Kebanyakan
kita, tak suka bicara soal kesalahan. Tidak selalu karena kita lebih memilih
kebaikan. Kadang, memang itu alasannya. Tapi tidak selamanya. Kebanyakan kita
tak suka bicara kesalahan, sebab ada ambiguitas di sana. Kita benci kesalahan,
tapi toh kita tetap melakukannya juga. Dalam bentuk yang beraneka rupa.
Kadang
kesalahan itu kita jalani dengan sadar. Sesekali batin kita berperang. Tapi
kita lantas menyerah kepada keadaan. Seakan kesalahan adalah kekuatan asing
dari luar diri kita. padahal kita sendiri pelakunya. Seakan kesalahan itu
sendiri lebih perkasa dari karunia kehendak yang diberikan Allah di dalam jiwa
kita. Kita diam, pasrah, dan berputar dari lingkaran kesalahan yang satu ke
lingkaran kesalahan yang lain. Begitupun kita masih mencoba menghibur diri.
Dengan pembenar-pembenar semu. Bahwa ini semua soal pilihan hidup.
Kesalahan
telah ada dari dahulu, sejak kali pertama manusia diciptakan. Tetapi cara
pandang kita tentang kesalahan, mengalami begitu banyak perubahan. Ada
bertingkat-tingkat fase dimana manusia melakukan revolusi pemaknaan terhadap
kesalahan.
Begitu Adam
sadar dirinya salah, seketika ia membayar kesalahan itu. Bertaubat, memohon
ampun, dan yang lebih penting, ia menyadari bahwa dirinya salah. Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah
menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (Al-Baqarah:37)
Tetapi hari ini, kesalahan bukan
sekadar “kecelakaan” atau ketidaksengajaan. Saat orang dengan lugu dan tanpa
ilmu menerobos tabu. Hari ini kesalahan telah berevolusi menjadi cita-cita.
Kesalahan adalah puncak “ikhtiar”. Kesalahan adalah seni, kreativitas, budaya,
dan semua uji teknologi. Kesalahan adalah kesengajaan yang dibanggakan.
Orang-orang yang tidak peduli
dengan kesalahan yang dengan berani melanggar aturan, mereka bukan orang hebat.
Ada ketidakberdayaan tersembunyi di sana. Akan tiba suatu hari, bahwa semua
kita tak lebih hanya orang-orang lemah. Terlalu banyak kekuatan lain yang tak
bisa kita lawan. Seperti sakit, keriput wajah yang menua, tulang belulang yang
rapuh, daya ingat yang kosong, dan tentu saja kematian yang menghentikan.
Layaknya kaca yang bening,
kesalahan bagi kehidupan adalah bintik-bintik debu, atau tetes-tetes noda, atau
bahkan gumpalan-gumpalan kotoran. Maka kesalahan selalu saja mengotori
kebeningan, menodai kejernihan, dalam dimensinya yang luas. Karenanya,
kesalahan harus dibersihkan seperti dijelaskan Rasulullah, “Sesungguhnya
seorang manusia, jika ia melakukan dosa maka di hatinya akan tercoreng warna
hitam, dan jika ia meninggalkan perbuatan dosa itu serta bertaubat darinya,
maka hatinya kembali bersih. Jika kembali melakukan dosa itu, maka hitamnya
akan ditambah hingga menutupi seluruh hatinya, itulah tutupan yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya, sama sekali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.”
(HR Tirmidzi).
Pada sebentuk kesalahan, selalu
ada yang terkurangi dari hak diri
sendiri atau orang lain. Atau terdzalimi, atau terugikan. Kesalahan, sejatinya,
adalah cacat yang mengurangi bobot dari sisi tertentu kehidupan kita. Maka
kesalahan selalu meninggalkan hutang. Setidaknya hutang kesalahan itu sendiri
di mata Allah SWT.
Hutang kesalahan itu harus
dibayar. Begitulah peraturannya. Bahkan di komunitas orang-orang yang tak
meyakini Tuhan sekalipun, mereka percaya prinsip itu. Orang-orang primitif
dahulu karenanya, punya cara sendiri bagaimana menebus kesalahan itu. Najis dan
kotoran dalam ajaran Yahudi dahulu, harus dibersihkan sekaligus dengan
tempatnya. Bila mengenai kain harus dipotong kainnya. Bila mengenai kulit harus
dicungkil kulitnya. Dosa-dosa tertulis di pintu masing-masing. Tidak ada
rasionalisme di sana. Yang ada bahwa segala yang kotor harus dibersihkan. Meski
itu harus mengorbankan nyawa mereka. Tapi itu setidaknya lebih elegan secara
kemanusian, dari orang-orang sekarang. Yang tak sudi membayar kesalahan.
Tak ada kedigdayaan absolut pada
diri kita. Kita hanya makhluk Allah, ciptaan-Nya. Di atas bumi-Nya kita
berpijak. Kita lahir dan ada karena kehendak-Nya. Bahkan kita sendiri tak bisa
memilih untuk ada atau tidak ada, untuk menjadi lelaki atau perempuan sejak
semula. Lalu, dengan tertatih kita belajar tentang wujud, tentang ganjaran, dan
akhirnya kepada Allah pula kita kembali. Maka, mungkinkah kita bisa lari dari
membayar kesalahan?
Sejatinya kita akan membayar
kesalahan itu, kelak, suka atau tidak suka. Tetapi membayar kesalahan selagi di
sini, di dunia ini, adalah pilihan bagi orang-orang dewasa. Mereka lebih
memilih menjadi pemberani, membayar hutang kesalahan itu di sini. Sementara
para pengecut dan orang-orang yang berjiwa kekanak-kanakan, selalu punya
segudang alasan untuk menunda membayar kesalahan.
Di sini, di dunia inilah
sesungguhnya tempat yang paling memungkinkan kita membayar kesalahan. Jangan
menunggu kehidupan di akhirat kelak, ketika segalanya sudah tidak memungkinkan
lagi. Ketika sangat sulit bagi kita membayar kesalahan itu, kecuali dengan cara
yang tidak akan kita sukai. Sebab di sana kita harus membayarnya dengan
terpaksa, dengan cara yang tidak enak. Dengan azab dan siksa, kecuali Allah
mengampuninya.
Mereka yang menganggap kesalahan
adalah kebebasan berperilaku hari ini, sementara yang nanti adalah nanti,
sesungguhnya orang-orang lemah. Mereka haya menunda penyesalan, dan menumpuknya
menjadi malapetaka di kemudian. Sebab matahari belum berhenti, selalu ada hari
baru, usia baru, dan itu artinya hidup kita semakin jauh banyak yang berlalu.
Mereka telah kalah dengan cara yang tidak terhormat.
Kita mungkin tak suka bicara
soal kesalahan. Sebab ada pertarungan di sana. Nurani kita yang jujur
menginginkan jalan kebaikan. Tetapi hawa nafsu kita yang angkuh menginginkan
jalan keburukan. Di ambang batas antara kejujuran dan keangkuhan itulah dosa
dan kesalahan bertarung. Melawan suara hati yang polos dan sejalan dengan
fitrah.
Maka, di sini, di dunia ini,
bayarlah kesalahan-kesalahan kita. Selagi masih ada nafas. Selagi mata belum
terlelap. Sebab toh suka atau tidak suka, kesalahan pada akhirnya akan terbayar
juga. Kelak, di hari segala amal ditimbang dan diberi pembalasan
seadil-adilnya.
(Ahmad Zairofi AM dalam Lelaki
Pendek, Hitam, dan Lebih Jelek dari Untanya)
No comments:
Post a Comment