Mar 29, 2016

Tentang pelajaran hidup bernama baktinusa (2)

Tidak harus bersama baktinusa.
Aku tahu Allah memiliki rencanaNya yang terbaik dan terindah.
Aku tahu, mungkin akan lebih mudah bagiku bila tidak diterima di baktinusa.

Tapi Allah, entah mengapa, masih hangat di bayangku, masih terngiang di telingaku, pertanyaan salah seorang pewawancara: kalau nanti ditantang untuk nulis buku, bisa ya?

Seperti ada petir.
Insya Allah. Jawabku ragu.

Udah tau mau nulis tentang apa? tanya beliau lagi.

Belum.. eh tapi saya ingat di proposal hidup itu, saya pingin bikin tulisan tentang gimana caranya biar mahasiswa juga punya semangat untuk ngafal dan menjaga hafalan.

Nah itu. Jadi siap ya kalau ditantang untuk nulis buku? Tanya beliau dengan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.

In syaa Allah. Dengan bimbingan Allah dan pembinaan dari baktinusa. Jawabku akhirnya mencoba mantap. Jawaban yang entah mengapa menerbitkan senyum optimisku.

Padahal,  ada sekian banyak pertanyaan yang jawabannya menggantung. Ada banyak kejujuran dan alasan yang belum sempat terungkap.

Ada satu pertanyaan yg sampai saat ini juga masih terngiang: di umur 40 tahun nanti, kamu ingin dikenal sebagai apa?

Aku lupa pastinya kujawab seperti apa, yang jelas, jawabanku tidak sefasih tulisan yang tergambar di otakku.

Aku ingin dikenal sebagai ibunya ummat, ibunya anak-anak. Seperti ustadzah yoyoh yusroh yang memperjuangkan tanah palestina. Aku ingin dikenal sebagai seorang dokter jiwa yang bisa mengobati mental keluarga broken home. Aku ingin jadi ibu yang kuat seperti ummi. Aku ingin dekat dengan anak-anak jalanan, dengan ibu-ibu single parent, dan aku ingin mereka dekat dengan Qur’an karena adanya klinik recovery jiwa yang kami buat.


Entah bagaimana tim pewawancara mendengar dan menafsirkan jawabanku, yang pasti aku memang harus belajar banyak untuk menyampaikan sesuatu lewat lisan..

No comments: