Apr 21, 2018

Miss Re-LAP

Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesthi Sp.OG (Specialist Registrar in Obstetrics and Gynaecology at The Hillingdon Hospitals NHS Foundation Trust)

Jangan pernah remehkan keluhan dan kondisi pasien...!!! Itu adalah motoku, apalagi sejak digelari pembawa pasien aneh bin ajaib oleh sejawat teman-teman seperjuangan pendidikan spesialis obstetri dan ginekologiku. Belajar dari pengalaman, aku selalu percaya bahwa ada yang mengatur seorang pasien untuk bisa sampai datang ke rumah sakit ini dan bertemu dengan tim kami, dan pasti ada alasannya. Kalau pasien hamil low risk straight forward, sudah "diselesaikan secara adat" oleh front liner lainnya. Jadilah ketika menghadapi pasien, dengan keluhan remeh sekalipun, aku tak akan puas kalau belum selesai membuat daftar diagnosis banding dari yang paling nggak penting sampai yang life threatening. Prinsipku, anything can go wrong...!! Yeah yeah I know what you think, I'm a real freak..!!

Stase di IGD kamar bersalin sebagai mandor (tahap 2B, tahun kedua program pendidikan kami) adalah peran jaga yang paling menantang menurutku. Sebagai mandor, mesti memastikan semua pasien tertangani, ada rencana manajemennya, tahu kapan pasien harus diases ulang, tahu dan bisa memprediksi pasien mana yang high risk, kapan persalinannya macet, dan memutuskan apa tindakan selanjutnya. Di rumah sakit rujukan tersier dengan jumlah pasien bejibun melebihi kapasitas seperti tempatku training, peran seperti ini menuntut stamina otak dan fisik prima 24 jam dalam sehari. Tentunya kami bekerja dalam tim, terdiri dari konsulen jaga, chief stase, dan beberapa orang juniornya. Sebulan stase di IGD dalam setiap semester adalah kawah candradimuka bagi kami, membuat kami sangat kompak sebagai satu tim. Terlebih lagi, chief ku kali ini adalah orang yang unik, dia memberi kesempatan luas padaku sebagai mandor untuk banyak berimprovisasi dan berlatih meningkatkan skill dan confidence :P

"Pit, pasien di akut tuh, gue kirim ke belakang ya...", ujar satu seniorku yang bertanggung jawab untuk memeriksa pasien baru di ruang akut, sambil menyerahkan lembar status yang sudah diisinya, lengkap dengan diagnosis dan rencana manajemen. Sambil membuka lembaran status itu, mataku membesar, "Ya ampuunnn, IUFD mbak, anak pertama pula...Kasihan amat. Stabil tapi kan pasiennya mbak ? Ga ketemu apa-apa di USG depan ?" berondongku. "Iya, IUFD. Udah konfirmasi ama chief, ga ada denyut jantungnya di USG. Ga ada molase juga, baru berarti tuh IUFD nya. Hamilnya sih aterm, presentasi kepala, taksiran beratnya sekitar 3800 gram, ketubannya cukup juga. Ga tau deh tuh kenapa IUFD. Ibunya stabil kok, masih nangis syok di depan ama suaminya. Buruan bawa ke belakang deh, antrian pasien yang mesti gue periksa masih banyak!" jelasnya panjang lebar. IUFD, intra uterine fetal death, alias kematian janin dalam rahim, adalah the worst nightmare buat para ibu hamil yang sudah bersusah payah berletih-letih selama 9 bulan demi bisa menimang buah hati.

Ketika aku masuk ruang akut untuk meminta bidan akut untuk segera mengirim pasien ke belakang, pasien itu masih menangis tersedu-sedu di pundak suaminya. "Bu, saya Dokter Pitha. Saya turut berduka cita...", ujarku dengan sangat berempati. Kemudian dengan didampingi suaminya, kujelaskan rencana kami untuk menginduksi persalinan agar si bayi segera lahir, karena memperpanjang kehamilan pada kasus IUFD membawa risiko untuk si ibu. "Saya boleh terus nemenin istri saya kan Dok, saat diinduksi dan saat melahirkan nanti ?" tanya si suami penuh harap. "Mmmm... sebenarnya sih boleh Pak. Tapi saat ini kamar bersalin sedang penuh, dan di dalamnya kan ada ibu-ibu lain yang sedang melahirkan juga. Jadi para suami nggak bisa masuk. Maaf ya Pak... Nanti kalau ibu perlu sesuatu, kami sampaikan ke Bapak. Atau kalau Bapak mau menyampaikan sesuatu ke Ibu, bisa lewat kami. Bapak boleh tunggu di ruang tunggu depan situ," ujarku mengerti betul akan kekecewaan dan kekhawatiran si suami. Iyalah, suami mana sih yang tidak ingin berada di samping istrinya saat persalinan, apalagi ini adalah masa-masa sulit bagi istrinya, mesti melahirkan bayi yang sudah meninggal. Idealnya sih setiap ibu bersalin disediakan kamar privat, sehingga bisa didampingi suaminya selama persalinan seperti di rumah sakit swasta. Moga-moga rumah sakit pemerintah pun kelak memikirkan hal-hal seperti ini dan menyediakan dana untuk membuat fasilitas pelayanan seperti itu. Untuk sementara ini, ibu-ibu yang bersalin di rumah sakit pemerintah harus puas dengan ditemani ibu-ibu yang senasib denganya.

"Ibu ini hamilnya udah berapa bulan persisnya ? Pernah di USG nggak waktu awal kehamilan untuk menentukan usia kehamilan, kapan tanggal taksiran persalinannya?" tanyaku menggali informasi lebih dalam, mencoba mencari tahu penyebab si bayi IUFD. "Haid saya sebelum hamil nggak teratur Dok, pokoknya pas udah 3 bulan lebih nggak dapet haid dan rasanya suka mual, saya tes kencing di bu bidan. Terus dibilangin udah positif hamil. USG nya sekali pernah Dok, sekitar hamil 6 ato 7 bulanan gitu, itu juga suami saya ngumpulin uang mati-matian buat USG, biar tahu jenis kelamin bayi dan nyiapin nama jauh-jauh hari..." jawabnya.

Tipikal banget buat ibu hamil dengan pengetahuan dan dana terbatas. Padahal pemeriksaan USG di awal kehamilan sangat penting untuk menentukan usia kehamilan. Risiko IUFD dan still birth meningkat drastis pada kehamilan lebih dari 42 minggu, alias kehamilan post term. Baiklaaahhh, USG untuk melihat jenis kelamin bukannya haram, tapi yang justru penting dari pemeriksaan USG kok ya malah dilewatkan.

"Terus ibu emang enggak ngerasa kalau bayi ibu berubah gitu gerakannya di dalem perut kemaren-kemaren ?" tanyaku mencoba mengidentifikasi kapan kira-kira si bayi meninggal. "Sebenernya saya ngerasa bayi saya berkurang gerakannya sejak seminggu lalu Dok, biasanya tuh kan aktif banget. Nah sejak minggu lalu kok kayaknya jadi agak diem dianya. Saya belain deh kontrol ke bu bidan, didengerin bunyi jantungnya, katanya normal. Kata suami saya, saya tegang dan stress aja kali, soalnya uang buat lahiran belum ngumpul juga Dok... Nah pas kemaren itu saya seharian ga ngerasain si bayi gerak, trus kontrol ke bu bidan, katanya udah ga kedengeran detak jantungnya, dirujuk kemari. Tapi pas abis itu, saya sekali ngerasain dia bergerak. Jadi saya nggak jadi kemari, lagian nunggu suami saya shift malam di pabrik dulu. Baru tadi pagi ke bu bidan lagi dianter suami, kata bu bidan bayinya udah nggak ada, jadi dirujuk kemari..." katanya sambil mulai berurai air mata kembali.

Kalau tidak ingat bahwa pasien di hadapanku ini serius betul-betul tidak mengerti apa yang terjadi dengan bayinya, aku pasti sudah menepok jidatku sambil berseru 'di situ selalu saya merasa sedih!!!'. Janin adalah makhluk pintar. Sang Pencipta sudah memperhitungkan, janin yang tumbuh dalam rahim pasti susah untuk memonitornya, beda dengan bayi yang sudah lahir bisa dilihat bernapas dan beraktivitas. Gerakan janin berkurang adalah sinyal yang dikirim karena janin sedang menghemat energinya, suplai oksigen dan nutrisi mungkin berkurang sehingga energi hanya dipakai untuk metabolisme organ-organ penting seperti otak dan jantung. Pada kondisi ini berarti plasenta sudah tak mampu menyokong kehidupan, dan rahim sudah bukan tempat terbaik bagi pertumbuhannya, alias si bayi mesti dilahirkan. Aku selalu menganggap serius persepsi ibu tentang gerakan janinnya. 24 jam dalam sehari bersama janinnya, ibu adalah orang yang paling tahu kebiasaan si janin. Bila berkurang gerakannya, apalagi ada faktor risiko, it is worth to be investigated, mendengarkan denyut jantung janinnya saja tidak cukup. Kalau sudah cukup bulan, it is an indication to deliver the baby, sudah terbukti menurunkan angka stillbirth.

