Jun 6, 2013

SNMPTN. Dan mimpi-mimpi saya (1)

Saya bukan manusia luar biasa. Yang punya mimpi-mimpi besar sejak kecil. Yang sudah tahu akan menjadi apa sejak kecil. Saya Cuma manusia biasa. Dengan kemampuan yang masih sangat biasa. Dan mimpi-mimpi yang baru lahir ketika duduk di bangku sma.
Sejak dulu jika ada yang bertanya ‘mau jadi apa’, saya cuma bisa tersenyum-senyum dan ngeles dengan jawaban maha standar ‘pengin jadi anak yang bermanfaat buat agama, keluarga, negara, dan dunia.’ Atau jawaban lain yang lebih polos, ‘pengin bahagiain umi abi dan masuk surga’. Klasik, standar, dan penuh ketidakjelasan. Bukan tidak jelas surga atau kebahagiaannya, tapi tidak jelas jalan menuju kesananya. Ke surga dan ke kebahagiaan orangtua itu.
Harus ada jembatan, semacam jalan hidup lain yang harus diupayakan demi mencapai tujuan mulia itu. Sempat terpikir untuk jadi arsitek, karena saya senang matematika dan mendesain rumah. Cita-cita yang muncul karena hobi main the sims masa sd dulu. Pernah juga ingin menjadi penulis, walau bingung harus ambil kuliah apa. Pernah ingin jadi jurnalis, karena merasa sangat keren dengan pekerjaan yang satu itu, tapi kemudian menguap lagi. Lalu kemudian saya menyadari di akhir-akhir smp untuk menjadi pengajar. Karena saat itu benar-benar merasakan nikmatnya jadi seorang guru. Namun bingung lagi, harus jadi pengajar yang bagaimana? Bidang apa?
Saya kemudian masuk sman di banten. Sekolah negeri yang menerapkan sistem boarding school. Harapan saya ketika masuk sana sungguh tinggi. Bisa menang kompetisi ini itu dan ikut program pertukaran pelajar. Karena saya dengar sma ini punya segudang prestasi lomba dan channel abroad yang bagus. Nyatanya? Sulit sekali untuk menang di kompetisi ini itu. Dan bahkan, kompetisi dengan teman seangkatan untuk ikut lomba saja sulit ditaklukan. Matematika yang dulu jadi hobi saya mendadak seperti mimpi buruk. Saya jadi sangat lemah dan mudah putus asa. Apalagi melihat teman seangkatan yang jebolan olimpiade sains, argh jadi makin pesimis.
Menyadari matematika yang tidak mudah ditaklukan, saya akhirnya memutuskan untuk cari hobi baru. Sempat ikut ekskul karya ilmiah, sebentar dan tidak saya teruskan. Berhenti begitu saja ketika sadar kemampuan menulis ilmiah yang buruk sekali. Saya butuh bantuan. Namun karena terlalu payah, bahkan minta tolongpun jadi urung dilakukan. Akhirnya saya pindah lagi, ke kimia.
Saya bukanlah seorang expert di kimia. Saya masih sering remed dan banyak kesalahan konsep disana sini. Ah tapi waktu itu, saya merasa bisa memenangkan pelajaran bernama kimia. Kenapa? Karena saya pikir semua orang start belajar kimia sama-sama di sma. Jadi kita adil.
Saya mulai sering mengikuti lomba kimia, dan jadi ketagihan! Walau akhirnya di pertengahan kelas 2 saya putuskan untuk berhenti karena ada trouble dgn partner kelompok. Tulisan ‘peserta OSN kimia 2012’ yang tertempel di depan lemari sejak november 2011, akhirnya saya lepas di bulan februari 2012. Saya tutup mimpi saya. Bagai tertabrak tembok penghalang besar yang sebenarnya adalah kepercayaan diri sendiri yang sangat minim.
Nyatanya Allah memberikan mimpi yang sudah saya lepaskan itu. Dengan skenarioNya yang tidak pernah saya duga, saya bisa ikut osk kimia dan berlanjut sampai osp. Yap walau harus berhenti di osp namun  pengalaman yang satu ini jadi pelajaran buat saya. Efeknya: saya jadi tambah suka sama kimia dan suka gemas sendiri melihat sintesis ini itu. Dan akhirnya saya putuskan untuk tidak beralih lagi. Saya mau masuk ke dunia kimia. Walau saat ini pemahaman saya masih amburadul dan beberapa penalaran math dan physic saya harus direkonstruksi, saya Cuma pengin masuk ke dunia kimia. Rasanya berada di lab, bermain2 dengan molekul dan tabung disana sini itu mengasyikkan sekali.
Keinginan saya masuk ke kimia bertentangan dengan harapan orangtua saya. Walau pada akhirnya mereka membebaskan saya ingin memilih apa, namun saya tak sampai hati menolak harapan mereka. Akhirnya saya memilih kedokteran. Cukup sampai memilih, pikir saya ketika itu. Toh belum tentu masuk.
Maka ketika pengumuman snmptn kemarin saya melihat kata ‘selamat’ diikuti dengan kalimat ‘pendidikan dokter’ setelah kolom jurusan, Alhamdulillah saya terucap seiring dengan melayangnya mimpi ‘ahli kimia’. Ya, detik itu saya menyadari akan kecil sekali peluang saya meninggalkan kedokteran. Walau ibu menyerahkan sepenuhnya keputusan pada saya, tapi banyak pertimbangan yang akhirnya harus diambil..

No comments: