7 semester ini, walaupun bersinggungan dengan banyak dokter.
Tapi perasaan bahwa aku harus menjadi
dokter jujur, baru hadir pagi tadi.
Sejak malam aku belajar osce bersama eva dan santi. Meski
malamku tetap saja tak lepas dari lelap, pagi tadi Alhamdulillah kuterbangun
dan bergegas berlatih beberapa skill. Salah satunya adalah skill hecting alias
menjahit. Di tengah latihanku, eva menonton video tentang Aleppo. Video yang
mengundang nuraniku untuk berhenti sejenak dan ikut membersamainya melihat
tayangan itu, yang ternyata begitu menyayat hati.
Darah. Luka. Air mata. Nyawa. Wajah-wajah marah. muka polos
yang penuh harap.
Aku terguncang melihatnya.
Kemudian kulihat diriku sendiri.
Betapa aku telah banyak kufur atas segala nikmat yang Allah
berikan. Betapa aku begitu lemah. Betapa daya juang jihad di dalam diri ini
masih seujung kuku bila dibanding mereka.
Aku ditinggal.
Aku ditinggal masuk syurgaNya Allah.
Dan aku tak mau ditinggal lagi.
Hari ini, kulihat anak menangisi ibunya. Ayah menangisi
anaknya.
Tapi beberapa tahun lagi, mungkin hal itu yang terjadi pada
kami disini di Bumi Indonesia.
Tidak ada jalan lain selain berusaha membantu. Mengorbankan
segala gala.
Dan belajar jadi dokter yang kompeten adalah salah satu
jalan jihad itu.
Jadi dokter. Jadi dokter yang bermanfaat. Mengobati luka-luka ummat.
Agar kelak, ketika mereka bertanya siapa yang harus
diberangkatkan ke medan jihad; aku bisa lantang berteriak dan mengajukan diri.
Menyongsong jihad. Menyongsong syurga tanpa hisab. Kemuliaan
apalagi kah yang dapat menandinginya? Tak ada.
Buka mata. Buka hati. Jangan kalah dengan egomu. Selesaikan
semua ini. Belajarlah. Bukan untuk ummi. Bukan karena menuruti semua orang.
Tapi karena ummat membutuhkan kita.
Bangunlah.
Bangun.
Bersyukurlah.
20 desember 2016 10.48
No comments:
Post a Comment