Saya bukan
manusia luar biasa. Yang punya mimpi-mimpi besar sejak kecil. Yang sudah tahu
akan menjadi apa sejak kecil. Saya Cuma manusia biasa. Dengan kemampuan yang
masih sangat biasa. Dan mimpi-mimpi yang baru lahir ketika duduk di bangku sma.
Sejak dulu
jika ada yang bertanya ‘mau jadi apa’, saya cuma bisa tersenyum-senyum dan
ngeles dengan jawaban maha standar ‘pengin jadi anak yang bermanfaat buat
agama, keluarga, negara, dan dunia.’ Atau jawaban lain yang lebih polos,
‘pengin bahagiain umi abi dan masuk surga’. Klasik, standar, dan penuh
ketidakjelasan. Bukan tidak jelas surga atau kebahagiaannya, tapi tidak jelas
jalan menuju kesananya. Ke surga dan ke kebahagiaan orangtua itu.
Harus ada jembatan, semacam
jalan hidup lain yang harus diupayakan demi mencapai tujuan mulia itu. Sempat
terpikir untuk jadi arsitek, karena saya senang matematika dan mendesain rumah.
Cita-cita yang muncul karena hobi main the sims masa sd dulu. Pernah juga ingin
menjadi penulis, walau bingung harus ambil kuliah apa. Pernah ingin jadi
jurnalis, karena merasa sangat keren dengan pekerjaan yang satu itu, tapi
kemudian menguap lagi. Lalu kemudian saya menyadari di akhir-akhir smp untuk
menjadi pengajar. Karena saat itu benar-benar merasakan nikmatnya jadi seorang
guru. Namun bingung lagi, harus jadi pengajar yang bagaimana? Bidang apa?
Saya kemudian
masuk sman di banten. Sekolah negeri yang menerapkan sistem boarding school.
Harapan saya ketika masuk sana sungguh tinggi. Bisa menang kompetisi ini itu
dan ikut program pertukaran pelajar. Karena saya dengar sma ini punya segudang
prestasi lomba dan channel abroad yang bagus. Nyatanya? Sulit sekali untuk
menang di kompetisi ini itu. Dan bahkan, kompetisi dengan teman seangkatan
untuk ikut lomba saja sulit ditaklukan. Matematika yang dulu jadi hobi saya
mendadak seperti mimpi buruk. Saya jadi sangat lemah dan mudah putus asa.
Apalagi melihat teman seangkatan yang jebolan olimpiade sains, argh jadi makin
pesimis.
Menyadari matematika yang tidak
mudah ditaklukan, saya akhirnya memutuskan untuk cari hobi baru. Sempat ikut
ekskul karya ilmiah, sebentar dan tidak saya teruskan. Berhenti begitu saja
ketika sadar kemampuan menulis ilmiah yang buruk sekali. Saya butuh bantuan.
Namun karena terlalu payah, bahkan minta tolongpun jadi urung dilakukan.
Akhirnya saya pindah lagi, ke kimia.
Saya bukanlah
seorang expert di kimia. Saya masih sering remed dan banyak kesalahan konsep
disana sini. Ah tapi waktu itu, saya merasa bisa memenangkan pelajaran bernama
kimia. Kenapa? Karena saya pikir semua orang start belajar kimia sama-sama di
sma. Jadi kita adil.
Saya mulai
sering mengikuti lomba kimia, dan jadi ketagihan! Walau akhirnya di pertengahan
kelas 2 saya putuskan untuk berhenti karena ada trouble dgn partner kelompok.
Tulisan ‘peserta OSN kimia 2012’ yang tertempel di depan lemari sejak november
2011, akhirnya saya lepas di bulan februari 2012. Saya tutup mimpi saya. Bagai
tertabrak tembok penghalang besar yang sebenarnya adalah kepercayaan diri
sendiri yang sangat minim.
Nyatanya
Allah memberikan mimpi yang sudah saya lepaskan itu. Dengan skenarioNya yang
tidak pernah saya duga, saya bisa ikut osk kimia dan berlanjut sampai osp. Yap
walau harus berhenti di osp namun
pengalaman yang satu ini jadi pelajaran buat saya. Efeknya: saya jadi
tambah suka sama kimia dan suka gemas sendiri melihat sintesis ini itu. Dan
akhirnya saya putuskan untuk tidak beralih lagi. Saya mau masuk ke dunia kimia.
Walau saat ini pemahaman saya masih amburadul dan beberapa penalaran math dan
physic saya harus direkonstruksi, saya Cuma pengin masuk ke dunia kimia.
Rasanya berada di lab, bermain2 dengan molekul dan tabung disana sini itu
mengasyikkan sekali.
Keinginan
saya masuk ke kimia bertentangan dengan harapan orangtua saya. Walau pada akhirnya
mereka membebaskan saya ingin memilih apa, namun saya tak sampai hati menolak
harapan mereka. Akhirnya saya memilih kedokteran. Cukup sampai memilih,
pikir saya ketika itu. Toh belum tentu masuk.
Maka ketika
pengumuman snmptn kemarin saya melihat kata ‘selamat’ diikuti dengan kalimat
‘pendidikan dokter’ setelah kolom jurusan, Alhamdulillah saya terucap seiring
dengan melayangnya mimpi ‘ahli kimia’. Ya, detik itu saya menyadari akan kecil
sekali peluang saya meninggalkan kedokteran. Walau ibu menyerahkan sepenuhnya
keputusan pada saya, tapi banyak pertimbangan yang akhirnya harus diambil..
No comments:
Post a Comment