Oleh: dr. Dyah Mustikaning Pitha Prawesthi Sp.OG (Specialist Registrar in Obstetrics and Gynaecology at The Hillingdon Hospitals NHS Foundation Trust)
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung... Di mana udara dihirup, di situ hasil dan sisa metabolisme boleh dikeluarkan... Tapi di mana pun Sang Pencipta tempatkan manusia di bumiNya, maka cara hidup teladan sesuai contoh Sang Utusan tetaplah yang utama...
Mungkin demikianlah motto hidup pasien yang kutemui Senin pagi itu. Senin setelah whole week adventurous holiday adalah bukan hari ideal untuk memulai kerja di labour ward yang penuh dan selalu sibuk :P
"Now, that lady in room 6 has a bit sad story..." ujar kolega tim malamku saat hand over kepada timku. Perempuan itu berusia 39 tahun, sudah memiliki 3 orang anak dan kesemuanya dilahirkan dengan persalinan normal. Dia low risk, dan booked dengan home birth team, bahkan dua anak sebelumnya pun juga home birth. Tak ada yang istimewa dengan kehamilan dan persalinan sebelumnya, dan kehamilan yang ini pun juga berjalan lancar, sampai semalam, ketika ketubannya pecah di usia kehamilan 35 minggu lebih 6 hari.
"She came last night, after dropping her husband to airport. His mother passed away in Jordan, and he flew to Jordan to arrange all the funeral and everything there... Her water actually broke earlier last evening, but she didn't tell her husband and decided to drive him to the airport first before drove herself to hospital..." jelas kolegaku panjang lebar.
Sayangnya, saat pasien itu tiba di rumah sakit, bidan di Triage tak dapat menemukan denyut jantung si janin dengan mesin CTG. Akhirnya kolegaku ini melakukan pemeriksaan USG dan mengkonfirmasi bahwa jantung si janin sudah tak berdetak lagi, alias si janin telah meninggal. Tak jelas kapan kira-kira si janin meniggal, karena sang pasien tak begitu memperhatikan gerakan janinnya seharian kemarin. Dia terlalu sibuk membantu dan mensupport suaminya untuk terbang ke Jordan mengurus pemakaman ibunya.
"She was very keen to have the baby delivered as soon as possible as she needs to go back home to look after her other 3 children while her husband away, the youngest is only 2 year old... So we started to augment her from midninght with Syntocinon drip. She has been contracting regularly for the last 2 hours, and I just examined her, she is 3 cm dilated with thick meconeum stained liquor, no sign of infection though..." jelas kolegaku lagi.
"Dyah, she is a very strong and sweet lady... She is just in there by herself. She hasn't even told her husband that their baby is dead and she is in hospital delivering it...!! You should tell her that she needs to tell her husband now, or else he'll get mad later when he finds out...!!" midwife yang bertanggung jawab terhadap pasien itu membelalakkan matanya sambil menyerahkan notes pasien itu di depan pintu kamarnya sebelum aku masuk untuk ward round. Aku tersenyum mendengarnya dan kemudian mengalihkan perhatianku mempelajari antenatal care notes pasien itu.
"May we come in...?" tanyaku setelah mengetuk pintu kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku menyibak tirai yang membatasi kamar dan pintu keluar, diikuti oleh timku yang terdiri dari obstetrics team dan seorang dokter anestesi. Setiap pagi, kami selalu melakukan ward round bersama untuk mereview semua pasien di labour ward.
"Salaamu'alaykum sister..." sapa si pasien yang terbaring di delivery bed sambil menggenggam handheld mouthpiece Entonox. "Wa'alaykumsalam..." jawabku sambil tersenyum berempati, thanks to my hijaab, everyone would know that I'm a muslim and would offer their salam to me :)
Setelah memperkenalkan diri, dan memperkenalkan the rest of the team, aku memeriksa semua dokumentasi midwife yang telah merawatnya sejak pagi tadi. Semua parameter tampak normal dan stabil, dan si pasien sudah berkontraksi kuat dan reguler. Setiap kontraksi datang, dia menghirup Entonox kuat-kuat sambil meringis, tak mengeluarkan suara atau keluhan apa pun.
"I'm so sorry for what happenned to your baby..." ujarku, offering my condolescence. "It's Allaah's will, Sister..." jawabnya sambil tersenyum sayu. Aku mengangguk menyetujui. "How are you coping with the labour ? Do you want stronger pain relief ? We could get you epidural if you want..." tanyaku sambil melirik kolega anestesiku. Untukku, harus cope dengan nyeri persalinan demi melahirkan bayi yang sudah meninggal is a bit too much...
"I'm fine, labour is meant to be painful anyway..." ujarnya terengah-engah di antara kontraksi dan hirupan Entonox. "Well, it does NOT have to be painful..." sambung kolega anestesiku. "That's okay, I'm fine...." ujarnya lagi meyakinkan kami.
