Entah komentar ga enak, kesinisan, hinaan keplin plan an. Dan lainnya. Dan lain lainnya.
Kesempatan ada, dan terbuka jelas pintunya. Tinggal mau maju, atau mundur? Menego mimpi lagi.
Ah mimpi.
                Ternyata teori begitu mudah dicuapkan.
Mengambil kesempatan untuk jadi scientist sekaligus menolak kesempatan untuk jd dokter? Mau berjuang hadapi resiko segunung itu atau berhenti saja? Membiarkan mimpi itu menguap? Mengutuk dalam hati nanti karena tak berani berlari padahal pintu ada di depan mata. Mau terbuai saja dengan panggilan dokter tanpa memperjuangkan scientist?
“jadi.. dokter? Ga nerusin ke mipa?”
“sebenarnya ingin sekali ikut sbmptn, tapi ana ga seberani itulah ngorbanin adek kelas”
“tapi itu hak ente”
“-_______-“ *nangis mewek* (Cuma di dalam hati kok)


Di antara snmptn dan sbmptn, 1 juni

SNMPTN. Dan mimpi-mimpi saya (1)

Saya bukan manusia luar biasa. Yang punya mimpi-mimpi besar sejak kecil. Yang sudah tahu akan menjadi apa sejak kecil. Saya Cuma manusia biasa. Dengan kemampuan yang masih sangat biasa. Dan mimpi-mimpi yang baru lahir ketika duduk di bangku sma.
Sejak dulu jika ada yang bertanya ‘mau jadi apa’, saya cuma bisa tersenyum-senyum dan ngeles dengan jawaban maha standar ‘pengin jadi anak yang bermanfaat buat agama, keluarga, negara, dan dunia.’ Atau jawaban lain yang lebih polos, ‘pengin bahagiain umi abi dan masuk surga’. Klasik, standar, dan penuh ketidakjelasan. Bukan tidak jelas surga atau kebahagiaannya, tapi tidak jelas jalan menuju kesananya. Ke surga dan ke kebahagiaan orangtua itu.
Harus ada jembatan, semacam jalan hidup lain yang harus diupayakan demi mencapai tujuan mulia itu. Sempat terpikir untuk jadi arsitek, karena saya senang matematika dan mendesain rumah. Cita-cita yang muncul karena hobi main the sims masa sd dulu. Pernah juga ingin menjadi penulis, walau bingung harus ambil kuliah apa. Pernah ingin jadi jurnalis, karena merasa sangat keren dengan pekerjaan yang satu itu, tapi kemudian menguap lagi. Lalu kemudian saya menyadari di akhir-akhir smp untuk menjadi pengajar. Karena saat itu benar-benar merasakan nikmatnya jadi seorang guru. Namun bingung lagi, harus jadi pengajar yang bagaimana? Bidang apa?
Saya kemudian masuk sman di banten. Sekolah negeri yang menerapkan sistem boarding school. Harapan saya ketika masuk sana sungguh tinggi. Bisa menang kompetisi ini itu dan ikut program pertukaran pelajar. Karena saya dengar sma ini punya segudang prestasi lomba dan channel abroad yang bagus. Nyatanya? Sulit sekali untuk menang di kompetisi ini itu. Dan bahkan, kompetisi dengan teman seangkatan untuk ikut lomba saja sulit ditaklukan. Matematika yang dulu jadi hobi saya mendadak seperti mimpi buruk. Saya jadi sangat lemah dan mudah putus asa. Apalagi melihat teman seangkatan yang jebolan olimpiade sains, argh jadi makin pesimis.
Menyadari matematika yang tidak mudah ditaklukan, saya akhirnya memutuskan untuk cari hobi baru. Sempat ikut ekskul karya ilmiah, sebentar dan tidak saya teruskan. Berhenti begitu saja ketika sadar kemampuan menulis ilmiah yang buruk sekali. Saya butuh bantuan. Namun karena terlalu payah, bahkan minta tolongpun jadi urung dilakukan. Akhirnya saya pindah lagi, ke kimia.
Saya bukanlah seorang expert di kimia. Saya masih sering remed dan banyak kesalahan konsep disana sini. Ah tapi waktu itu, saya merasa bisa memenangkan pelajaran bernama kimia. Kenapa? Karena saya pikir semua orang start belajar kimia sama-sama di sma. Jadi kita adil.
Saya mulai sering mengikuti lomba kimia, dan jadi ketagihan! Walau akhirnya di pertengahan kelas 2 saya putuskan untuk berhenti karena ada trouble dgn partner kelompok. Tulisan ‘peserta OSN kimia 2012’ yang tertempel di depan lemari sejak november 2011, akhirnya saya lepas di bulan februari 2012. Saya tutup mimpi saya. Bagai tertabrak tembok penghalang besar yang sebenarnya adalah kepercayaan diri sendiri yang sangat minim.
Nyatanya Allah memberikan mimpi yang sudah saya lepaskan itu. Dengan skenarioNya yang tidak pernah saya duga, saya bisa ikut osk kimia dan berlanjut sampai osp. Yap walau harus berhenti di osp namun  pengalaman yang satu ini jadi pelajaran buat saya. Efeknya: saya jadi tambah suka sama kimia dan suka gemas sendiri melihat sintesis ini itu. Dan akhirnya saya putuskan untuk tidak beralih lagi. Saya mau masuk ke dunia kimia. Walau saat ini pemahaman saya masih amburadul dan beberapa penalaran math dan physic saya harus direkonstruksi, saya Cuma pengin masuk ke dunia kimia. Rasanya berada di lab, bermain2 dengan molekul dan tabung disana sini itu mengasyikkan sekali.
Keinginan saya masuk ke kimia bertentangan dengan harapan orangtua saya. Walau pada akhirnya mereka membebaskan saya ingin memilih apa, namun saya tak sampai hati menolak harapan mereka. Akhirnya saya memilih kedokteran. Cukup sampai memilih, pikir saya ketika itu. Toh belum tentu masuk.
Maka ketika pengumuman snmptn kemarin saya melihat kata ‘selamat’ diikuti dengan kalimat ‘pendidikan dokter’ setelah kolom jurusan, Alhamdulillah saya terucap seiring dengan melayangnya mimpi ‘ahli kimia’. Ya, detik itu saya menyadari akan kecil sekali peluang saya meninggalkan kedokteran. Walau ibu menyerahkan sepenuhnya keputusan pada saya, tapi banyak pertimbangan yang akhirnya harus diambil..