"Berapa kali periksa sama bu bidan Bu ? Pernah periksa darah nggak ? Ada masalah nggak selama kehamilan ?" tanyaku lagi mencoba menyaring faktor risiko. "Tiga kali Dok, pertama kan waktu periksa kencing dan hamil, terus kemaren karena bayi enggak gerak, dan tadi pagi sama bu bidan dirujuk kemari..." jelasnya polos. Sambil meringis dalam hati aku melanjutkan "Memang ibu bidan nggak nyuruh ibu kontrol tiap bulan ?". "Nyuruh sih Dok... Tapi kan periksa bu bidan bukannya gratis. Kalau ke Puskesmas sih bisa gratis kalau pake surat-surat. Masalahnya saya dan suami KTP nya KTP Jawa, nikah juga di sana. Belum urus kartu keluarga juga. Jadi nggak bisa ngurus surat-surat di sini. Itu tadi aja buat daftar dan periksa darah di depan, dapet kasbon di pabrik dari gaji bulan depan..." sahutnya sayu. Hmmm, I'm going nowhere here...

Setelah menerangkan proses induksi dan tetek bengeknya, mulailah dosis pertama misoprostol kuberikan per vaginam. Sebagai mandor, kuputuskan penanggung jawab pasien itu adalah salah satu juniorku tahap 2A. Ternyata si pasien bereaksi sangat responsif terhadap induksi. Berselang 4 jam, pembukaannya lengkap dan langsung mengedan. Aku menemani juniorku tahap F, untuk membantu persalinan si ibu. Proses keluarnya kepala si bayi agak susah, dan ketika keluar terlihat kulitnya sudah bermaserasi, menunjukkan bahwa si bayi sudah meninggal mungkin lebih dari 24 jam. Karena bayi sudah meninggal, tidak ada tonus otot, sudah pula bermaserasi, lahirnya kepala tidak diikuti spontan dengan lahirnya bahu. Kepala si bayi pun tampak lebih besar dari rata-rata.

"Distosia bahuuuu...!!" seruku sambil menginstruksikan bidan untuk membantu dan menyuruh juniorku memanggil anggota tim lain untuk membantu. Distosia bahu adalah salah satu kegawatan obstetrik, kalau bayi hidup maka it's a nightmare for an obstetrician, true shoulder dystocia causes large morbidity to mother and baby, even perinatal mortality. Karena bayi ini sudah meninggal, jadi kami tak terburu waktu untuk segera melahirkan si bayi. Namun tetap sulit melahirkan si bayi, perlu berbagai manuver penanganan distosia bahu sampai akhirnya bayi seberat 4300 gram itu keluar. Jangan-jangan si ibu ini menderita diabetes gestasional, bayinya makrosomia dan IUFD begini, pikirku dalam hati.

"Ibu mau lihat bayi nya nggak ?" tanyaku hati-hati setelah si bayi lahir dan juniorku melahirkan plasentanya. Dia tak menjawab, hanya menggeleng lemah sambil membuang muka menyembunyikan air matanya. "Gimana perdarahan dan kontraksi nya ? Ruptur perineum grade berapa ?" tanyaku pada juniorku sambil meminta bidan membawa jenazah bayi itu keluar untuk ditunjukkan pada suaminya. "Banyak clot nih mbak..!! Kontraksi jelek. Ruptur perineum grade 3C nih...!!" kata juniorku panik. Aku segera melompat mendekat, tepat ke samping pasien yang sekarang tampak pucat dan menggigil. Aku segera meraih lengannya dan nyaris tak bisa meraba denyut arteri radialisnya.

"Ha Pe Peeeeee....!!!" teriakku menggelegar dari kamar bersalin ke seluruh penjuru IGD obgyn. Serentak semua anggota timku datang. Infus dan cairan segera dipasang, sambil darah diambil untuk dikirim ke lab dengan urgent dan permintaan sedia darah. Semua uterotonik segera diberikan, dan seniorku tahap 2C mengambil alih merepair ruptur perineum nya agar hemostasis segera tercapai. Si pasien tampak semakin pucat dan bahkan setelah resusitasi dia tetap hipotensi dan takikardi, nyaris tak teraba nadinya. "Bu..!! Buka matanya Bu...!!", seruku sambil sibuk memeras kolf cairan agar cairan infus mengalir lebih cepat, berbalapan dengan perdarahan dari jalan lahirnya yang tak ubahnya keran air dibuka. Kontraksi rahim tak juga membaik bahkan setelah kompresi manual dan segala uterotonik. Dan si pasien tak merespon instruksiku sama sekali.

"Mas, gue buka OK ya... Pasien HPP ga stabil, syok hipovolemik dan penurunan kesadaran... Gue lapor konsulen sekarang...!!" seruku pada chief. "Oke, kirim OK buruan, gue siap-siap di sana ya...". Aku segera membagi tugas juniorku untuk memberi tahu staf kamar operasi bahwa kami akan mengirim pasien HPP, juga mengirim juniorku untuk menggeret salah satu residen anestesi sekarang juga kemari. Sisa timku melanjutkan resusitasi pada pasien itu, dan aku menelpon konsulen jaga, meng up date informasi dan memintanya segera datang. "Buruan dorong ke OK...!!" teriakku memobilisasi semua anggota tim.

Setelah pasien masuk kamar operasi dan resusitasi diambil alih oleh tim anestesi, chief mengirimku keluar kamar operasi untuk meminta consent dari suaminya. Suami yang malang itu tak tahu sama sekali apa yang terjadi dengan istrinya, dia baru saja melihat jenazah bayinya, dan aku harus menambah berita buruk tentang kondisi istrinya. Karena tak banyak waktu, segera kujelaskan kondisinya, dan dengan berat aku berkata, "Kami mungkin harus mengangkat rahim istri bapak untuk menghentikan perdarahan dan menyelamatkan nyawanya...". Seperti berada di dunia lain dan tak mendengarkan kalimat-kalimatku, tatapan kosongnya menembus mataku. "Pak..!!", cetusku setelah beberapa menit memberinya kesempatan mencerna semuanya, "Kami butuh ijin bapak untuk mengoperasi ibu, mungkin harus mengangkat rahimnya demi menyelamatkan nyawanya..!!".

Tangisnya pecah, sambil berurai air mata dan sesenggukan dia menjawab "Apa aja asal istri saya selamat Dok...!!". "Kami usahakan Pak, doakan yang terbaik. Sekarang tolong Bapak urus minta darah di Bank Darah ya, istri Bapak butuh darah banyak.." ujarku sambil memberi isyarat agar juniorku menyerahkan formulir permintaan darah dan sample darah istrinya.

"Bank darah lagi ga ada stock, Mbak. Tadi saya sudah telpon..." jelas juniorku itu. "Kalau begitu Bapak mesti ke PMI pusat, mungkin Bapak mesti cari donor sendiri.." lanjutku mengubah instruksi. "Di mana itu Dok ? Terus saya mesti cari donor darah di mana ? Saya ga punya saudara di Jakarta. Berapa bayarnya kalau minta darah di PMI ?" tanyanya panik. Hadeeeuuuhhhh... Akhirnya supaya memastikan darah kami dapat, aku mengirim salah satu juniorku untuk mengurus darah. "Pokoknya mesti dapet..!! Gue nggak mau tau. Lu sms berantai semua residen, yang golongan darahnya sama, suruh donor sekarang..!!". Mengandalkan sistem penyediaan darah yang ada saat ini sih sama saja dengan membiarkan pasien-pasien kami mati di depan mata...!!

Pasien itu masih juga tak stabil di atas meja operasi. Begitu perutnya dibuka, rahimnya keplek, atonia sama sekali. Konsulen jaga yang mengoperasi memintaku menelpon seorang konsulen lain, seorang konsultan ginekologi onkologi, untuk datang membantu. Akhirnya karena kondisi pasien tak stabil, rahimnya atonia, semua sepakat tak ada tempatnya untuk menkonservasi rahimnya. Meskipun dia belum memiliki anak hidup, tapi nyawanya jauh lebih penting. Rahim pasien itu pun diangkat, histerektomi obstetri, demi mengontrol perdarahan. Perdarahan tampak teratasi, walaupun sedikit oozing di sana-sini, pastinya karena jumlah darah yang hilang bersama faktor pembekuan darah menyebabkan koagulopati. Drain dipasang di rongga perutnya untuk memonitor kalau-kalau terjadi perdarahan lagi setelah dinding perutnya ditutup kembali. Setelah kulit terjahit, barulah darah untuk transfusi datang.

