Kegagalan terbesar dari sistem
pendidikan kita bukan terletak pada masalah lemahnya pendidikan mencerdaskan
rakyat, tetapi terletak pada masalah ketidakmampuan pendidikan menyadarkan
rakyat terhadap permasalahan hidup yang nyata. Siapa yang tak miris melihat
situasi bangsa terkini. Tawuran massal mudah sekali terjadi. Dari mulai gesekan
antarpelajar, hingga tawuran antar kampung. Tak ada lagi logika, semua masalah
tampaknya hanya bisa diselesaikan dengan otot saja. Hampir tak ada bedanya
perilaku orang yang berpendidikan maupun yang tak sempat terdidik karena tak
punya akses mendapatkan pendidikan berkualitas. Ini jelas menjadi sebuah ironi.
Pendidikan sudah dianggap
berhasil jika sudah ada gedung sekolah, kurikulum, guru, siswa, kegiatan
pembelajaran, dan fasilitas pendukung lainnya. Kita lupa tidak pernah
mencermati secara serius, perubahan apa yang sudah terjadi pada anak-anak kita
melalui kegiatan pendidikan? Jangan-jangan, pendidikan malah membuat anak-anak
kita jadi tak punya jati diri, kehilangan arah, cerdas namun tak berakhlak, dan
tak paham untuk apa mereka menuntut ilmu. Koruptor terdidik semakin banyak,
orang cerdas Indonesia berani jual aset negara, budaya menyontek di sekolah
dibiarkan, harga diri dan kehormatan guru masih dilecehkan, mahasiswa makin doyan
tawuran daripada melakukan debat ilmiah di kampus mereka, korupsi dana bantuan
operasional sekolah masih meramaikan berita-berita di media massa, menyertai
hadirnya pendidikan karakter di bumi pertiwi. Jika ujung-ujungnya hanya sekadar
tahu teori tentang karakter, situasi carut marut masih tetap akan berlangsung.
Sekali lagi, dunia pendidikan takkan mampu memberi kontribusi pada bangsa ini
untuk keluar dari keterpurukan.
Semua orang hanya menjejali isi kepalanya dengan
pengetahuan-pengetahuan baru. Tak peduli pengetahuan itu berguna atau tidak
bagi dirinya. Celakanya apabila pengetahuan itu digunakan untuk menyengsarakan
orang lain. Kondisi lebih naas lagi jika pendidikan kita hanya mampu menghasilkan akademisi yang gemar melakukan
plagiarisme, pengusaha serakah, penguasa khianat, pelajar/mahasiswa hobi
tawuran, serta peradaban yang celaka dan mencelakakan. Akhirnya, peradaban
bangsa akan luluh lantak jika pilar pendidikan Indonesia masih dibangun atas
dasar prinsip Tut Wuri Nggerogoti (di belakang mengegerogoti), Ing Madya Ngangkut Banda (di tengah mengangkut harta), Ing Ngarsa Terus Ngapusi (di depan selalu menipu). Masa depan nyatanya bukan
terletak pada ilmu yang diperoleh, bukan pada kecerdasan yang dikembangkan, dan
bukan pada keahlian yang dikuasai. Sesungguhnya masa depan terletak pada
perilaku. Bahkan Plato pun berujar, “Bersikaplah yang baik karena semua orang
yang kita jumpai sedang menghadapi masalah besar.” Setuju atau tidak,
pendidikan memainkan peran penting dalam membangun peradaban suatu bangsa agar
tetap eksis di masa depan. Utamanya, menghasilkan manusia yang berakhlak mulia
sebagai inovator dan aktor intelektual yang melestarikan nilai-nilai baik di
muka bumi ini. Bagaimana menurut Anda?
Penulis
Asep Sapa’at, trainer pendidikan, Lembaga Pengembangan Insani, Dompet Dhuafa.
majalah 1000guru edisi 13
No comments:
Post a Comment