"Have you told your husband that you're here...?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Setelah menunggu kontraksinya lewat, dia menjawab dengan gelengan lemah. "I don't think it's the right time... It's going to be too much for him to deal with 2 losses right now... He needs to concentrate with his mother's funeral now, I'll let him know later..." jelasnya.
"Dyah, there won't be any 'right time' to tell him...!! She is mad, she needs to call him and let him know !!!" bidan bule berambut pirang bermata biru berusia 25 tahun di hadapanku ini membelalakkan matanya saat kami sudah keluar dari ruangan pasien itu. "Well darling, we can't force her, it's her decision..." jawabku singkat.
"But this doesn't make any sense... She goes through all this pain and difficult time by herself...!! Unless there is problem with their relationship, all this just doesn't make any sense...!!" ujarnya sambil memeriksa semua brown notes pasien itu untuk mencari apakah ada catatan mengenai domestic violence atau social services involvement di keluarga mereka. Hasilnya tentu nihil, mereka keluarga baik-baik dan tak ada masalah antara kedua suami istri tersebut. Tentulah, kultur lokal tentu menganggap keputusan pasien itu tak masuk akal, mungkin juga kultur tempat lain.
Namun aku langsung teringat kisah seorang shahabiyah yang namanya harum dalam sejarah, yang dipuji oleh Rosulullaah, dan doa beliau untuknya juga dikabulkan oleh Allaah : Ummu Sulaim. Bagaimana beliau menghandle kematian anaknya, melayani suaminya terlebih dahulu untuk menyenangkan beliau, dan baru kemudian mengabarkan kematian anak mereka. Bagaimana ketika sang suami marah dan mengadukan Ummu Sulaim kepada Rasulullaah, beliau justru memuji dan mendoakan kebaikan untuknya. Pada wajahnya yang tenang, aku seperti melihat cerminan Ummu Sulaim.
Tak lebih dari 2 jam kemudian, midwife yang merawatnya memberi tahuku bahwa bayi pasien itu lahir, tampak ukurannya sangat kecil untuk usia 35 minggu. Placentanya juga tampak sangat kecil. "I'm sure it's an IUGR baby, Dyah... She was keen to have PM as well, I've given her the PM leaflet. Could please come and discuss it with her when you're ready..." ujarnya.
IUGR : intra uterine growth restriction, alias pertumbuhan janin terhambat ditemukan pada setidaknya 50 persen janin yang mati dalam rahim. Penyebabnya bisa beraneka ragam, namun kelainan plasenta biasanya adalah yang paling sering. Kami selalu menawarkan PM (post mortem examination) kepada semua pasien untuk mencoba mencari tahu apa penyebab kematian si janin, on top of routine tens of blood test, swabs, placental histology, karyotyping etc. Meskipun tak semua investigasi IUD (intra uterine death) memberikan hasil positif, namun bila diketahui ada penyebab tertentu maka strategi layanan antenatal care bisa direncanakan di kehamilan berikutnya untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Tak semua orang tua menerima PM, sebagian menolak karena alasan agama dan kepercayaan, sebagian menolak karena mereka merasa bahwa pemeriksaan ini menyakiti si bayi. Pada PM lengkap, maka otopsi lengkap dikerjakan. Ada pilihan bagi orang tua untuk menolak bagian-bagian tertentu diperiksa karena mereka tak ingin ada insisi dan jahitan pada bagian tertentu. Bila orang tua menolak PM, maka alternatif seperti karyotyping dan genetic testing dari sample kulit, atau MRI, atau X-ray. NHS meng cover semua pemeriksaan ini.
Ketika aku memasuki kamarnya untuk mendiskusikan tentang PM, pasien itu sedang memeluk jenazah bayi itu di dadanya. "Do you think it's the right time for me to talk about it ? Or shall I come back later when you're ready ?" tanyaku tak ingin mengganggu momen penting untuknya ini.
"No, that's okay, Doctor. I have to go home this afternoon anyway, my friend can't look after my three children for the whole day...." ujarnya. Aku menghela nafas, dia memang perempuan kuat, baru melahirkan, bayi meninggal, sendirian, dan sekarang sudah berpikir mengenai segera pulang dan mengurus ketiga anaknya yang lain.
Setelah panjang lebar kujelaskan tentang PM, pasien itu kemudian berkata, "I think it's a very difficult decision for me... Is it okay if I wait for my husband to come back first ?".
"Absolutely, there is no rush... Have you told him yet ?" tanyaku lagi. "No, I'll wait until he's back. He is flying back tomorrow morning. I don't want him to be worry all the time on the journey back..." ujarnya.
I was wondering what her husband would say to her when he finds out.... Anyway, as the Prophet has made dua for Ummu Sulaim, I made dua for her that her husband wouldn't be upset to her and that Allaah will replace their baby, just like He did for Ummu Sulaim...