Jan 11, 2013

Decision~

Sempat terpikir untuk meneruskan cita2 lama saya, tapi saya bukan seorang laki2 seperti habibie, saya seorang perempuan seperti ainun. Jadi makin semangat pengen jadi dokter nih \(^O^)/ –Esti Hardiyanti

Statement yang cukup bijak buat seorang esti hardiyanti. Dan ana Cuma bisa hela napas. Berkomentar tanpa tahu apa itu komentar rasional atau hanya sekadar ego. Apa komentar itu benar2 ingin menunjukkan eksistensi diri ana atau apa. Ana ngga tahu.
                Ketika kemarin nonton film habibie dan ainun, ana berkali2 memalingkan wajah ana dari layar karena begitu banyaknya adegan cium pipi, kening, dan pegangan tangan. Ana hanya ga tahan liat yang begituan.
                Filmnya manis, manis banget. Dan itu menggambarkan a perfect love story. Hadeeh siapa sih yang ga mau pernikahannya kaya pak habibie dan bu ainun? Semua pasti mau. Yang satu dokter , yang satu insinyur kelas dunia. Orang paling pintar di Indonesia.. perfect couple banget..
                Waktu kemarin lihat pak habibie berdebat sama banyak orang jerman, aku merinding. Waktu lihat pesawat N250 diterbangkan pertama kalinya, aku juga merinding. Waktu melihat kesungguhan pak habibie berbakti buat ibu pertiwi, dan ketika lihat pesawat terbang di udara, aku tambah merinding dan tambah ingin ke jepang.
                Aku pengen jadi orang yang bisa mengeluarkan ide brilian kaya pak habibie. Aku pengen sekolah di luar negeri, dan jadi scientist yang nemuin teori baru. Terus balik ke Indonesia. Benerin system pendidikan disini, mengajar, ke pelosok negeri untuk mengabdi. Aaaaah aku pengen ke luar negeri please.
Pilihan rufaida mudrika dan esti hardiyanti buat jadi dokter itu ngga salah. Aku juga tidak menyalahkan hatiku yang masih belum mantap. Aku hanya agak sedikit pusing dengan masalah kuliah, jurusan, wanita, dan nikah. Yang terakhir ini sebenernya ngga usah dipikirin. Cuma rada geli aja kalo mikir kesana.
                Mungkin mereka ngga ingin ilmu yang kamu punya sia-sia. Lagian selain jadi dokter, kecil kemungkinan perempuan bisa kerja  -Maryam Nurhuda
                Hmm bijak ya. Sedikit unsur persuasif. Ana belum balas message ukhti maryam lagi. Ana bingung. Apa ana harus jawab, ya dan ana akan ambil kemungkinan kecil itu dengan jadi scientist. Atau ana harus bilang belum tahu.
                Dokter. Kenapa ya rasanya berat banget buat bilang IYA. Atau kenapa rasanya ragu sekali. Takut, darah, biaya, argh semuanya.
                Aku bukan ga ingin jadi dokter, aku hanya tidak terlalu yakin. Memang, jujur saja, ada sedikit rasa senang ketika orangtua, sahabat, dan guru2 menganggap kita pintar dan mampu untuk belajar di fakultas kedokteran. Tapi kesenangan itu, argh menjijikkan. Hei, aku tidak sepandai itu untuk menjadi dokter..
                Butuh perjuangan keras buat jadi dokter. Buku setebal Campbell full English, ospek dengan cadaver, keluar masuk ruang operasi, biaya yang pasti ngga sedikit. Sama seperti yang @bimbelNF ceritakan di #kultwit nya tentang FK. Jadi dokter itu butuh belasan tahun kalau ingin mapan. Jadi dokter itu butuh biaya ngga sedikit. Banyak dokter yang gajinya lebih kecil dari guru NF. Dan lagi ditambah resiko kena AIDS 40% lebih besar. Dan siapa pun ngga akan kuat melalui cobaan maha dahsyat itu kalo dia ngga punya keinginan yang kuat, semangat baja, dan jiwa menolong untuk jadi dokter..
                Dan aku rasa, ah aku belum tahu. Aku banyak menimbang2. Aku memang ingin menolong orang. Aku ingin pekerjaanku nanti bermanfaat buat banyak orang. Tapi seperti yang @bimbelNF tuturkan kalo lulusan dokter di Indonesia itu udah buanyaaaaaak banget. Cmon, berapa juta anak di Indonesia yang bermimpi jadi dokter? Hampir semua kali.
                Yang kuliah kan kita, bukan orangtua kita. Yang berkutat dengan buku2 dan tugas2 perkuliahan selama 4tahun itu kita. Maka tentukan jurusan yang sesuai dengan minat kita –Muhammad Alifa Farhan
                Orangtua berhak untuk menyarankan yang terbaik di mata mereka untuk anaknya. Orangtua berhak menyuruh anaknya masuk ke fakultas dan universitas terbaik. Tapi sekali lagi, anaklah yang paling berhak menentukan. Anak punya hak untuk menolak keinginan orangtuanya. Karena yang paling tahu dirinya hanya ia. Yang paling tahu pelajaran yang disuka adalah dia. Yang paling tahu kemampuan belajarnya juga hanya anak itu. Orangtua hanya di rumah, mendoakan, mendukung dengan biaya. Orangtua tidak tahu betapa sulitnya perjuangan untuk lulus dari UAS biologi.
                Turuti saja keinginan orangtuamu. Mereka kan sudah sering menuruti keinginanmu, sekarang gantianlah kamu yang turuti keinginan orangtua –Ustadz Isa Nasih Abbas
                itu sama sekali ngga salah. Menuruti keinginan orangtua sekali ini saja. Hitung2 jadi anak berbakti. Seperti yang dilakukan Esti Hardiyanti. Esti ingin sekali masuk elektro, tapi orangtuanya benar-benar ingin melihat esti jadi dokter. Jadilah setelah perdebatan penuh air mata dengan orangtuanya, esti ambil pilihan untuk jadi dokter. Meninggalkan elektro sayangnya.. ia pegang betul hadist Ridho Allah ridho orangtua, kemurkaan Allah kemurkaan orangtua. Esti benar2 takut tidak dapat restu orangtuanya jika ia tetap keukeuh di elektro.
                Kasusnya hampir sama kaya ana. Ummi abi ana sangat menyarankan untuk jadi dokter. Dengan  pertimbangan tempat kuliah, kesempatan kerja, dan kodrat sebagai perempuan. Tapi mereka tidak sekaku orangtua esti. Ummi masih mempertimbangkan apa yang kusuka. Walaupun aku sadar betul, melihat anaknya jadi dokter adalah keinginan paling dalam ummi. Tapi ummi ngga ingin aku sekolah kedokteran dan setelah selesai menyerahkan ijazahnya begitu saja dan kabur kejar apa yang kuinginkan..
                Untuk kasus esti, sepertinya wajar juga kenapa esti nurut. Esti kan emang pernah punya keinginan buat jadi dokter. Hm ralat, dari dulu dia emang pengen jadi dokter. Cuma waktu berkutat terus2an sama fisika aja dia memutuskan untuk ambil teknik elektro. Dan lagi, dia pengen ambil teknik, sesuatu yang faktanya untuk perempuan emang susah cari kerjanya. Karena yang namanya teknik pasti jadi orang lapangan yang bakal nguras waktu banget.
                Hm, tiba-tiba jadi ingat. Dulu ummi pengen banget aku masuk incen, tapi aku gabisa mewujudkan keinginan ummi itu. Sekarang, ummi pengen banget aku jadi dokter. Masa kamu ngga bisa sih ma ngabulin keinginan beliau?
                Ngga. Aku baru ingat. Ummi juga pengen banget aku goal jepang. Dan dengan IZIN ALLAH aku akan memenangkan ILA 2013. Aku akan jadi satu dari sekian yang berangkat ke jepang. Dan aku akan  berjuang untuk itu.
                Aku tahu fleksibilitas kerja dokterlah yang bikin banyak perempuan memilih itu buat profesi. Dokter kan bisa buka praktek di rumah. Tapi lagi-lagi aku terbentur, sudah berapa banyak praktek dokter rumahan di Indonesia? Aku ngga mau ambil yang banyak. Aku mau jadi orang yang sedikit. Yang perannya lebih banyak dan meski ga menolong orang langsung, aku akan buktikan kalau di masa depan aku punya peran lebih. Kaya prof yo dan pak warsito (:
                Jadi dokter itu bisa ngurus suami pas sakit, ngurus anak. Ngerawat mereka.. kaya almarhumah bu ainun.. ya itu benar, pasti rasanya bahagia. Tapi aku rasa, merawat suami dan anak waktu sakit itu udah naluriahnya ibu. Kalau diajarin untuk merawat pasti bisa. Ngga perlu jadi dokter kan. Dan setahuku, dokter itu ngga boleh mengoperasi keluarganya bukan? Jadi urusan dokter perempuan berguna buat keluarga akan kucoret.

                Lagi pula, haruskah jadi dokter agar bisa kerja di masa depan nanti? Kita memang ngga bisa milih siapa jodoh kita. Tapi aku ingin seperti Marie Curie yang bekerja di lab bareng suaminya Piere Curie. Rasanya akan senang sekali kalau menikah dengan orang yang paham kesukaan kita, bahkan mendukung kita. Apalagi kalau seprofesi.. aku ngga tahu apa aku bisa jadi seperti Marie Curie dan menemukan Piere Curie. Tapi aku bisa berdoa, dan berharap agar Allah tunjukkan yang terbaik untukku..

No comments: