Sempat terpikir untuk meneruskan cita2 lama saya, tapi
saya bukan seorang laki2 seperti habibie, saya seorang perempuan seperti ainun.
Jadi makin semangat pengen jadi dokter nih \(^O^)/ –Esti Hardiyanti
Statement yang cukup bijak buat seorang esti hardiyanti. Dan ana
Cuma bisa hela napas. Berkomentar tanpa tahu apa itu komentar rasional atau
hanya sekadar ego. Apa komentar itu benar2 ingin menunjukkan eksistensi diri
ana atau apa. Ana ngga tahu.
Ketika kemarin nonton film
habibie dan ainun, ana berkali2 memalingkan wajah ana dari layar karena begitu
banyaknya adegan cium pipi, kening, dan pegangan tangan. Ana hanya ga tahan
liat yang begituan.
Filmnya manis, manis banget. Dan
itu menggambarkan a perfect love story. Hadeeh siapa sih yang ga mau pernikahannya
kaya pak habibie dan bu ainun? Semua pasti mau. Yang satu dokter , yang satu
insinyur kelas dunia. Orang paling pintar di Indonesia.. perfect couple
banget..
Waktu kemarin lihat pak habibie
berdebat sama banyak orang jerman, aku merinding. Waktu lihat pesawat N250
diterbangkan pertama kalinya, aku juga merinding. Waktu melihat kesungguhan pak
habibie berbakti buat ibu pertiwi, dan ketika lihat pesawat terbang di udara,
aku tambah merinding dan tambah ingin ke jepang.
Aku pengen jadi orang yang bisa
mengeluarkan ide brilian kaya pak habibie. Aku pengen sekolah di luar negeri,
dan jadi scientist yang nemuin teori baru. Terus balik ke Indonesia. Benerin
system pendidikan disini, mengajar, ke pelosok negeri untuk mengabdi. Aaaaah
aku pengen ke luar negeri please.
Pilihan rufaida mudrika dan esti
hardiyanti buat jadi dokter itu ngga salah. Aku juga tidak menyalahkan hatiku
yang masih belum mantap. Aku hanya agak sedikit pusing dengan masalah kuliah,
jurusan, wanita, dan nikah. Yang terakhir ini sebenernya ngga usah dipikirin.
Cuma rada geli aja kalo mikir kesana.
Mungkin
mereka ngga ingin ilmu yang kamu punya sia-sia. Lagian selain jadi dokter,
kecil kemungkinan perempuan bisa kerja
-Maryam Nurhuda
Hmm bijak ya. Sedikit unsur persuasif. Ana belum balas message ukhti
maryam lagi. Ana bingung. Apa ana harus jawab, ya dan ana akan ambil kemungkinan kecil itu dengan jadi scientist.
Atau ana harus bilang belum tahu.
Dokter. Kenapa ya rasanya berat
banget buat bilang IYA. Atau kenapa rasanya ragu sekali. Takut, darah, biaya,
argh semuanya.
Aku bukan ga ingin jadi dokter,
aku hanya tidak terlalu yakin. Memang, jujur saja, ada sedikit rasa senang
ketika orangtua, sahabat, dan guru2 menganggap kita pintar dan mampu untuk
belajar di fakultas kedokteran. Tapi kesenangan itu, argh menjijikkan. Hei, aku
tidak sepandai itu untuk menjadi dokter..
Butuh perjuangan keras buat jadi
dokter. Buku setebal Campbell full English, ospek dengan cadaver, keluar masuk
ruang operasi, biaya yang pasti ngga sedikit. Sama seperti yang @bimbelNF
ceritakan di #kultwit nya tentang FK. Jadi dokter itu butuh belasan tahun kalau
ingin mapan. Jadi dokter itu butuh biaya ngga sedikit. Banyak dokter yang
gajinya lebih kecil dari guru NF. Dan lagi ditambah resiko kena AIDS 40% lebih
besar. Dan siapa pun ngga akan kuat melalui cobaan maha dahsyat itu kalo dia
ngga punya keinginan yang kuat, semangat baja, dan jiwa menolong untuk jadi
dokter..
Dan aku rasa, ah aku belum tahu.
Aku banyak menimbang2. Aku memang ingin menolong orang. Aku ingin pekerjaanku
nanti bermanfaat buat banyak orang. Tapi seperti yang @bimbelNF tuturkan kalo
lulusan dokter di Indonesia itu udah buanyaaaaaak banget. Cmon, berapa juta
anak di Indonesia yang bermimpi jadi dokter? Hampir semua kali.
Yang
kuliah kan kita, bukan orangtua kita. Yang berkutat dengan buku2 dan tugas2
perkuliahan selama 4tahun itu kita. Maka tentukan jurusan yang sesuai dengan
minat kita –Muhammad Alifa Farhan
Orangtua berhak untuk
menyarankan yang terbaik di mata mereka untuk anaknya. Orangtua berhak menyuruh
anaknya masuk ke fakultas dan universitas terbaik. Tapi sekali lagi, anaklah
yang paling berhak menentukan. Anak punya hak untuk menolak keinginan
orangtuanya. Karena yang paling tahu dirinya hanya ia. Yang paling tahu
pelajaran yang disuka adalah dia. Yang paling tahu kemampuan belajarnya juga
hanya anak itu. Orangtua hanya di rumah, mendoakan, mendukung dengan biaya.
Orangtua tidak tahu betapa sulitnya perjuangan untuk lulus dari UAS biologi.
Turuti
saja keinginan orangtuamu. Mereka kan sudah sering menuruti keinginanmu,
sekarang gantianlah kamu yang turuti keinginan orangtua –Ustadz Isa Nasih Abbas
itu sama sekali ngga salah. Menuruti keinginan orangtua sekali ini
saja. Hitung2 jadi anak berbakti. Seperti yang dilakukan Esti Hardiyanti. Esti
ingin sekali masuk elektro, tapi orangtuanya benar-benar ingin melihat esti jadi dokter. Jadilah setelah
perdebatan penuh air mata dengan orangtuanya, esti ambil pilihan untuk jadi
dokter. Meninggalkan elektro sayangnya.. ia pegang betul hadist Ridho Allah ridho orangtua, kemurkaan Allah
kemurkaan orangtua. Esti benar2 takut tidak dapat restu orangtuanya jika ia
tetap keukeuh di elektro.
Kasusnya hampir sama kaya ana.
Ummi abi ana sangat menyarankan untuk jadi dokter. Dengan pertimbangan tempat kuliah, kesempatan kerja,
dan kodrat sebagai perempuan. Tapi mereka tidak sekaku orangtua esti. Ummi
masih mempertimbangkan apa yang kusuka. Walaupun aku sadar betul, melihat
anaknya jadi dokter adalah keinginan paling dalam ummi. Tapi ummi ngga ingin
aku sekolah kedokteran dan setelah selesai menyerahkan ijazahnya begitu saja dan
kabur kejar apa yang kuinginkan..
Untuk kasus esti, sepertinya
wajar juga kenapa esti nurut. Esti kan emang pernah punya keinginan buat jadi
dokter. Hm ralat, dari dulu dia emang pengen jadi dokter. Cuma waktu berkutat
terus2an sama fisika aja dia memutuskan untuk ambil teknik elektro. Dan lagi,
dia pengen ambil teknik, sesuatu yang faktanya untuk perempuan emang susah cari
kerjanya. Karena yang namanya teknik pasti jadi orang lapangan yang bakal
nguras waktu banget.
Hm, tiba-tiba jadi ingat. Dulu
ummi pengen banget aku masuk incen, tapi aku gabisa mewujudkan keinginan ummi
itu. Sekarang, ummi pengen banget aku jadi dokter. Masa kamu ngga bisa sih ma
ngabulin keinginan beliau?
Ngga. Aku baru ingat. Ummi juga
pengen banget aku goal jepang. Dan dengan IZIN ALLAH aku akan memenangkan ILA
2013. Aku akan jadi satu dari sekian yang berangkat ke jepang. Dan aku
akan berjuang untuk itu.
Aku tahu fleksibilitas kerja
dokterlah yang bikin banyak perempuan memilih itu buat profesi. Dokter kan bisa
buka praktek di rumah. Tapi lagi-lagi aku terbentur, sudah berapa banyak
praktek dokter rumahan di Indonesia? Aku ngga mau ambil yang banyak. Aku mau
jadi orang yang sedikit. Yang perannya lebih banyak dan meski ga menolong orang
langsung, aku akan buktikan kalau di masa depan aku punya peran lebih. Kaya
prof yo dan pak warsito (:
Jadi dokter itu bisa ngurus
suami pas sakit, ngurus anak. Ngerawat mereka.. kaya almarhumah bu ainun.. ya
itu benar, pasti rasanya bahagia. Tapi aku rasa, merawat suami dan anak waktu
sakit itu udah naluriahnya ibu. Kalau diajarin untuk merawat pasti bisa. Ngga
perlu jadi dokter kan. Dan setahuku, dokter itu ngga boleh mengoperasi
keluarganya bukan? Jadi urusan dokter perempuan berguna buat keluarga akan
kucoret.
Lagi pula, haruskah jadi dokter
agar bisa kerja di masa depan nanti? Kita memang ngga bisa milih siapa jodoh
kita. Tapi aku ingin seperti Marie Curie yang bekerja di lab bareng suaminya
Piere Curie. Rasanya akan senang sekali kalau menikah dengan orang yang paham
kesukaan kita, bahkan mendukung kita. Apalagi kalau seprofesi.. aku ngga tahu
apa aku bisa jadi seperti Marie Curie dan menemukan Piere Curie. Tapi aku bisa
berdoa, dan berharap agar Allah tunjukkan yang terbaik untukku..
No comments:
Post a Comment