Jul 14, 2017

MENITI BATAS (bag 2)

(Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, Sp.OG)


Memutuskan untuk mengakhiri kehamilan ketika nyawa seorang perempuan terancam akibat kehamilannya bukanlah urusan mudah. Meskipun sepanjang pendidikanku sebagai dokter kami selalu dilatih untuk berempati kepada pasien, bukan bersimpati, namun bagiku bersikap profesional tanpa melibatkan perasaanku sediri adalah hal yang sangat sulit. Aku juga perempuan, pernah hamil dan melahirkan, mengerti betul perasaan para perempuan yang berada di posisi mereka (mungkin aku termasuk golongan dokter mellow dan cengeng, yet I can’t help it).

Sore itu kami memulai jaga malam di IGD (instalasi gawat darurat) dengan loading pasien “full capacity” dan hampir semuanya adalah pasien-pasien berisiko tinggi. Waktu itu aku baru tahap 2A, di semester kedua pendidikan spesialis obstetri dan ginekologiku. Sebelum ronde, kami harus “operan pasien” dengan sejawat yang bekerja pagi sampai siang sebelumnya. Biasanya tahap 2A bertanggung jawab terhadap pasien-pasien penghuni kamar eklamsi, suatu ruangan khusus di IGD Obgin yang didedikasikan untuk merawat pasien-pasien yang menderita pre/eklamsia (dulu dikenal juga sebagai toxaemia gravidarum, keracunan kehamilan, suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah ibu hamil, bocornya protein dari ginjal ibu hamil, dan bengkak organ atau bagian tubuh ibu hamil).

Eklamsia adalah suatu kondisi yang sampai saat ini masih merupakan misteri mengapa bisa terjadi pada kehamilan, berbagai teori diajukan untuk menjelaskan kondisi ini. Sebagian ahli berpendapat kondisi ini adalah bukti cinta ibu kepada janinnya, saat pasokan darah yang membawa nutrisi dan oksigen tidak sampai secara optimal kepada janin yang sedang tumbuh dalam kandungan ibunya, maka secara otomatis tubuh ibu mengatur agar tekanan darah ditingkatkan supaya aliran darah ibu dipastikan sampai ke janin. Ternyata komplikasi akibat kondisi ini sangat fatal, bahkan pre-eklamsia dan eklamsia menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan di Indonesia. Terapi definitif kondisi ini ternyata sangat sederhana, yaitu melahirkan bayinya. Tapi pada praktiknya, tentu jauh dari sesederhana itu.

“Titip pasien-pasienku yaa... Ga bagus semua kondisinya..” ujar kolegaku yang bertugas sejak subuh tadi di kamar eklamsi. “Huhu...kerja rodi dong ya malam ini...” jawabku setengah bercanda. “Apa aja pasiennya?” tanyaku sambil sibuk membuka-buka rekam medis mereka di meja depan kamar eklamsi. “Yang bed ujung hamil 28 minggu, riwayat seksio 2x dengan diabetes mellitus gula darahnya belum terkontrol, dan pre eklamsia berat (PEB) tekanan darahnya masih fluktuatif. Dua anak yang lahir lewat seksio sebelumnya IUFD (intra uterine fetal death) semua, jadi anak yang ini bener-bener dinanti lho, awas jangan sampe tiba-tiba DJJ (denyut jantung janin) ilang yaa... Yang sebelahnya PEB mau terminasi kehamilan, udah 35 minggu, tensi udah terkontrol tapi nunggu hasil-hasil lab nya, jangan lupa dikejar yaa... Yang pojok pasien kiriman dari ICU, post seksio atas indikasi eklamsi gravidarum, kesadaran masih somnolen dan fungsi ginjalnya jelek... Yang bed sisi kanan PEB tapi masih mau dikonservatif, soalnya masih 33 minggu. Pastikan tensi stabil ya supaya besok pagi bisa dikirim rawat di ruangan... Yang di tengah juga mau konservatif, tapi tadi CTG bayinya ga gitu bagus, kalo emang ga bagus mungkin harus seksio malam ini...Nah yang ini, baru datang dari ruangan. PEB hamil 24 minggu, tensinya fluktuatif terus dan mulai ada perburukan laboratorium. Sedang cek lab lagi, belum ada hasil, ntar kalo udah ada dan ternyata emang perburukan tambah berat, direncanakan mau terminasi...” jelas kolegaku itu panjang lebar yang semakin membuat nasibku jelas malam ini, kerja rodiii....

Enam bed di kamar eklamsi yang penuh sudah jelas menjadi tanggung jawabku. Observasi pasien-pasien di kamar-kamar lain juga menjadi tanggung jawabku, namun kudelegasikan kepada 2 juniorku dengan supervisi dan tanggung jawab di tanganku. Begitulah pembagian kerja dalam shift jaga kami. Semua orang memiliki tanggung jawab, dan sang chief serta jaga utama (2 residen senior yang memimpin jaga) yang bertanggung jawab semua dan melaporkannya kepada seorang konsulen jaga yang stand-by juga di kamarnya di sudut belakang IGD.

Setelah mempelajari semua rekam medis yang mesti kukuasai, maka mulailah aku menyapa pasien-pasienku di kamar eklamsi (tentu hanya mereka yang compos mentis alias baik kesadarannya yang bisa kusapa) sambil berkoordinasi dengan seorang perawat penanggung jawab ruangan eklamsi. Pasien-pasien di sini akan harus dilakukan pengukuran tensi setidaknya 1 jam sekali, malah pasien yang tensinya tidak terkontrol dan harus dilakukan titrasi dosis obat antihipertensinya harus ditensi setiap 15 menit untuk mengevaluasi dosis obatnya. Yang lebih parah lagi, jaman itu rumah sakit kami tidak punya monitor observasi tanda-tanda vital yang secara otomatis melaporkan tensi, nadi, nafas, saturasi, dan hal-hal penting lainnya pada pasien berisiko tinggi seperti pasien-pasienku ini. Jadilah kami harus secara manual memeriksa semua itu setiap 15 menit jika perlu, dan aku punya 6 pasien. Artinya aku tak akan punya kesempatan duduk malam ini. Belum lagi harus juga memeriksa denyut jantung janin pasien yang masih hamil dengan manual menggunakan Doppler (alat cardiotocography, CTG, yang merekam denyut jantung janin dan kontraksi ibu, di rumah sakit kami hanya ada 2 untuk sekian puluh pasien). Idealnya, monitoring janin pasien-pasien risiko tinggi seperti itu harus dilakukan secara terus-menerus (continuous monitoring) karena kondisi janin bisa sewaktu-waktu memburuk. Karena jumlah alat terbatas, kamilah yang harus menggantikan alat-alat tersebut dengan melakukan pemeriksaan manual. Aku juga harus memperhatikan produksi urin/kencing setiap pasien, memastikan bahwa ginjal mereka baik-baik saja, tidak mendapat komplikasi kondisi pre-eklamsia atau eklamsianya. What a labour-intensive job, wasn’t it? In fact, it was only me who should do all those works.

Semua residen sudah tahu bahwa pekerjaan seperti kami memang berat, dan bila memang tetap ingin memilih profesi ini, you just have to live with it... Bahkan pekerjaan yang terkesan remeh sekalipun seperti mengukur produksi kencing dan menghitung berapa cairan yang masuk diminum pasien dan keluar melalui urinnya, bisa menyelamatkan nyawa ibu dan janin. Bila tidak dikerjakan dengan serius, maka nyawa ibu dan janin adalah taruhannya. Para seniorku selalu mencontohkan kasus (entah terjadi betulan atau tidak) bahwa suatu ketika ada seorang pasien yang mengalami edema paru akut (paru-parunya terendam cairan karena pada kondisi eklamsi cairan mudah sekali keluar dari pembuluh darah yang bocor) gara-gara residen yang bertanggung jawab lalai melakukan perhitungan cairan. Edema paru adalah kondisi fatal yang bisa mengakibatkan kematian ibu, tentu juga janinnya.

“Udah kayak setrikaan ya Dok, mondar-mandir melulu dari tadi”, canda seorang pasien yang sedang kuukur tekanan darahnya. “Abis ga licin-licin sih...”, jawabku sekenanya sambil tersenyum dan memelototi alat tensiku. Ini adalah pasien terakhir yang diceritakan kolegaku tadi, seorang nyonya berusia 37 tahun, sedang hamil yang ketiga. Dua kehamilan sebelumnya juga berkomplikasi pre-eklamsia berat, semua harus dilahirkan prematur dan kedua bayinya meninggal karena komplikasi prematuritas. Hamil ketiganya ini, juga berkomplikasi pre-eklamsia berat pada usia kehamilannya yang baru 24 minggu, sehingga digolongkan sebagai suatu early-onset pre-eclampsia, dan biasanya prognsosisnya tidak begitu baik. Tensinya tidak juga terkontrol walaupun obat-obat antihipertensi telah diberikan.

“Masih belum sesuai target nih Bu, tensinya... Ibu mesti makan obat ini lagi ya, nanti 15 menit lagi saya ukur ulang tekanan darahnya,” kataku sambil menyodorkan sebutir pil. Mengatur penurunan tekanan darah pada penderita pre-eklamsia seperti pasien ini tak ubahnya seperti makan buah simalakama. Bila langsung diberikan obat dengan dosis besar supaya target tekanan darah segera tercapai, maka fatal akibatnya bagi janin, karena tekanan darah yang tiba-tiba turun akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang tiba-tiba, yang berarti pasokan nutrisi dan oksigen juga berkurang tiba-tiba. Namun bila target penurunan tekanan darah tidak segera tercapai, maka organ-organ penting si ibu yang menjadi taruhannya. Komplikasi seperti perdarahan otak, gagal ginjal, gagal hati, dan organ lain bisa terjadi akibat tekanan darah yang terlalu tinggi.

“Hasil lab saya belum datang ya, Dok?”, tanyanya setelah menelan pil yang kusodorkan. “Sebentar lagi saya ambilkan ke lab ya Bu, saya selesaikan menulis rekam medis dulu sebentar...”, jawabku sambil sibuk menulis. “Mudah-mudahan bagus ya Dok hasilnya, saya ga mau kehamilan saya diakhiri lagi sekarang gara-gara hasil lab saya nanti jelek”, gumamnya sambil memandang ke jendela. Aku mengangkat muka memandangnya, “Iya Bu, mudah-mudahan hasilnya bagus”, kataku sambil tersenyum memberi harapan.

“Dokter sudah punya anak?”, tanyanya lagi. “Waahh...Ibu ini mau memuji atau nyindir saya sih? Masak potongan kayak saya masih cocok jadi gadis dan belum pernah melahirkan? Saya sudah punya 2 anak Bu,” jawabku sambil bercanda berusaha menghangatkan suasana. “Senang ya Dok, bisa punya anak, apalagi kalo sehat-sehat. Hamil dan melahirkannya lancar, bayi tumbuh dan berkembang dengan baik...”jawabnya masih dengan nada sedih. Aku hanya bisa mengangguk dan kemudian menyahut, “Saya ambil dulu hasil lab Ibu di bawah ya...”, sebelum ikut larut dalam suasana.

Dengan hati ikut sedih aku melaporkan hasil lab pasien itu ke seniorku; mandor, jagut, serta chief jaga. Semua hasil pemeriksaan laboratorium pasien itu menunjukkan perburukan. Kadar hemoglobin dan trombositnya menurun dibanding pemeriksaan sehari sebelumnya, sedangkan enzim-enzim yang menunjukkan fungsi hati (SGOT dan SGPT) meningkat sampai 3x lipat menunjukkan fungsi organ sudah terganggu. Demikian juga pemeriksaan fungsi ginjal berupa kadar ureum dan kreatinin darah mulai meningkat, menandakan ginjal juga terancam bahaya. Kondisi ini merupakan komplikasi pre-eklamsia dalam kehamilan yang dikenal sebagai HELLP syndrome (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet), kondisi perburukan yang mengharuskan pengakhiran kehamilan segera sebelum kondisi ibu menjadi lebih buruk karena kegagalan berbagai organ pentingnya.

Setelah melaporkan pada Konsulen Jaga saat itu, berdiskusi panjang lebar mengenai alternatif pilihan yang kami punya, maka akhirnya kami sepakat untuk menyarankan pengakhiran kehamilan pasien tersebut. Saat ini usia kehamilannya baru 24 minggu, setidaknya butuh 4 minggu lagi sampai fasilitas perinatologi kami sanggup merawat bayinya dengan survival rate yang baik. Jangankan menunggu 4 minggu, perburukan dan komplikasi lain sudah membayang untuk terjadi sewaktu-waktu dengan nyawa ibu sebagai taruhannya.

Setelah kupanggil suami pasien itu untuk masuk ke ruang rawat dan duduk di sebelah bed istrinya, Konsulen Jaga kami didampingi chief dan jaga utama kemudian menyampaikan kabar yang paling tak ingin didengar oleh pasangan malang itu. Breaking bad news seperti ini, lagi-lagi adalah bagian dari pekerjaan yang paling kubenci. Namun reaksi si pasien itu sungguh di luar dugaanku. Kupikir tadinya tentu dia akan menangis tersedu-sedu karena kesempatannya untuk menimang bayi harus hilang justru karena keselamatan jiwanya terancam bila kehamilannya dilanjutkan.

“Mungkin Yang Kuasa belum ngasih kepercayaan ya Dokter..? Saya ikhlas, bila memang itu yang terbaik... Tapi saya mau, biarpun harapannya kecil, bayi saya kalo dilahirkan nanti tetap ditolong maksimal ya Dokter. Sekarang juga saya mau tunggu obat pematangan parunya selesai sebelum dia dilahirkan. Biar nanti kalo saya dimintai pertanggungjawaban, saya bisa jawab bahwa saya udah usaha maksimal Dokter... Boleh kan begitu..??” jawabnya sambil menatapku lekat-lekat.

Hmmm...yang terbaikkah yang memang kami sarankan untuknya? Berat sekali mempertanggungjawabkan keputusan ini, apalagi pasien itu mempercayakan sepenuhnya keputusan dan nasib bayinya pada kami, pasrah bongkok'an orang Jawa bilang. Dia saja berjuang maksimal untuk keselamatan bayinya, meski nyawanya sendiri sudah di tepi jurang, sewaktu-waktu bisa tergelincir. Apakah kami juga sudah berjuang maksimal agar bisa mempertanggungjawabkan keputusan ini?

Dulu, ketika aku memutuskan untuk memilih obstetri dan ginekologi sebagai bidang yang ingin kudalami, aku selalu beranggapan bahwa profesi ini paling keren dibandingkan bidang lainnya. Betapa tidak, sekali kerja, 2 nyawa dapat tertolong sekaligus, nyawa ibu dan bayi. Tak pernah terpikir bahwa kadang harus membuat pilihan sulit ketika harus memilih mengorbankan salah satu demi menyelamatkan yang lain, atau justru malah 2 nyawa yang melayang.

Di bagian kami, dalam sebulan, setiap residen obgyn wajib melakukan 2 kali jaga di akhir pekan (belum termasuk 4 kali jaga di hari kerja). Jaga di akhir pekan adalah jaga panjang, dimulai dari pukul 8 pagi (pada praktiknya residen harus datang setidaknya pukul 6) dan diakhiri pukul 8 pagi keesokan harinya (umumnya molor sampai siang bila banyak pekerjaan yang belum terselesaikan). Sabtu itu adalah jadwalku untuk jaga di IGD sebagai chief. Aku datang lebih pagi hari itu karena Jumat sorenya ketika aku mampir ke IGD sebelum pulang, semua bed IGD terisi penuh dengan pasien-pasien risiko tinggi. Ditambah lagi, entah kenapa di hari jaga itu, mulai Konsulen Jaga, chief, sampai jaga utama ditempati oleh orang-orang yang dicap dan dikenal sebagai “pembawa pasien” dengan kasus-kasus aneh (memang klenik sih, tapi kebetulan di Sabtu itu kasus-kasus menantang menanti kami).

Begitu tiba, aku langsung mendata pasien-pasien risiko tinggi (kata-kata ini tentu bisa sangat relatif bagi tiap orang, definisi untukku adalah kondisi ibu yang bisa menyebabkan kematian). Setidaknya 3 pasien yang membuat produksi adrenalinku bertambah pagi itu, seorang perempuan yang hamil 16 minggu dalam kondisi keto-asidosis diabetikum, dirawat bersama sejawat Penyakit Dalam di ruang resusitasi IGD lantai 1. Kemudian satu pasien pre-eklamsi berat dengan edema paru akut, kondisinya belum begitu stabil setelah dilakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayinya. Dan satu lagi seorang pasien baru yang tiba semalam, hamil 28 minggu dengan kondisi sesak dan sianotik (kebiruan), dicurigai akibat penyakit jantung yang belum diketahui detilnya.

Ketika operan dengan kolegaku, chief jaga semalam, dia menjelaskan sedikit riwayat pasien yang terakhir kusebutkan di atas. Pasien itu dirujuk oleh sebuah RSUD kota satelit ibu kota, yang juga mendapat rujukan dari seorang bidan desa. Pasien itu, berusia 21 tahun, hamil 28 minggu berdasarkan pemeriksaan sejawatku, dengan taksiran berat bayi kurang lebih 1000 gram saat ini. Dia tidak pernah kontrol kehamilan sebelumnya. Dia hanya pergi ke bidan 2 hari yang lalu karena merasa sangat sesak sampai tidak bisa bernapas. Pasien tersebut mengaku tidak pernah menderita penyakit jantung (mungkin lebih tepatnya tidak tahu karena memang tidak pernah periksa ke dokter). Namun dia mengaku bahwa bila beraktivitas sedikit berat seperti berjalan jauh, maka selalu merasa sesak dan biasanya orang-orang di sekitarnya mengatakan bibir dan mukanya tampak kebiruan. Kondisi tersebut sudah dideritanya sejak kecil, namun karena alasan biaya, kedua orang tuanya tidak pernah membawanya ke dokter atau rumah sakit. Clubbing finger di kedua tangannya cukup menjelaskan bahwa memang suatu kondisi penyakit jantung bawaan tipe sianotik mungkin menjadi latar belakang kondisinya sekarang.

Penyakit jantung yang sifatnya kelainan anatomis, kadang dapat dikompensasi oleh seseorang. Bila tidak melakukan aktivitas yang memaksa fungsi jantung maksimal, penderita kelainan jantung mungkin bisa hidup tanpa keluhan berarti (walaupun pada pasien ini ternyata keluhan sebenarnya sudah ada sejak kecil). Kondisinya akan sangat berbeda bila orang tersebut hamil. Dalam kehamilan, maka proses fisiologis seperti peningkatan jumlah cairan dalam tubuh, metabolisme dengan kebutuhan oksigen tinggi, dan lain sebagainya akan menuntut jantung bekerja ekstra. Beban jantung umumnya menjadi tidak bisa dikompensasi lagi dan muncullah berbagai keluhan seperti sesak. Tidak jarang, kondisi kelainan jantung baru diketahui saat hamil karena sebelum itu jantung dapat berkompensasi dan ketika hamil barulah jantung menyerah.

Ketika ronde pagi, kami bahkan tidak bisa mendekati bed pasien itu beramai-ramai. Pasien itu tampak gelisah dan ketakutan ketika kami kerumuni, dan karena monitor menunjukkan frekuensi jantungnya langsung meningkat drastis bila kami mendekat, maka kami menghindari hal tersebut agar jantungnya tidak semakin terbebani. Sungguh miris memandang pasien itu, tubuhnya kurus kering, tampak pucat kebiruan, sesak tersengal-sengal berusaha menghirup oksigen dari sungkup, namun saturasi oksigen yang terekam di monitor tak pernah lewat dari 78%. Yang menarik, saat itu kondisi bayi yang dikandungnya cukup baik. Pertumbuhannya sesuai dengan usia kehamilannya, dan rekaman jantung bayi baik menunjukkan oksigenasi baik meskipun jantung si ibu kesulitan mencukupi pasokan untuk dirinya sendiri.

“Jangan lupa kejar trainee dari PJT untuk segera datang dan melakukan echocardiography yaa..!!” instruksiku pada seorang junior yang sebelumnya kutugasi untuk menghubungi PJT (Pelayanan Jantung Terpadu, suatu unit tersendiri di rumah sakit kami yang menangani pasien-pasien dengan penyakit jantung). “Sudah saya telpon mbak, tapi kata orang administrasinya, pasien mesti bayar 600 ribu di muka, soalnya kan echo-nya mau dikerjakan di sini. Suami pasien belum datang, yang nunggu di depan itu cuma ibunya, ga punya uang sepeser pun...” jelas juniorku panjang lebar. Sambil tersenyum manis dan bernada merayu, kualihkan pandanganku pada seorang perawat senior IGD kami, “Kak, bantu urusin dong surat-surat pasien itu biar cepet beres. Mesti echo sekarang juga nih. Kalo enggak, kita ga bisa tau kondisi jantungnya dan mau diapain pasiennya nanti.” Umumnya, pasien tidak mampu bisa mendapat keringanan biaya pelayanan medis di rumah sakit kami asal surat-suratnya lengkap.

“Yaelah Dok, suaminya aja belum dateng... Boro-boro surat, KTP aja kagak punya tu pasien. Gimana mau bikin surat jaminan biar dapet keringanan?” jelas perawat itu sambil mengangkat bahu. Nah, biarpun ada mekanisme keringanan, tapi berbagai dokumen yang diminta umumnya sulit dipenuhi oleh pasien, termasuk KTP dan kartu keluarga. “Dia ga punya KTP Jakarta Dok, apalagi KK Jakarta. Dia aslinya dari kampung di Jawa. Pindah ke Bekasi karena ikut suaminya yang kerja jadi buruh pabrik di situ” sambungnya. “Jadi gimana dong, masak ga kita apa-apain pasiennya kalo ga punya surat-surat?”, tanyaku. Sambil mengangkat bahu, sejawat perawatku itu menjawab, “Ya mesti ngurus dululah KTP Jakartanya”. Halaaaahhhh, sampai lebaran kodok juga urusan birokrasi dan administrasi ini tidak akan beres. “Hubungi MOD aja kalo enggak Dok, tapi kayaknya dia belom datang sih jam segini kalo hari libur”, sambungnya untuk menelpon manager on duty rumah sakit kami yang biasanya tetap menyarankan jalur biasa untuk pengurusan surat-surat keringanan yang bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, or as long as needed.


“Na, udah kita urunan aja deh buat echo pasien itu ya. Tarikin semua anggota tim jaga iuran buat bayar ke PJT sekarang. Kalo udah terkumpul uangnya, jemput sekalian ke PJT alat echo dan trainee cardio-nya. Kita nggak punya banyak waktu ngurusin administrasi kayak gini. Waktu kita mending buat ngurusin pasien...” instruksiku pada juniorku yang tadi. Di antara residen di rumah sakit ini, residen obgin terkenal paling tak sabaran dan tak toleran dalam hal menunggu. Dan setiap 15 menit kemudian, aku selalu berkicau mengingatkan juniorku itu untuk tetap menelpon PJT karena dokter dan alat yang kami nantikan belum juga tiba. Bila kami tidak bisa menetapkan masalah apa yang diderita jantungnya, tidak banyak yang bisa kami lakukan bukan?

“Mbak, trainee cardio-nya udah datang tadi. Dia periksa, tapi dia bilang harus konsul dulu sebelum dia bisa jawab surat konsul kita...” lapor juniorku saat aku keluar dari kamar operasi setelah melakukan satu seksio. “Telpon lagi deh ke sana, bilang kita minta keputusan pasiennya harus diapakan? Harus diterminasi sekarang nggak kehamilannya? Terus mau diapain pasiennya?” seruku gemas. Untunglah sebelum kesabaranku habis, datang trainee senior cardio yang kemudian memeriksa ulang pasien itu dengan seksama.

“Prognosisnya buruk nih, Mbak...”, begitu kalimat pembukanya ketika aku dengan muka bertanya menanti trainee senior itu mengisi surat konsul yang kami kirimkan sejak pagi tadi. “Saya rasa ini ASD, tapi sudah sampe terjadi hipertensi pulmonal dan Eissenmenger syndrome. Susah ditentukan hanya dengan echo biasa, mesti TEE...”, jelasnya. ASD (atrial septal defect, ada celah pada sekat yang memisahkan kedua serambi jantung kiri dan kanan) adalah suatu kelainan bawaan, menyebabkan bercampurnya darah “bersih” dan darah “kotor” jantung, dan berkomplikasi tingginya tekanan darah di paru-paru yang menyebabkan jantung semakin sulit memompa darah ke paru-paru untuk mengambil oksigen yang masuk. Itulah sebabnya pasien itu tampak kebiruan, darah yang beredar di tubuhnya kurang mengandung oksigen, justru lebih kaya karbon dioksida. Rasanya tak mungkin juga melakukan TEE (trans esophageal echocardiography) pada pasien ini, kondisinya buruk dan tidak mungkin dimobilisasi.

“Jadi, mesti diapain nih kehamilannya Dok?”, tanyaku. “Hmmm, kalau sudah begini sih, kemungkinan survive nya saya rasa tak lebih dari 10%. Tidak hamil saja saya rasa segitu, kalau hamil ya Mbak tau sendirilah...”, jawabnya menggantung. “Ini baru 28 minggu Dok, beban cairan masih akan terus bertambah dan mencapai maksimal di 32 minggu kehamilan. Kalau misalnya dilahirkan, nanti back flow nya gimana?” jelasku, juga mengingatkan bahwa bila seorang ibu hamil melahirkan, maka sejumlah besar cairan yang mengalir dari rahimnya yang mengecil karena isinya sudah keluar semua akan mengalir balik ke jantung dan menjadi beban luar biasa secara tiba-tiba bagi jantung, dikenal sebagai back flow.