Karena tekanan darah dan nadinya yang masih labil, akhirnya pasien itu dikirim ke ICU untuk observasi, di sana peralatan observasi lengkap tersedia. Transfusi darah pun akhirnya dilanjutkan di sana. Meski jam jaga kami berakhir sejak pukul 15 lalu, sampai pukul 21 malam aku masih tinggal di IGD, memastikan pasien itu stabil di ICU dan menyelesaikan laporan jaga untuk konferensi besok pagi. Saat aku mengemas laptopku bersiap untuk pulang, tiba-tiba chief jaga tim malam berlari tergopoh-gopoh ke arah ICU di gedung seberang. "Kenapa Mas ?" tanyaku, merasa bahwa jangan-jangan gara-gara pasien itu. "Pasien lu tuh Pit, produksi drainnya masak 600 cc dalam sejam terakhir. Pasti ada on going bleeding lagi...", serunya sambil bergegas ke ICU.

Akhirnya aku melempar ranselku dan ikut berlari bersama chief ke ICU, batal pulang. Ternyata hemodinamik si pasien kembali tak stabil, kantong drain sudah terisi cairan merah segar sebanyak 600 cc. "Gue lapor konsulen, lu kasih tau orang OK ya, kita mesti bawa balik pasien ke OK, ada perdarahan..!!" instruksinya. Lupa bahwa aku sangat lelah dan perutku belum diisi sejak siang tadi, aku berlari ke OK di IGD obgin meminta staf OK untuk menyiapkan kamar operasi untuk re-laparotomi pasien itu. Dua konsulen operator histerektomi sore tadi datang seketika dan siap melakukan re-laparotomi. Saat perut si pasien dibuka kembali, penuh darah. Rupanya ada pedikel kecil dari ovarium (indung telur) kanannya tidak terhemostasis dengan baik. Karena pasien awalnya syok hipovolemik, kehabisan darah, maka tidak ada darah yang mengalir. Tapi begitu transfusi darah dilakukan dan volume darahnya meningkat, tekanan darahnya membaik, maka otomatis pembuluh darah kecil yang tidak terhemostasis itu mengalirkan darah kembali. Untunglah drain dipasang tadi, sehingga kondisi ini bisa diketahui segera.

Karena sulit menghentikan perdarahan di tempat itu, akhirnya diputuskan untuk mengangkat juga ovarium kanannya agar seluruh pembuluh darahnya bisa diikat sekaligus dan meminimalisir risiko perdarahan ulang. Re-laparotomi sudah cukup, kami tidak mau mi-laparotomi (berasa kayak lagi nyanyi : do re mi). Alhamdulillaah di sisa malam itu, pasien stabil sampe keesokan paginya dan ditransfer kembali keesokan harinya ke kamar bersalin untuk observasi.

Seperti bisa ditebak, konferensi pagi keesokan paginya (buatku yang jadi jaga 36 non stop, I lost the plot of day and date) sangat seru membahas kasus ini. Belum kemudian aku harus maju audit morbiditas maternal. Sebulan staseku di IGD sebagai mandor membukukan rekor 3 re-laparotomi, yang entah mengapa semuanya terjadi di jam jagaku. Kolega mandor-mandor di tahapku sampai menggelariku Miss Re-Lap (arotomi) karena sebagai pelapor di konferensi pagi, aku paling rajin melaporkan kasus re-laparotomi. I don't really care, yang penting pelayanan terbaik sudah kami berikan. Re-laparotomy for any reason is a known risk for surgery, what matter is how you minimise the risk and deal with it if that happens, and at the end how you reflect and learn the lesson from it...

PS : 
- ini setting layanan kesehatan Indonesia tahun 2009, moga-moga sekarang sudah jauh lebih baik
- HPP : haemorrhagic post partum, perdarahan pasca persalinan
- OK : istilah untuk kamar operasi, entah mengapa kami selalu menyebutnya OK hehe...

No comments: