Terduduk disini, di depan
tomodachi*. Di sebelah
sterofoam soerabi yang
aromanya menguap.
Mobil dan motor melaju
dengan kecepatan
maksimalnya, seolah ingin
kalahkan kecepatan titik-titik
air dari langit.
Orang-orang berlarian, mengelak
kenyataan bahwa seberapa
cepat larinya, akan
basah juga. ‘aku dikejar
waktu’ ujar mereka sambil
menerobos hujan.
Ah. Hujan.
Wangi hujan yang kusuka dari kecil. Yang ternyata adalah
wangi tanah. ‘air langit tak berbau’ terang ibuku. Aroma tanah yang terkena
titik-titik hujan, hmmm wangii sekali. Membuat mataku tertutup dan merasakan
rileksnya..
‘aku juga suka wangi hujan..’
‘aku suka wangi tanah pas kena air hujan’ elakku
Dret.. dret.. dret..
Asma, ana nitip cokelat ya.. dan secangkir penawar
kesedihan kalau bisa.. 14:50
Sebungkus mungkin? Kalo pake cangkir entar tumpah pas ana
naek ojeg :p 14:53
Ga mau, maunya yang masih panas, biar enak ntar kalo
dicampur biskuit - -“ 14:56
Mustahil! Kalaupun aku membawa cangkir panas itu, maka panasnya akan menguap
karena lamanya aku mendaki kaki gunung karang. Atau tercampur air dingin dari
langit. Atau keburu tumpah membasahiku. Kau tega hah?! 14:59
Mbak, penawar kesedihannya udah nyampe nih pake angin,
situ pengendali angin ya? 15:03
Setelah kuyup sampai di kamar..
KHAULAAAAH AKU BUKAN PENGENDALI ANGIN, AAAA
-suatu siang menjelang sore di tengah hujan
*nama warnet
1 comment:
haduh haduh aku ketawa ngakak baca posting yang ini.huhuhu :D
Post a Comment