“Ya justru itulah mengapa saya bilang prognosisnya buruk. Mau ditunda atau dilahirkan sekarang, tidak ada pengaruhnya Mbak...” ujarnya kembali menggaris bawahi kalimat pembukanya tadi. “Saya rasa pasien ini harus dirawat di ICU Mbak, ga bisa di sini... Mesti diobservasi ketat”, jelasnya sambil menyerahkan jawaban surat konsul kami. “Bila perburukan sewaktu-waktu, saya rasa ada tempatnya bayinya segera dilahirkan untuk mempermudah resusitasi nantinya, walaupun mungkin komplikasi back flow akan sangat berat...” jelasnya yang membuatku semakin garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Akhirnya menjelang sore, suami pasien itu datang juga ke IGD. Rupanya, hari itu giliran shift nya sebagai sorang buruh pabrik kertas di suatu daerah industri, lumayan jauh dari rumah sakit kami. Aku memanggil suami dan ibu pasien itu untuk menerangkan kondisi istrinya itu. Aku yakin sangat sulit bagi mereka mencerna apa yang kujelaskan, namun ketika kujelaskan bahwa harapan hidupnya mungkin kecil mengingat kondisinya saat ini, dan kehamilan serta persalinan bisa membuat jantungnya berhenti bekerja sewaktu-waktu, suami dan ibu pasien itu tampak terkejut.

“Saya berani sumpah Dok, saya nggak tau istri saya punya sakit jantung... Kalo saya tau, dan tau bahwa istri saya itu sebenernya ga boleh hamil, pasti ga akan gini kejadiannya...”, jelas si suami dengan nada penuh penyesalan. “Saya percaya kok, Pak...Bukan salah Bapak, bukan salah siapa-siapa...”, jawabku berusaha menenangkan. Aku juga menenangkan si suami yang bingung ketika kumintai ijin mengirim istrinya itu untuk dirawat di ICU. “Aduh Dokter, ini aja saya cuma nitip KTP di kasir... Gimana kalo mau dirawat di ICU? Duit buat bayarnya dari mana entar?” tanyanya kebingungan dan panik. “Kami yang urus semuanya Pak..!!” jawabku meyakinkan. Aku sudah menelpon Koordinator Pelayanan Medik departemen kami dan bagian keuangan rumah sakit, meminta jaminan pelayanan untuk pasien itu. Jadi kami bisa fokus manangani masalah medis pasien dan menyerahkan urusan administrasi pada yang berwenang.

Begitu pasien itu dipindahkan ke ICU yang letaknya satu lantai di bawah IGD kami, aku langsung ikut turun ke bawah memastikan bahwa semua instruksi dari sejawat kardiologi sore tadi dijalankan semua di ICU. Ruang ICU memiliki fasilitas dan peralatan jauh lebih lengkap dibandingkan ruang rawat kami dan laboratorium juga berlokasi di lantai yang sama. Mereka memiliki mesin X-ray sendiri, sehingga pasien tidak perlu dimobilisasi ke departemen radiologi bila perlu dilakukan foto ronsen, seperti pasien tersebut. Mesin X-ray portable itu tinggal didorong ke atas bed pasien, dan pasien tinggal diposisikan untuk difoto.

Saat aku beranjak akan kembali ke lantai 3 tempat IGD obgin berada, tiba-tiba seorang perawat ICU memanggilku. Aku kembali ke bed pasien itu dan si pasien dengan nafas tersengal-sengal berkata dengan takut dan panik, “Saya ga mau dironsen, ronsen bisa bahaya buat bayi saya...!! Dokter, tolong bawa pergi alat ini, pokoknya saya ga mau dironsen...”. Susah payah aku menjelaskan padanya, “Ibu tenang aja, ronsen yang ini aman kok buat bayi ibu, kan dia udah cukup besar sekarang. Lagian dosis ronsen untuk foto dada aja aman kok. Ini demi keselamatan Ibu. Kami harus foto ronsen dada ibu supaya bisa lihat kondisi jantung dan paru-paru Ibu, dan kemudian mengobati Ibu”, bujukku. “Dokter bohong...!! Ronsen ini bahaya buat bayi saya. Pokoknya saya nggak mau dironsen. Biarin saya ga usah diobatin, biarin saya mati, asal bayi saya selamat...” lanjutnya lagi terbata-bata dan tersengal-sengal. Monitor di sebelah pasien itu mulai mengeluarkan bunyi alarm berisik karena frekuensi nadi yang terekam mulai meningkat dan saturasi oksigen pasien itu semakin menurun. Melihat gelagat buruk di monitor, akhirnya aku memberi isyarat petugas radiologi ICU memindahkan lagi alat X-ray dari bed pasien itu dan mengikuti permintaannya. “Baiklah, tidak usah ronsen sekarang Bu. Ibu istirahat saja dulu di sini ya...”kataku mengakhiri perdebatan agar jantung pasien itu tidak gagal sekarang gara-gara bekerja ekstra memompakan oksigen hanya demi berdebat menolak pemeriksaan ronsen dada (walaupun kami sangat membutuhkan pemeriksaan tersebut untuk mengevaluasi kondisi jantung dan paru-parunya).

Pasien dengan ASD berkomplikasi hipertensi pulmonal dan sindrom Eissenmenger yang bisa hamil sampai usia kehamilan cukup besar seperti pasien ini sangat jarang. Di tempat kami yang rujukan nasional saja, hanya pernah ada 3 atau 4 kasus dalam 5 tahun terakhir, dan semua berakhir dengan kematian ibu. Satu kasus ketemui sendiri 1 tahun sebelumnya. Waktu itu pasiennya datang dengan hamil cukup bulan dan sudah masuk dalam fase aktif persalinan. Seketika itu semua tim lengkap dari obgin, kardiologi, anestesi bersiap siaga mendampingi proses persalinannya secara painless labour. Kondisi masih terkontrol sampai saat bayi dilahirkan dengan ekstraksi forseps, kemudian plasenta dilahirkan secara manual. Begitu plasenta lahir dan rahim berkontraksi baik menyetop aliran darah, maka proses back flow dimulai. Dalam hitungan detik saturasi oksigen pasien itu terus menurun dan walaupun kolega anestesi dan kardiologi melakukan semua yang mereka bisa, saturasi terus menurun. Tak kurang dari 5 konsultan dan 10 residen obgin, anestesi, dan kardiologi, tak bisa berbuat banyak menaikkan saturasi oksigen dan membuat jantung pasien itu berdenyut. The nature took it course, dan pasien itu meninggal di hadapan kami semua sepuluh menit setelah melahirkan bayinya yang sehat dan menangis kuat.

Saat berdiskusi dengan kolegaku sejawat perinatologi mengenai kemungkinan survival bayi pasien itu yang saat ini berusia 28 minggu dan taksiran beratnya sekitar 1000 gram, sejawatku menyatakan chance bayi itu cukup baik untuk bisa hidup bila memang dia tak berada dalam kondisi hipoksia saat ini dalam rahim. Well, sulit untuk mengatakan demikian, sang ibu saja sudah jelas hipoksia. Tentu janin yang dikandungnya juga demikian adanya karena toh dia mengandalkan pasokan oksigen dari ibunya. Sempat terlintas untuk melahirkan saja janinnya sekarang sebelum kondisi hipoksia berkepanjangan terjadi pada janinnya, mungkin si bayi bisa ditolong, sedangkan si ibu seperti sudah dibahas sebelumnya hanya memiliki chance kecil untuk bisa survive, regardless of when and what would be done. Tapi tentu ini menyalahi diktum obstetri, di mana keselamatan ibu selalu didahulukan daripada janin yang dikandungnya. Melahirkan bayinya sekarang ibarat membuka pintu bendungan dan menginisiasi banjir bandang yang meluluh-lantakkan jantung pasien itu.

Akhirnya malam itu dilewatkan dengan status quo untuk pasien tersebut. Kondisinya tetap sama sampai keesokan harinya. Kami merencanakan suatu urgent clinical meeting bersama kardiologi, anestesi, dan perinatologi untuk membahas bersama apa yang terbaik untuk dilakukan terhadap pasien tersebut. Namun sayang, kemudian aku mendapat berita dari tim jaga selanjutnya bahwa kondisi pasien itu tiba-tiba memburuk di ICU. Dilakukan operasi seksio sesarea emergency untuk mempermudah resusitasi ibu. Ternyata bayinya juga telah mengalami hipoksia berkepanjangan dan tidak dapat ditolong lagi. Sedangkan jantung sang ibu menyerah pada back flow pasca persalinan tidak lama setelah operasi, seperti sudah kami duga sebelumnya. Kembali terlintas di benakku, kalau saja kami langsung lahirkan bayinya malam itu, mungkin si bayi masih dapat ditolong dan keinginan si ibu untuk menukar nyawanya demi si bayi dapat terpenuhi.

Aku yakin pasien itu tak pernah melafalkan sumpah “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan” seperti kami para dokter. Tapi mungkin sumpah itu otomatis mengalir dalam pembuluh nadi setiap calon ibu, selalu terhirup dalam setiap tarikan nafas perempuan yang bercita-cita menimang bayinya.

Watford, 24 Desember 2012

*untuk Ibuku, perempuan sederhana berhati baja, pembakar tungku semangat, pengalir kasih tak mengharap pamrih...yang hari ini genap berusia 58 tahun

No comments: