Feb 9, 2015

SUKA ATAU TIDAK, KESALAHAN AKAN TERBAYAR


Kebanyakan kita, tak suka bicara soal kesalahan. Tidak selalu karena kita lebih memilih kebaikan. Kadang, memang itu alasannya. Tapi tidak selamanya. Kebanyakan kita tak suka bicara kesalahan, sebab ada ambiguitas di sana. Kita benci kesalahan, tapi toh kita tetap melakukannya juga. Dalam bentuk yang beraneka rupa.
Kadang kesalahan itu kita jalani dengan sadar. Sesekali batin kita berperang. Tapi kita lantas menyerah kepada keadaan. Seakan kesalahan adalah kekuatan asing dari luar diri kita. padahal kita sendiri pelakunya. Seakan kesalahan itu sendiri lebih perkasa dari karunia kehendak yang diberikan Allah di dalam jiwa kita. Kita diam, pasrah, dan berputar dari lingkaran kesalahan yang satu ke lingkaran kesalahan yang lain. Begitupun kita masih mencoba menghibur diri. Dengan pembenar-pembenar semu. Bahwa ini semua soal pilihan hidup.
Kesalahan telah ada dari dahulu, sejak kali pertama manusia diciptakan. Tetapi cara pandang kita tentang kesalahan, mengalami begitu banyak perubahan. Ada bertingkat-tingkat fase dimana manusia melakukan revolusi pemaknaan terhadap kesalahan.
Begitu Adam sadar dirinya salah, seketika ia membayar kesalahan itu. Bertaubat, memohon ampun, dan yang lebih penting, ia menyadari bahwa dirinya salah. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah:37)
Tetapi hari ini, kesalahan bukan sekadar “kecelakaan” atau ketidaksengajaan. Saat orang dengan lugu dan tanpa ilmu menerobos tabu. Hari ini kesalahan telah berevolusi menjadi cita-cita. Kesalahan adalah puncak “ikhtiar”. Kesalahan adalah seni, kreativitas, budaya, dan semua uji teknologi. Kesalahan adalah kesengajaan yang dibanggakan.
Orang-orang yang tidak peduli dengan kesalahan yang dengan berani melanggar aturan, mereka bukan orang hebat. Ada ketidakberdayaan tersembunyi di sana. Akan tiba suatu hari, bahwa semua kita tak lebih hanya orang-orang lemah. Terlalu banyak kekuatan lain yang tak bisa kita lawan. Seperti sakit, keriput wajah yang menua, tulang belulang yang rapuh, daya ingat yang kosong, dan tentu saja kematian yang menghentikan.
Layaknya kaca yang bening, kesalahan bagi kehidupan adalah bintik-bintik debu, atau tetes-tetes noda, atau bahkan gumpalan-gumpalan kotoran. Maka kesalahan selalu saja mengotori kebeningan, menodai kejernihan, dalam dimensinya yang luas. Karenanya, kesalahan harus dibersihkan seperti dijelaskan Rasulullah, “Sesungguhnya seorang manusia, jika ia melakukan dosa maka di hatinya akan tercoreng warna hitam, dan jika ia meninggalkan perbuatan dosa itu serta bertaubat darinya, maka hatinya kembali bersih. Jika kembali melakukan dosa itu, maka hitamnya akan ditambah hingga menutupi seluruh hatinya, itulah tutupan yang disebutkan Allah dalam firman-Nya, sama sekali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR Tirmidzi).
Pada sebentuk kesalahan, selalu ada yang terkurangi dari  hak diri sendiri atau orang lain. Atau terdzalimi, atau terugikan. Kesalahan, sejatinya, adalah cacat yang mengurangi bobot dari sisi tertentu kehidupan kita. Maka kesalahan selalu meninggalkan hutang. Setidaknya hutang kesalahan itu sendiri di mata Allah SWT.
Hutang kesalahan itu harus dibayar. Begitulah peraturannya. Bahkan di komunitas orang-orang yang tak meyakini Tuhan sekalipun, mereka percaya prinsip itu. Orang-orang primitif dahulu karenanya, punya cara sendiri bagaimana menebus kesalahan itu. Najis dan kotoran dalam ajaran Yahudi dahulu, harus dibersihkan sekaligus dengan tempatnya. Bila mengenai kain harus dipotong kainnya. Bila mengenai kulit harus dicungkil kulitnya. Dosa-dosa tertulis di pintu masing-masing. Tidak ada rasionalisme di sana. Yang ada bahwa segala yang kotor harus dibersihkan. Meski itu harus mengorbankan nyawa mereka. Tapi itu setidaknya lebih elegan secara kemanusian, dari orang-orang sekarang. Yang tak sudi membayar kesalahan.
Tak ada kedigdayaan absolut pada diri kita. Kita hanya makhluk Allah, ciptaan-Nya. Di atas bumi-Nya kita berpijak. Kita lahir dan ada karena kehendak-Nya. Bahkan kita sendiri tak bisa memilih untuk ada atau tidak ada, untuk menjadi lelaki atau perempuan sejak semula. Lalu, dengan tertatih kita belajar tentang wujud, tentang ganjaran, dan akhirnya kepada Allah pula kita kembali. Maka, mungkinkah kita bisa lari dari membayar kesalahan?
Sejatinya kita akan membayar kesalahan itu, kelak, suka atau tidak suka. Tetapi membayar kesalahan selagi di sini, di dunia ini, adalah pilihan bagi orang-orang dewasa. Mereka lebih memilih menjadi pemberani, membayar hutang kesalahan itu di sini. Sementara para pengecut dan orang-orang yang berjiwa kekanak-kanakan, selalu punya segudang alasan untuk menunda membayar kesalahan.
Di sini, di dunia inilah sesungguhnya tempat yang paling memungkinkan kita membayar kesalahan. Jangan menunggu kehidupan di akhirat kelak, ketika segalanya sudah tidak memungkinkan lagi. Ketika sangat sulit bagi kita membayar kesalahan itu, kecuali dengan cara yang tidak akan kita sukai. Sebab di sana kita harus membayarnya dengan terpaksa, dengan cara yang tidak enak. Dengan azab dan siksa, kecuali Allah mengampuninya.
Mereka yang menganggap kesalahan adalah kebebasan berperilaku hari ini, sementara yang nanti adalah nanti, sesungguhnya orang-orang lemah. Mereka haya menunda penyesalan, dan menumpuknya menjadi malapetaka di kemudian. Sebab matahari belum berhenti, selalu ada hari baru, usia baru, dan itu artinya hidup kita semakin jauh banyak yang berlalu. Mereka telah kalah dengan cara yang tidak terhormat.
Kita mungkin tak suka bicara soal kesalahan. Sebab ada pertarungan di sana. Nurani kita yang jujur menginginkan jalan kebaikan. Tetapi hawa nafsu kita yang angkuh menginginkan jalan keburukan. Di ambang batas antara kejujuran dan keangkuhan itulah dosa dan kesalahan bertarung. Melawan suara hati yang polos dan sejalan dengan fitrah.
Maka, di sini, di dunia ini, bayarlah kesalahan-kesalahan kita. Selagi masih ada nafas. Selagi mata belum terlelap. Sebab toh suka atau tidak suka, kesalahan pada akhirnya akan terbayar juga. Kelak, di hari segala amal ditimbang dan diberi pembalasan seadil-adilnya.
(Ahmad Zairofi AM dalam Lelaki Pendek, Hitam, dan Lebih Jelek dari Untanya)

No comments: