Mar 18, 2016

Sang Pengandung Kalam Mulia

“Asyrofu ummati Hamalatul Qur’ani wa ashhaabul lail”. Sebaik-baik golongan dari umatku adalah mereka, para penghafal Al Qur’an dan ahli qiyamul lail.
Bagi sebagian ikhwah yang berkonsentrasi dalam menghafal Al Qur’an, mungkin ada yang menjadikan hadist ini sebagai motivasi. Ada yang menempelnya di dinding kamar, di pintu lemari, atau mungkin di mushaf yang dengannya sering berinteraksi. Hadist ini sering mengingatkan di kala futur menghampiri. Memberi pencerahan dan menggugah jiwa untuk bangkit kembali.
Sebenarnya, kalau kita mau memperhatikan, ada redaksi unik dalam penyebutan ‘penghafal Al Qur’an’ dalam hadist Rasulullah tersebut. Rasulullah menyebut mereka yang mulia dengan hamalatulQur’an, para pengandung Al Qur’an, bukanhuffazhulQur’an. Ada suatu indikasi, yang layak bagi kita untuk meninjaunya kembali.
Kalau kita tengok sejarah, zaman dahulu gelar alhafizh sebenarnya disematkan kepada mereka yang mampu menghafal ratusan ribu hadis, Ibnu Hajar contohnya. Dan kita pun telah akrab dengan julukan nan agung itu, AlHafizh Ibnu Hajar Al-Atsqoilani. Sungguh, ternyata ada begitu banyak makna yang terbiaskan di sekitar kita.
Rasulullah menyebut para penghafal Al Qur’an sebagai para pengandung Al Qur’an, bukan sekedar penjaga, karena –wallahu a’lam- seorang pengandung akan lebih berhati-hati dengan kandungannya. Ia akan terus memperhatikannya siang dan malam. Hatinya pun juga selalu memikirkan apa yang ia bawa, karena sungguh ia tiada ingin semuanya berakhir sia-sia, atau bahkan berujung nestapa.
Hammalatul Qur’an, seolah mengisyaratkan bahwa Al Qur’an adalah sesuatu yang harus ia jaga sepanjang hayatnya. Selayaknya bagi mereka untuk mencukupi asupan gizinya dengan terus mengulangsecaraberkesinambungan dan mengamalkannya dalam keseharian. Selalu ia jaga kandungan itu dengan vaksin keikhlasan, agar tiada berakhir dengan sesalan. Dan di akhir, ia berupaya untuk terus melahirkan generasi pembaharuan, yang rabbani lagi berakhlaq menawan.
Maka sungguh, adalah sebuah keanehan saat seorang yang mengandung Al Qur’an dalam jiwanya, tetapi dia masih terpukau dengan rumah yang megah. Sungguh, adalah suatu kemirisan tatkala seorang yang diberi amanah kalam Sang Kholik Yang MahaMulia, tetapi dia tersilaukan dengan dengan kendaraan yang mewah. Sungguh, adalah sebuah kesedihan ketika seseorang yang dijuluki asyrofu ummah, bahkan ahlullahiwakhosshotuhu, tetapi kebeningan hatinya mudah terhijabkan oleh gemerlap dunia dan perhiasan yang indah.

Bukan kesalahan untuk memilikinya, akan tetapi terlalu naif apabila semua hal itu dijadikan tujuan semata. Sungguh menjadi seorang hamilulQur’an adalah karunia tiada terhingga, nikmat yang tiada tara, yang memuliakannya di akhirat dan di dunia.Dan juga harus selalu kita ingat bahwasetiap amal yang bernilai tinggi bisa menjadi bumerang saat hati diniatkan bukan untuknya lagi. Sungguh, niat begitu penting, dan menentukan seberapa tinggi derajatnya di hadapan Sang Pemberi rizqi.

Hadits itu begitu masyhur. Ketika di hari kiamat kelak seorang Qari’ akan dihadapkan di depan Rabb-Nya. Ditunjukilah nikmat padanya yang terkarunia di dunia. Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyalah ia oleh Sang Pemberi Karunia, “Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat itu, wahai hamba-Ku?”
“Ya Rabb, sesungguhnya daku membaca Al Qur’an, mempelajari, dan mengajarkannya semata-mata hanya untuk-Mu.”
“Dusta, engkau belajar Al Qur’an hanya agar dikata engkau alim di antara manusia. Dan engkau membaca Al Qur’an semata-mata hanya agar engkau dikata sebagai seorang Qari’ oleh mereka. Engkau telah mendapatkannya, dan memang begitulah yang dikata manusia tentang dirimu.” Kemudian diperintahkanlah Malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke neraka.

Astaghfirullah. Maka kita harus lebih berhati-hati lagi, menjaga hati ini. Menjaga segumpal daging ini agar terus lurus menetapi jalan Ilahi. Selayaknya kita takut, karena sesungguhnya dalam hadist lain Rasul nan Mulia pernah bersabda, “kebanyakan munafik dari ummatku adalah para Qari’ mereka”

Ya Allah, kami berlindung pada-Mu dari perbuatan syirik yang nista. Maka, selayaknya bagi kita untuk terus mengulang hadist yang termaktub di akhir doa pertama dari kumpulan doa khotmilQur’an. “Waj’alhu lanaa hujjatan Yaa Rabbal ‘Alamin”. Duhai Rabbi, jadikanlah dia hujjah bagi kami.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
(terinspirasi dari tausiyah ustadzana Salim A Fillah)

NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"

No comments: