Tidak harus bersama baktinusa.
Aku tahu Allah memiliki
rencanaNya yang terbaik dan terindah.
Aku tahu, mungkin akan lebih
mudah bagiku bila tidak diterima di baktinusa.
Tapi Allah, entah mengapa, masih
hangat di bayangku, masih terngiang di telingaku, pertanyaan salah seorang
pewawancara: kalau nanti ditantang untuk
nulis buku, bisa ya?
Seperti ada petir.
Insya Allah. Jawabku ragu.
Udah tau mau nulis tentang apa? tanya beliau lagi.
Belum.. eh tapi saya ingat di proposal hidup itu, saya pingin
bikin tulisan tentang gimana caranya biar mahasiswa juga punya semangat untuk
ngafal dan menjaga hafalan.
Nah itu. Jadi siap ya kalau ditantang untuk nulis buku? Tanya beliau
dengan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
In syaa Allah. Dengan bimbingan
Allah dan pembinaan dari baktinusa. Jawabku akhirnya mencoba mantap. Jawaban
yang entah mengapa menerbitkan senyum optimisku.
Padahal, ada sekian banyak pertanyaan yang jawabannya
menggantung. Ada banyak kejujuran dan alasan yang belum sempat terungkap.
Ada satu pertanyaan yg sampai
saat ini juga masih terngiang: di umur 40
tahun nanti, kamu ingin dikenal sebagai apa?
Aku lupa pastinya kujawab seperti
apa, yang jelas, jawabanku tidak sefasih tulisan yang tergambar di otakku.
Aku ingin dikenal sebagai ibunya ummat, ibunya anak-anak. Seperti
ustadzah yoyoh yusroh yang memperjuangkan tanah palestina. Aku ingin dikenal
sebagai seorang dokter jiwa yang bisa mengobati mental keluarga broken home. Aku
ingin jadi ibu yang kuat seperti ummi. Aku ingin dekat dengan anak-anak
jalanan, dengan ibu-ibu single parent, dan aku ingin mereka dekat dengan Qur’an
karena adanya klinik recovery jiwa yang kami buat.
Entah bagaimana tim pewawancara
mendengar dan menafsirkan jawabanku, yang pasti aku memang harus belajar banyak
untuk menyampaikan sesuatu lewat lisan..
No comments:
Post a Comment